Sunday, September 26, 2010

Sunyi Mati

SUNYI MATI
Cerpen Yudhistira ANM Massardi

Tak lama setelah bumi bergetar, aku bergegas ke luar dari sebuah bangunan pertokoan. Beberapa saat kemudian, bersama sejumlah toko lain, gedung tempat aku berada tadi, ambruk menimbulkan suara debum. Abu beterbangan ke udara. Orang-orang berlarian sambil menjerit-jerit dan menangis. Sekumpulan orang kemudian memanjatkan doa di tengah jalan.
Aku terengah-engah dan bergidik. Aku menghela nafas. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitku. Aku pun segera mengucapkan rasa syukur karena bisa mendapatkan waktu beberapa detik untuk menyelamatkan diri dari bencana tertimpa reruntuk bangunan.
Dengan nafas terasa sesak, aku nanar memandang suasana sekitar. Di tengah abu dan isak-tangis, aku mendadak merasa seperti orang asing di kota itu. Segalanya seperti menggumpal, lalu meletup, melontarkan segala sesuatu ke udara, dan melayang-layang, mengambang.
Aku tak ingat apa-apa lagi. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Beberapa saat lamanya aku bengong, sampai kemudian pandanganku terarah ke langit kosong.
"Air! Air!" Ratusan orang tiba-tiba berteriak-teriak sambil berlari ketakutan.
Mendengar itu, aku terhenyak. Tetapi, aku justru merasa semakin tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya, air laut datang bergemuruh, dari segala arah, mengempaskan semua penghalang. Ketika itulah, aku merasa tubuhku terlempar, dan terisap ke dalam suatu pusaran yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku terisap ke dalam suatu medan hampa yang sangat sunyi. Sunyi mati. Tak terdengar suara apa pun. Lengang. Senyap.
Seluruh pemandangan di sekitarku, mendadak hilang warna. Gelombang air yang dengan derasnya menghanyutkan lumpur, puing-puing rumah, hewan, manusia, kendaraan, dan pepohonan, juga orang-orang yang mencoba berlari menyelamatkan diri ke ketinggian, semuanya tampak kehilangan dimensi. Kehilangan ruang dan waktu. Semuanya berubah, menjadi seperti gambar di layar gedung bioskop. Menjadi hitam-putih. Menjadi tanpa suara, bagaikan film bisu tahun 30-an. Semua citra yang tampak di layar besar itu pun bergerak dengan sangat lambat, bagai adegan slow motion.
Aku pun kehilangan kontrol terhadap seluruh anggota tubuhku. Aku tak mampu menggerakkan tangan dan kaki. Aku seperti terpaku dan gagu. Juga seperti patung kapas yang mengambang tak jelas. Pikiran dan perasaanku juga berhenti bereaksi. Aku hanya merasa begitu sunyi. Sangat sunyi. Nafasku pun seperti tak ada. Dan aku tidak mencium bau apa pun. Kehidupan seperti berhenti berdenyut. Terisap ke dalam senyap.
Tetapi, aku masih bisa melihat. Aku sekonyong-konyong melihat sosok-sosok seperti gumpalan-gumpalan awan tipis, turun dengan cepat ke bumi. Ribuan gumpalan awan tipis itu, di seluruh bagian tepinya, berpendar cahaya lembut. Seperti cahaya lampu para nelayan di tengah laut. Semuanya melayang dengan ringan, beriring-iringan bagai barisan putih tanpa akhir, mengikuti irama tanpa nada. Mereka berarak bersama, dari segala arah, menuju semua penjuru.
Aku tak tahu, apa gerangan yang kusaksikan. Aku tidak memiliki sedikit pun kenangan mengenai hal yang menyerupai itu. Semuanya begitu asing. Tetapi, pemandangan itu, luar biasa indahnya. Keindahan yang tak pernah kusaksikan seumur hidupku. Pemandangan dari jendela pesawat terbang tatkala mengarungi lautan awan di angkasa, masih jauh dari kesetaraan.
Bahkan, itu sama sekali tak bisa dibandingkan dengan yang kini terbentang di hadapanku. Itu bagaikan gumpalan beribu gema, nada, dan mungkin juga doa. Semuanya mewujud berupa awan tipis yang melayang ringan, membiaskan sinar putih bagai lampu neon yang pipih, sepipih pedang lentur.
Aku tak tahu, berapa lama semua itu berlangsung. Sebab, waktu juga tak ada jejaknya. Arloji di tanganku bukan hanya kehilangan dimensi, melainkan..., ya, seperti juga seluruh tubuhku, telah terurai menjadi butir-butir, ribuan, bahkan jutaan elektron, proton, oksigen, hidrogen. Menjadi satu gugusan massa tanpa isi, tanpa bobot, hilang bentuk!
Tetapi, aku tetap masih bisa melihat. Aku melihat gelombang sosok-sosok awan tipis bercahaya itu terus melayang, ke semua arah, dari semua arah. Ah, apakah masih ada arah? Aku tak tahu! Yang pasti..., ah, apatah pula yang pasti, bila segala sesuatu sudah hilang bentuk, hilang waktu, selain menjadi nisbi, menjadi butir-butir cahaya tak terperi?
Ya, aku melihat, pemandangan berikutnya yang jauh lebih spektakuler! Aku melihat, orkestra awan tipis bercahaya itu kemudian berbalik arah, dari segala arah, ke segala arah..., aduh, alangkah sulitnya melepaskan pikiran dari ukuran-ukuran dan mata angin yang tanpa guna itu! Aku melihat sebuah arus balik, sebuah perputaran..., astagafirullah, itu bagaikan lingkaran berjuta massa yang sedang bertawaf di sekeliling Kabah! Beribu-ribu gumpalan awan tipis berpendar cahaya, bertawaf! Semakin lama semakin banyak, semakin banyak, semakin banyak...! Semakin terang-benderang, semakin berkilauan. Bagaikan teater cahaya di pentas amat luas!
Sementara itu, nun jauh di belakang sana, pada latar belakang -- pada layar monitor raksasa bagai di venu pertunjukan musik rock -- yang menayangkan film bisu dalam gerak lambat tadi, kulihat ribuan orang menggapai-gapai, menggerakkan kedua tangan mereka ke angkasa, dengan mulut terbuka seperti menyerukan sesuatu... Menyerukan sesuatu seperti.
"Allahu Akbar! Allahu Akbar!"
"Bersujudlah kamu! Bersujuuud!"
Mereka kemudian bersujud. Beribu-ribu manusia tanpa dimensi di layar bioskop, semua tersuruk, semua menyurukkan wajahnya ke bumi, mencium bumi yang terbenam lumpur.
"La ilaha ilallah!"
"Bersujudlah kamu! Bersujuuud!"
Aku pun, tanpa terasa, segera menyurukkan wajahku. Tetapi aku sudah kehilangan wujudku, sudah kehilangan bumiku. Aku tak tahu telah menjadi apa dan berada di mana. Aku tersuruk dan terbenam ke dalam gugusan awan tipis yang berpendar cahaya.
Di layar itu, sekilas aku juga melihat Najwa menangis. Aku juga melihat..., ah, apakah masih ada artinya semua yang aku lihat itu dibandingkan dengan keindahan teater cahaya yang menakjubkan ini?
Ah, tetapi aku juga melihat dia, ya, dia! Aku juga melihat mereka! Ayahku, ibuku, kakak-kakakku, adik-adikku! Ya, aku juga melihat anak-anakku! Mereka melambai-lambaikan tangan ke arahku, menyebut-nyebut namaku, dalam tangis, dengan wajah penuh luka dan airmata.
"Ayah! Ayaaah!"
"Anakkuuu!"
Aku tak kuasa menahan perasaanku. Dadaku penuh. Menggelegak. Aku pun menangis dengan keras. Butiran-butiran hidrogen mengucur membasahi wajahku yang transparan.
"Ya, Allah, di mana aku sekarang.?!"
Belum lagi aku memperoleh jawaban, seluruh pemandangan itu tiba-tiba lenyap. Suasana gelap gulita. Tubuhku tersentak dengan hebat. Kemudian, aku merasa seperti terlempar kembali, dengan rasa sakit luar biasa. Aku terlempar dari sebuah kehampaan menuju sebuah tempat lain yang keras. Terlempar ke tempat yang sangat bising. Kedua telingaku sakit sekali. Udara di sekelilingku mendadak seperti tumpah berdesak-desakkan. Semua memasuki hidungku dengan paksa, lalu menembus ke dalam dadaku, lalu menerobos ke dalam batok kepalaku. Lalu, hidungku mencium bau obat-obatan, bau amis, bau busuk.
"Ya, Allah, di mana mereka sekarang?!
Jakarta, Januari 2005
(Cerpen dari Harian Republika )

0 comments:

Post a Comment