Monday, October 4, 2010

Nggak Tahu Malu

Nggak Tahu Malu

Suatu petang, seorang wanita muda sedang duduk di ruang tunggu bandara yang tak terlalu ramai. Jenuh menunggu, ia pun berjalan-jalan, masuk ke sebuah toko buku dan membeli novel, favoritnya. Sebelum kembali ke tempat duduknya, ia pun menyempatkan membeli sekantung kue. Selang satu kursi di sebelah kanan tempat duduk wanita itu, duduk seorang pria berkacamata dengan tongkat kayu tergenggam erat di tangannya. Setelah tersenyum basa-basi kepada pria tua itu, ia pun duduk dan langsung asyik membaca novel yang baru dibelinya. Tanpa menghiraukan apa pun yang terjadi di sekitarnya, sebagaimana layaknya kebanyakan sikap orang metropolitan. Wanita it uterus membaca dan membaca. Setelah beberapa menit, ia mulai terganggu ketika pria tua itu mengambil satu kue dari kantung yang diletakkan di kursi di antara mereka, lalu memakan kue itu dengan nikmatnya. Mulanya, wanita itu tak menghiraukannya sambil terus membaca buku dan mengambil satu kue serta memakannya. Tapi apa yang terjadi? Pria tua itu pun kemudian mengambil lagi satu kue sambil tersenyum lalu memakannya. 

Karena tak mau ambil pusing dan membuat keributan, wanita itu tetap membiarkannya sambil terus membaca, memakan kue, dan sekali-kali melihat jam yang tergantung di dinding ruang tunggu. Lagi-lagi, pria tua itu pun mengambil kue dan memakannya. ”Kalau saja aku tak sedang berbaik hati, sudah kupanggil polisi bandara yang sedang berjaga itu agar laki-laki tua itu tak tahu diri itu ditahan,” gumam wanita itu kesal dan sedikit marah.

Setiap satu kue diambil dan dimakannya, pria tua itu pun mengambil satu kue dan memakannya hingga tibalah saat tinggal satu kue tersisa dalam kantung. Wanita itu membiarkannya karena penasaran dan mencoba ingin tahu apa yang akan dilakukan pria itu. Dengan senyum kecil dan tawa kecil yang agak gugup, pria tua itu pun mengambil kue terakhir dan memotongnya menjadi dua lalu memberikan satu bagian kepada wanita itu.
“Nggak tahu malu!”. Kembali ia mengomel dalam hatinya dengan raut wajah yang kecut dan agak marah.
Tiba-tiba terdengar pengumuman dari petugas bandara bahwa pesawat yang akan ditumpangi wanita itu telah dating dan seluruh penumpang dipersilahkan segera menaiki pesawat. Wanita itu pun segera mengemasi barang-barangnya tanpa sedikitpun menghiraukan si pencuri kue itu. Ia bergegas menuju pesawat.

Setelah berada di dalam pesawat, ia pun duduk dengan santai dan melanjutkan membaca novelnya. Sesaat setelah pesawat lepas landas, tanpa sengaja ia memegang tas kecil yang dibawanya dan dengan sangat terkejut mendapati sekantung kue di dalamnya. Itu adalah kue yang dibelinya di bandara.
“Kalau kueku ada di sini,“ dia bergumam dengan napas yang agak sesak,”berarti kue yang tadi kumakan adalah kue pria tua itu dan dia berbaik hati berbagi denganku.” Terlambat untuk minta maaf.” Ah, ternyata sayalah si pencuri kue itu.”
So…hati hati, jangan berprasangka buruk !
Too much suuzon will kill you.
( Sumber: Percikan Iman No 2 Th. 2004)

Wednesday, September 29, 2010

Shalawat Badar

Shalawat Badar
Karya Ahmad Tohari

Bus yang aku tumpangi masuk Cirebon ketika matahari hamper mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua mamanggang bus itu beserta isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesame penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun, dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas Koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.
Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal bus menjadi pasar yang sangat hiruk pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan soir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bias mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian, mereka mengeluh ketika mendapati tak seorangpun mau belanja. Seorang diantara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia –manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.
Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu;hendaknya sopir cepat datang dan bus segera berangkat kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.
Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang; sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakang itu.
Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Tangannya menadahkan mangkuk kecil. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengrkan dengan baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar ada lelaki membaca Shalawat Badar untuk mengemis.
Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik di dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan. Ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di hadapanku. Mungkin karena shalawat itu, maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Ada banyak hal dapat dibaca pada wajah pengemis itu.
Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada bebekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bias menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu.
Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin diesel yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka bertengkar melalui kata-kata yang tidak sedap didengar. Dan bus melaju meninggalkan terminal Cirebon.
Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jokok dekat pintu belakang.” He, siral kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”
Pengemis itu diam saja.
“Turun!”
“Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”
“Tadi siapa suruh kamu naik?”
“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau mengemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”
Kondektur kahabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikti lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya sambil bergumam: “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…’
Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tidak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bias membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutampangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bias menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.
Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun aku tersandung batu dan jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lobang hidungku. Ketika kuraba,, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada melapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tidak karuan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kea rah kota Cirebon.
Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang kea rah timur itu:”Shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…
(Sumber : Kumpulan cerpen Senyum Karyamin, 1989

Monday, September 27, 2010

Bendera

Bendera
Oleh : Siti Mukarromah

“Mbak mau sekolah ya, Mbak?”
Aku terkejut mendengar sapaan seorang bocah berpenampilan sangat lusuh berdiri di sampingku. Aku hanya tersenyum ringan menjawab sapaannya. Tanpa merasa terusik oleh kehadiran bocah laki-laki seusia Reza –adik laki-lakiku yang masih duduk di bangku SMP-itu, aku pura-pura tak menghiraukan. Berulangkali aku longokkan wajahku ke arah barat, ke arah datangnya bus kota yang akan mengantarkan aku ke tujuanku, kampusku. Dengan harap-harap cemas kutengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, 10 menit sudah aku berdiri di halte bus ini tetapi bus yang kutunggu belum juga muncul.
“Aku pasti terlambat hari ini.”gumamku dalam hati.
“Mbak benderanya bagus ya, Mbak, warnanya sangat indah,”komentar bocah lusuh itu sambil menunjuk ke tiang bendera yang berjajar di sebelahku.
Sekali lagi aku hanya tersenyum mendengar komentarnya yang polos. “Dengan dihiasi bendera-bendera itu Kota Solo tampak meriah, ya Mbak?” Dengan gaya bicaranya yang sok dewasa, bocah itu kembali berkomentar. Lama-lama aku heran juga dengan sikapnya yang tak sedikitpun jemu dengan sikapku yang dingin tak sedikitpun memedulikannya.
“ Kapan ya Mbak, Bapak Caleg yang punya bendera ini akan datang ke Solo?” Dengan nada bicaranya yang sok tahu perpolitikan di Indonesia, dia berkomentar. “Kalau Bapak Caleg datang ke sini, aku akan bersalaman dengannya, dan pasti wartawan akan berebut memfotoku.” Sambil tersenyum-senyum tanpa dosa bocah itu berusaha menarik-narik ujung bendera yang berkibar berjajar memenuhi pinggir jalan di samping halte bus yang telah dipenuhi calon penumpang.
Mendengar komentarnya yang menyentuh hati begitu, akhirnya si bocah lusuh itu pun berhasil menarik perhatianku. Kuperhatikan sosok tubuhnya yang lusuh berdiri bersandar di tiang bendera, salah satu dari tiang –tiang bendera yang berjajar di samping tempatku berdiri. Pakainnya kumuh, compang-camping, dengan lubang dan tambalan kain di sana-sini. Celana kolornya terlalu besar ukurannya untuk bocah seusia dia, kaos oblong putih atasannya telah berubah warna, ada warna hitam bekas goresan arang, ada warna merah bercampur hijau bekas tumpahan es cao, juga warna cokelat tua pekat bekas cipratan lumpur dari kubangan air di pinggir jalan.
“Mbak, boleh ya kupetik kain bendera itu untuk buat celana kolor yang baru?” Aku hanya menggeleng, mendengar permintaannya.
“Kenapa tidak boleh, Mbak?” desaknya sambil menarik-narik kain lengan bajuku.
“Itu bukan milikku!” jawabku agak kesal karena aku merasa jijik oleh tangannya yang lusuh telah menyentuh pakaianku yang bersih dan harum ini. Dia tampak sangat kecewa dengan jawaban-ku. Ada nada penyesalan di rona wajahnya, mungkin dia merasa bersalah telah mengotori pakaianku.
“Sudah, coba minta izin ke embak-embak atau mas-mas yang berdiri di sana!” Sambil tersenyum-tersenyum tak begitu bermakna, bocah lusuh itu segera menuju ke arah yang kutunjukkan dengan telunjuk.
Akhirnya, si bocah lusuh itu pun menghampiri dua gadis remaja berpenampilan necis yang berdiri di depan halte itu. Belum sempat bocah itu menyampaikan maksud hatinya, kedua gadis yang tampak berasal dari keluarga kaya itu segera menyingkir karena merasa jijik dengan kehadiran sosok makhluk yang sangat mengganggu pemandangan itu. Merasa kesal karena tidak dianggap manusia, bocah lusuh itu mengurungkan niatnya. Segera ia menuju tiang bendera yang berjajar rapi dengan warnanya yang seragam melambai-lambai menghiasi hiruk pikuk lalu lintas pagi.
“Hai Bocah, apa yang kau lakukan?” Bocah itu buru-buru menghentikan aktifitasnya ketika disampingnya telah berdiri sosok pemuda gagah, berperawakan tinggi besar, berkulit kuning bersih, tampan berwibawa, menegurnya dengan suara lantang membuatnya terperanjat.
“Om. Saya…saya hanya menginginkan bendera ini untuk dibuat celana.” Dengan gugup dan takut yang amat sangat, bocah itu segera menundukkan wajahnya yang suram.
“Jadi, kau ingin menurunkan bendera-bendera itu, Bocah?” Bocah itu hanya mengangguk dan menjawab pertanyaan lelaki berpenampilan penuh wibawa itu.”Oh…, bagus…bagus…”Lelaki itu mengelus-elus rambut kumal bocah polo situ dengan senyum yang entah apa maksudnya. “Ambil saja semuanya, jangan hanya satu atau dua!” Lelaki penuh wibawa itu berlagak sok jadi pahlawan babgi si bocah lusuh itu.”Warnanya sangat bagus untuk dibuat celana kolor, dan pasti sangat cocok kamu kenakan.”
Merasa mendapat izin dan dukungan dari Dewa Penolong, bocah itu segera melanjutkan usahanya mengambil bendera-bendera itu dari tiangnya untuk segera dapat dibuat celana kolor yang lumayan bagus untuknya. Dengan penuh semangat ia berusaha merobohkan ketegaran tiang-tiang yang tinggi menjulang itu. Akhirnya, “Prakkk!” Sebuah tiang bendera yang lumayan tinggi telah rubuh di hadapannya, nyaris saja mengenai kedua kakinya. Menyaksikan keberhasilannya merobohkan tiang kokoh itu,si bocah tanpa dosa itu tertawa kegirangan. Ditengoknya sosok lelaki yang tadi berdiri di sampingnya yang telah member support baginya.
Tetapi betapa kagetnya bocah itu ketika dirasakan telinga kanannya serasa hamper putus oleh tarikan kuatdari tangan yang sangat kekar. “Hai binatang jelek, apa yang kau lakukan? Jangan main-main ya, bias-bisa kuputus telingamu yang lebar ini.” Seorang lelaki tinggi, bertubuh kekar, dan berkulit hitam sangat pekat telah berada di sampingnya, wajah garangnya nyaris bersentuhan dengan keningnya yang basah oleh keringat dingin. Kedua bola matanya melotot, memancarkan amarah yang maha sangat. Bocah yang tak seberapa kuat tubuhnya dibandingkan tubuh kekar yang berdiri di sampingnya itu, gemetar ketika bola matanya beradu pandang dengan sorot mata merah melotot seakan-akan mau meloncat keluar dari sarangnya itu. Dengan segera, bocah malang itu berusaha menyelamatkan jiwanya dari siksaan itu, ditariknya kedua tangannya dari tali bendera yang berhasil dilepaskannya dari tiangnya yang telah rubuh itu.
“Mbak, mbak, Om itu tidak boleh aku mengambil bendera bagus itu.” Tiba-tiba bocah yang tida berdaya itu, jatuh tersungkur di hadapanku, dipegangnya erat-erat kedua kakiku, seakan-akan mohon perlindungan padaku.
Dengan susah payah kubantu bocah malang itu untuk berdiri. Tapi alangkah terkejutnya hatiku ketika kusaksikan beberapa helai kain yang berwarna-warni jatuh berhamburan dari balik kaus oblongnya yang membungkus perutnya yang buncit.”Mbak, aku akan mengembalikan bendera-bendera ini pada tiangnya agar besok Bapak yang punya bendera ini datang ke sini tidak memarahiku.”
Aku tersadar dari keharuanku ketika bus kota yang lama kunanti telah berhenti dihadapanku. Segera kusandarkan tubuhku nan lesu pada jok bus kota yang terasa sangat nyaman. Dari balik jendela bus kota, kusaksikan di sepanjang perjalanan beraneka ragam warna bendera berkibar menghiasi keramaian di jalan raya. Kulihat bayangan bocah lusuh itu di setiap lambaian bendera-bendera itu.
(Sumber: Harian Solopos, Edisi Minggu, 22 Agustus 2007)

Sunday, September 26, 2010

Alina

ALINA
Adalah Puisi Perjalanan Kubur Sutardji Calzoum Bachri berawal kisah ini.
Untuk kuburmu Alina
aku menggali-gali dalam diri
raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam
menyeka matahari membujuk bulan
teguk tangismu Alina
Alina! Alina! Alina! Siapakah Alina? Yang menggurat gairah, mengunyah sejarah, getarkan tampuk semesta; adakah Alina? Alina di kesementaraan angan menuju keabadian kenangan -- yang entah di mana akhirnya dan entah bagaimana jasad nisbinya. Alina yang punya sejuta cinta dan sekeranjang dosa umat manusia tengah meronta-ronta di liang kuburnya yang tua. Alina yang rahasia, yang berwujud kita, berwujud budaya, berwujud apa saja; tengah menjalani siksa. Siksa Alina!
"Jangan! Jangan ingkari Alina. Jangan sakiti Alina. Jangan dipolitisir Alina. Jangan agung-agungkan Alina. Jangan adakan dan tiadakan Alina. Jangan apa-apakan Alina. Jangan apa-apakan Alina! Biarkan Alina tetap Alina!" lengking saya dalam keadaan luruh yang meluruhkan kesenduan pagi berkabut di sebuah perkampungan kumuh, di pinggiran kota saya yang tertuduh.
Ya, kota saya merasa tertuduh telah merampas, membantai dan memperkosa Alina. Kota saya merasa tersingkir, dileceh-lecehkan, diludahi dan ditelanjangi. Kota saya gelagapan dan gemetar dalam amarah diamnya yang mendidih. Kota saya melambai-lambai, menggapai-gapai dan tidak mau tenggelam. Kota saya patah. Kota saya gerah. Wajahnya berlumur darah. Darah-darah yang melimpah. Darah-darah yang beriak-riak, berombak-ombak, bergulung-gulung melintasi samudera hati diri-hati diri, hingga akhirnya terhempas di pantai liang kubur Alina. Oh, kota saya yang berantakan!
Dan, ketika liang kubur Alina mulai mereguk genangan darah demi genangan darah yang memang bermuara ke sana, kesenduan pagi segera menyusut untuk segera terbang ke alam panas. Pagi tiba-tiba membara. Pagi-pagi dalam prahara. Pagi-pagi dalam huru-hara. Pagi-pagi jadi sangat berbahaya. Di persimpangan-persimpangan, di pusat-pusat perbelanjaan, di salon-salon kecantikan, di emperan-emperan kaki lima, di lorong-lorong sempit, di depan kantor-kantor pemerintah dan swasta, di halaman-halaman sekolah, di pinggir kali, di pasar ikan, di pasar sayur, di pasar-pasar lelang umur manusia, orang-orang ternganga sambil menatap pilu ke ufuk liang kubur Alina. Mereka bertanya-tanya apa tanda ini semua? Apa makna ini semua?
Dengan hati berdebar-debar mereka segera membentuk barisan. Tanpa aba-aba mereka segera bergerak. Derap langkah menggemuruh, membungkamkan diam mereka yang resah. Pagi terasa semakin panas! Parade mereka -- penduduk kota saya -- semakin mantap berderap, semakin cepat bergerak. Peluh mulai bercucuran. Amarah mulai terpancar dari muka mereka. Ada yang merasa tersayat pedih. Ada yang merasa teriris perih. Tetapi mereka semua berusaha diam, berusaha membungkam rasa, membungkus luka, menyeret damba, menggapai semesta. Dan semua menuju ke saya. Mereka menuju ke saya!
Saya terbeliak-beliak menyaksikan kerumunan orang yang begitu banyak. Besar-kecil, tua-muda, lelaki dan wanita berdesak-desak mengerumuni saya. Mereka semua menikam saya dengan pandangan matanya yang dingin, sinis dan mengerikan. Ribuan mulut dikancip-kancipkan. Ribuan tangan diancung-ancungkan. Ribuan kepala ditengadahkan. Ribuan dada ditepuk-tepuk. Ribuan kenangan dirobek-robek, diremas-remas kemudian dicampakkan ke muka saya. Mereka marah! Dan marahnya ditujukan kepada saya! Mengapa harus ke saya? Mengapa saya?
"Kau!" tuding seorang nenek dengan beringasnya.
"Kembalikan aku! Kembalikan kau!" jerit histeris seorang cukong bertubuh jangkung.
"Bantai saja kau! Sikat semua kau! Tunggu apa lagi kau!" terisak-isak seorang bocah bergumam.
Kemudian semua bergumam-gumam, semua berbisik-bisik, semua mengerang-ngerang dan semua mengerat-ngerat keberadaan saya. Saya terpelanting kesana-kemari dalam keterkejutan yang patah-patah. Saya gerah, kecut dan lunglai. Saya terabaikan. Saya merasa digorok-gorok, dicincang dan diiris tipis-tipis. Habis! Habislah saya! Tapi saya tidak tahu apakah saya yang kehabisan ataukah saya yang dihabiskan.
Yang jelas saya jadi sangat merana, menderita, terlunta-lunta akibat malapetaka Alina. Alina? Mengapa saya terhina karena Alina? Begitu tegakah Alina? Mengapa saya ternoda karena Alina? Begitu berkuasakah Alina? Pasrahkah saya demi Alina? Oh, ini bencana apa? Ini bencana apa?
"Keterlaluan sekali! Saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Saya benci! Saya tak mau mati dalam sekarat seperti ini. Kasihan Alina bukan berarti kasihanilah saya. Alina tetap Alina! Saya bukan Alina! Biarkan saya tetap saya. Saya tak tahan lagi, saya tak rela jika diganyang seperti ini. Biarkan saya kembali kepada saya. Biarkan saya...," ratap saya dengan terhiba-hiba.
Udara mendadak gemetar. Daun-daun, batu-batu, dinding-dinding, tiang-tiang listrik, jembatan-jembatan, perasaan-perasaan, kekecewaan-kekecewaan, kebohongan-kebohongan, nista-nista, ambisi-ambisi, persepsi-persepsi, kolusi-kolusi, imaji-imaji, bergetar-getar. Semua bergetar-getar. Begitu asingnya suasana ini tercipta. Saya sedang diperdaya! Saya sedang diperdaya!
Suatu ketika seraup hawa panas menyebar, menampar muka-muka penduduk kota saya yang tercengang-cengang; pilu dalam tanda tanyanya masing-masing. Namun mereka tetap saja menikam saya dengan ketercengangannya dan tanda tanya yang menggelegak di benaknya. Mereka jadi sangat buas dan beringas dalam katup gamangnya yang sukar diterjemahkan. Mereka sepertinya bukan lagi mereka!
"Oh, Alina..., mengapa mereka menghimpit-himpit saya dengan bala bencana seperti ini? Apa salah saya, Alina? Tolonglah saya, Alina! Ah, tetapi tidak! Tidak! Saya tak perlu dikasihani. Saya bukan jenis manusia banci. Lupakan saja saya. Biarkan saya tetap saya. Acuhkanlah saya supaya saya segera merdeka. Ya, merdeka!"
Tetapi semua jadi percuma. Saya merasa tersia-sia tanpa jiwa, tanpa rasa, tanpa apa-apa. Saya jadi ringan polos-telanjang, melayang-layang dan membentur ruang batas yang tak berbatas. Kemudian perlahan-lahan saya meluncur, meraup baying-bayang dan sisa angan-angan yang menyekat di ubun-ubun penduduk kota saya. Penduduk kota saya semakin terperangah dan terus saja marah-marah. Mereka blingsatan kesana-kemari, sibuk dalam mencari-cari.
Agaknya penduduk kota saya telah kehilangan sesuatu yang entah apa, yang pernah jadi miliknya, yang paling dicintainya. Mereka semakin sibuk mencari-cari, menyusup ke riol-riol, mengais-ngais bak sampah, membongkar-bongkar arsip negara, mengaduk-aduk gudang beras, gudang tepung, gudang hati, gudang mimpi, gudang sepi, memilah-milah sejarah, mengobrak-abrik gairah, melesat ke semesta! Mereka terus mencari-cari. Mereka larut dalam pencariannya sendiri-sendiri.
Meresapi makna malapetaka ini saya jadi sakit sekali. Mengapa semua harus berakhir seperti ini? Adakah ini dendam Alina? Adakah ini kutuk Alina? Mengapa semua harus merasakan siksa? Siksa! Oh, terlalu purba makna yang tersirat dari siksa yang tersiksa dirimu Alina. Alina, adakah engkau rindu? Mungkin kami yang tertipu!
Sebuah kekuatan menyerap tubuh saya mendekati liang kubur Alina. Saya terkesiap dan segera bergerak-gerak, menghentak-hentak untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuatan laknat ini. Seluruh kekuatan saya kerahkan. Sebuah kehormatan saya pertaruhkan. Tetapi semua jadi sia-sia. Saya harus mengaku kalah. Tubuh saya semakin lemah. Saya merasakan lelah. Oh, mengapa harus ada kekalahan?
Udara semakin membara. Pagi kehilangan rupa. Angin merah menderu-deru menciptakan suasana neraka. Kata-kata mengalir begitu cepat dan tersaruk-saruk dalam perjalanannya yang mendidih, menggelegak, berbuncah-buncah, meleleh di dinding-dinding kusut kota saya. Jalan-jalan protokol dan lorong-lorong dingin terlipat-lipat. Pepohonan menguap. Taman kota membusuk. Wajah kota saya terkelupas dan bopeng-bopeng. Kota saya terluka! Kota saya terluka!
Sedikit demi sedikit tubuh saya digiring ke tepi liang kubur Alina untuk dibenam di sana . Saya mencoba untuk berbuat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa karena saya sudah dicekam untuk tidak berbuat apa-apa. Saya relakan saja jika ini memang akhir yang harus saya terima. Perlahan-lahan tubuh saya mulai dibenamkan ke liang kubur Alina. Saya juga tidak tahu harus bersedih atau bersuka ria. Saya diam saja, menerima apa adanya. Tubuh saya semakin terbenam, semakin tenggelam dalam liang merah membara milikmu Alina! Milikmu Alina!
Lambaian terakhir sempat saya ancungkan, sebagai ucapan selamat tinggal kepada seluruh penduduk kota saya yang semakin sibuk mencari-cari. Saya tidak tahu apa yang mereka cari. Adakah mereka mencarimu, Alina? Oh, Alina, terimalah saya seutuhnya. Seutuhnya di keabadianmu, Alina!
Sekali mata saya terbeliak. Kemudian perlahan menjadi sendu, sayu dan terasa begitu syahdu.
Udara kian membara.
Tapi, dimanakah Alina?! Dimana Alina?!
.... Saya dibohongi lagi! Saya dibohongi lagi!_ (Cerpen Saiful Bahri )
(Cerpen dari Harian Republika )

Bidadari

IMPIAN YANG TERBADAI
Cerpen Lidya Kartika Dewi

Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.
Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!
HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi
Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya."Hobimu itu nggak baik, Yazid," nasehat temannya, Rajali.
Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.
Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.
Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.
"Hem, asyik sekali mbacanya," tegur Yazid ramah.
Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.
"Dari Aceh ya, Mbak?" tanyanya.
Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya.
"Lho, kok tahu?" sang gadis tersenyum lebar.
Duh senyum itu..., bikin jantung Yazid kelabakan.
"Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda."
"Ah, Mas bisa aja."
Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!
Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.
Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!
"Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?" tanya Yazid terheran-heran.
"Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang," Mirsa menjelaskan.
"O, pantas," Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.
"Kau adik Rajali yang ke berapa?" tanya Yazid pula.
"Keempat. Yang terakhir."
"Jadi kau anak bungsu?"
Kali ini Mirsa yang mengangguk.
Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.
Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. "Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali," kata Yazid sungguh-sungguh. "Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh."
"Ah, aku belum yakin," sela Rajali -- yang biasa dipanggil Ali itu. "Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik." Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.
Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.
"Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku," ucap Mirsa malam itu.
"Kenapa Mirsa?" kening Yazid berkerut.
"Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu."
"Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?" desak Yazid.
Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. "Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa," ucap Yazid serius. "Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!"
Mirsa tetap diam.
"Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu," tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.
Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa.
Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.
"Bezuk siapa, Bang?" tanya Mirsa ramah.
"Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?" tanya Yazid.
Mirsa mengangguk. "Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?"
"Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank." "Wah, hebat tuh, Bang," puji Mirsa.
"Ah, biasa aja."
"Oya Bang, main-main dong ke rumah," cetus Mirsa tiba-tiba.
Yazid tersenyum. "Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali," ucap Yazid.
"Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya."
"Oya? Kapan?" kening Yazid berkerut.
"Setahun yang lalu..."
"Mm...," Yazid mengangguk-angguk. "Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?"
"Oke. Saya tunggu." senyum Mirsa.
Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.
Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.
Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.
"Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu," cegah Haji Muslih. "Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat."
Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid.
Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!
Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).
(Cerpen dari Harian Republika )

Bisul

IMPIAN YANG TERBADAI
Cerpen Lidya Kartika Dewi

Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.
Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!
HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi
Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya."Hobimu itu nggak baik, Yazid," nasehat temannya, Rajali.
Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.
Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.
Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.
"Hem, asyik sekali mbacanya," tegur Yazid ramah.
Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.
"Dari Aceh ya, Mbak?" tanyanya.
Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya.
"Lho, kok tahu?" sang gadis tersenyum lebar.
Duh senyum itu..., bikin jantung Yazid kelabakan.
"Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda."
"Ah, Mas bisa aja."
Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!
Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.
Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!
"Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?" tanya Yazid terheran-heran.
"Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang," Mirsa menjelaskan.
"O, pantas," Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.
"Kau adik Rajali yang ke berapa?" tanya Yazid pula.
"Keempat. Yang terakhir."
"Jadi kau anak bungsu?"
Kali ini Mirsa yang mengangguk.
Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.
Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. "Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali," kata Yazid sungguh-sungguh. "Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh."
"Ah, aku belum yakin," sela Rajali -- yang biasa dipanggil Ali itu. "Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik." Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.
Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.
"Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku," ucap Mirsa malam itu.
"Kenapa Mirsa?" kening Yazid berkerut.
"Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu."
"Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?" desak Yazid.
Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. "Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa," ucap Yazid serius. "Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!"
Mirsa tetap diam.
"Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu," tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.
Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa.
Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.
"Bezuk siapa, Bang?" tanya Mirsa ramah.
"Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?" tanya Yazid.
Mirsa mengangguk. "Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?"
"Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank." "Wah, hebat tuh, Bang," puji Mirsa.
"Ah, biasa aja."
"Oya Bang, main-main dong ke rumah," cetus Mirsa tiba-tiba.
Yazid tersenyum. "Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali," ucap Yazid.
"Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya."
"Oya? Kapan?" kening Yazid berkerut.
"Setahun yang lalu..."
"Mm...," Yazid mengangguk-angguk. "Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?"
"Oke. Saya tunggu." senyum Mirsa.
Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.
Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.
Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.
"Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu," cegah Haji Muslih. "Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat."
Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid.
Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!
Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).
(Cerpen dari Harian Republika )

Impian

IMPIAN YANG TERBADAI
Cerpen Lidya Kartika Dewi

Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.
Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!
HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi
Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya."Hobimu itu nggak baik, Yazid," nasehat temannya, Rajali.
Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.
Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.
Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.
"Hem, asyik sekali mbacanya," tegur Yazid ramah.
Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.
"Dari Aceh ya, Mbak?" tanyanya.
Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya.
"Lho, kok tahu?" sang gadis tersenyum lebar.
Duh senyum itu..., bikin jantung Yazid kelabakan.
"Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda."
"Ah, Mas bisa aja."
Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!
Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.
Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!
"Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?" tanya Yazid terheran-heran.
"Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang," Mirsa menjelaskan.
"O, pantas," Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.
"Kau adik Rajali yang ke berapa?" tanya Yazid pula.
"Keempat. Yang terakhir."
"Jadi kau anak bungsu?"
Kali ini Mirsa yang mengangguk.
Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.
Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. "Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali," kata Yazid sungguh-sungguh. "Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh."
"Ah, aku belum yakin," sela Rajali -- yang biasa dipanggil Ali itu. "Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik." Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.
Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.
"Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku," ucap Mirsa malam itu.
"Kenapa Mirsa?" kening Yazid berkerut.
"Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu."
"Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?" desak Yazid.
Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. "Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa," ucap Yazid serius. "Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!"
Mirsa tetap diam.
"Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu," tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.
Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa.
Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.
"Bezuk siapa, Bang?" tanya Mirsa ramah.
"Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?" tanya Yazid.
Mirsa mengangguk. "Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?"
"Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank." "Wah, hebat tuh, Bang," puji Mirsa.
"Ah, biasa aja."
"Oya Bang, main-main dong ke rumah," cetus Mirsa tiba-tiba.
Yazid tersenyum. "Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali," ucap Yazid.
"Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya."
"Oya? Kapan?" kening Yazid berkerut.
"Setahun yang lalu..."
"Mm...," Yazid mengangguk-angguk. "Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?"
"Oke. Saya tunggu." senyum Mirsa.
Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.
Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.
Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.
"Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu," cegah Haji Muslih. "Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat."
Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid.
Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!
Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).
(Cerpen dari Harian Republika )