Sunday, September 26, 2010

Perempuan yang berenang.................

PEREMPUAN YANG BERENANG SAAT BAH
Cerpen Isbedy Stiawan ZS

Entah dari mana ia tahu kalau aku berada di kota ini. Pagi-pagi sekali, ia menelepon dan mengharap aku menemuinya. Aku sempat kaget ketika penelepon itu menyebut namanya: Shinta Larasati. Kemudian kudengar ucapan syukur bahwa ia selamat saat gempa dan tsunami beberapa hari lalu. "Nta selamat. Juga anak kembarku," lanjutnya dengan tetap menyebut dirinya Nta sebagai sapaan dari namanya. "Meski si kembar masih harus dirawat. Ia banyak meminum air."
"Suamimu?" segera kutanya nasib suaminya, Teuku Nurgani, orang Aceh. Dan karena Nurgani, dia dibawa ke kota ini setelah menikah tiga tahun lalu. Shinta tak langsung menjawab. Beberapa kejap terdiam. Aku yakin, gagang teleponnya masih menempel di telinganya. Aku menanti cemas apa yang akan dikatakannya. "Abang tak bisa diselematkan. Ia digulung gelombang besar, dan sampai kini Nta belum menemukannya. Tapi Nta yakin, abang sudah meninggal," jelasnya beberapa kejap kemudian. Terdengar isaknya.
"Lalu, kau di mana sekarang?" secepatnya kutanyakan posisinya. Aku tak lagi berpikir apalagi bertanya dari mana ia dapat informasi kalau aku ada di Banda Aceh. Bahkan aku juga tak menceritakan mengapa dan untuk urusan apa aku datang ke kota yang nyaris punah dari peta bumi ini. Kukira, dan ini selalu kukatakan kepada teman-temanku, ini tidaklah begitu penting. Aku datang bukan mengataskan namakan relawan yang acap ditulis secara resmi, juga tak menggunakan suatu lembaga apa pun.
Ia menyebut suatu tempat di sekitaran Bandara Blang Bintang. Tak kutanya apakah ia di penampungan para pengungsi ataukah di suatu rumah. Sebab kemudian ia menceritakan detik-detik ia melawan maut. Katanya, ketika semburan gelombang berkekuatan dahsyat, ia berlari kencang menghindar kejaran air. Si kembar didekapnya erat-erat. "Nta tak mau melepaskan salah satu si kembar. Dalam pikiran Nta lebih baik mati bersama, atau kami selamat bertiga," katanya.
Shinta bercerita bahwa saat itu yang terpikir hanyalah tempat berlindung. Tetapi, sampai lebih 50 meter ia berlari tak satu pun tempat yang dianggapnya dapat menyelematkannya. Ia terus lari. Sekencangnya. Kedua anaknya-Ranti dan Santi-terguncang-guncang dalam dekapan tangannya. Ia kalah dengan kekuatan lari air. Shinta, demikian ceritanya, sempat tergulung dan berenang dalam air bah sampai ia tertolong tembok yang ternyata adalah dinding sebuah Masjid.
Shinta berkata, "Nta naiki tembok masjid itu. Tak berpikir apa-apa, selain ingin selamat. Ingin selamat. Nta memohon diselamatkan Tuhan. Ketika air mulai surut, Nta langsung sujud syukur..."
"Suamimu di mana saat itu?"
"Abang sedang jalan pagi...," lalu suaranya tersekat. Isaknya kembali
kudengar. "Nta tak punya siapa-siapa lagi di sini. Nta takut," ujarnya lagi.
Ah! Shinta Larasati. Nama itu kembali akrab di benakku. Padahal sejak Teuku Nurgani menikahinya tiga tahun silam, aku sudah melupakannya. Namanya sudah kuhapus dari memoriku, bahkan seluruh nomor telepon dan alamatnya sudah kubuang dari notesku. Aku tak ingin mengganggu kebahagiaannya. Tak hendak mengusik kehangatan rumah tangganya. Betapa pun ia pernah singgah-bahkan sulit terpisahkan, dari hatiku. Tuhan telah menentukan lain. Cuma tiga bulan perkenalannya dengan Teuku Nurgani, ia pun dilamar. Setelah menikah dibawa ke kampung kelahiran sang suami: menetap hingga bencana itu datang pada Ahad, 26 Desember 2004.
Aku sempat putus asa ketika ia mengutarakan hendak menikah. Tetapi, aku tak dapat berbuat apa-apa. Tersebab waktu itu aku memang belum mau berumah tangga. Padahal ia sangat menunggu aku melamarnya. "Nta tak mau persahabatan kita dinodai. Segeralah melamarku, Sat!" "Dengan apa aku melamarmu, Shinta? Modalku belum ada untuk membawamu..." kataku. Meski aku berjanji tetap akan menikahinya. "Aku juga ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku." 1)
Aku serbasalah. Ia memang terbawa emosi. Gamang ketika banyak temannya sudah berkeluarga. Selain itu, sebagai anak sulung kedua orang tuanya seakan menumpukan harapan padanya. Itu sebabnya, aku relakan ketika Nurgani melamarnya. Aku juga tak datang sewaktu resepsi pernikahannya. Tak sedap membiarkan hatiku yang luka semakin koyak. Undangan dari Shinta kubiarkan tergantung di dinding kamarku, bahkan hingga kini masih ada di sana. Foto Shinta Larasati dan Teuku Nurgani terpajang di halaman muka undangannya.
Dan, kalau sampai hari ini aku belum berkeluarga bukan lantaran frustrasi. Hanya aku tak punya semangat berteman khusus dengan lain perempuan. Meski di kantorku banyak yang menggoda. Aku tetap dingin dan hatiku sekeras batu sehingga tak seorang pun dapat memecahkannya. Daniel kerap mencoba untuk mencairkan kebekuan hatiku dengan menewarkan beberapa nama perempuan, namun selalu gagal.
"Kau harus realistis, Sat! Usiamu terus bertambah. Apa kau menginginkan perempuan seperti Shinta, mana mungkin kaudapatkan dua orang yang sama persis!" tandas Daniel. "Kalau aku mau, Shinta sudah jadi istriku. Hanya waktu itu aku belum mau berumah tangga," jelasku. Aku tersinggung ketika ia mengira kalau aku memilih hidup seperti ini karena Shinta tidak menikah denganku. Padahal Shinta menikah dengan Teuku Nurgani lantaran aku belum siap melamarnya. "Sekarang modalmu sudah cukup, bukan? Kenapa tidak mencari perempuan lain? Di kantor ini saja kukira banyak yang bisa kaujadikan istrimu, kalau saja kau benar-benar tidak frustrasi pada perempuan," timpal Daniel.
Aku tak tergoda oleh ocehannya. Teman-teman perempuan di kantorku hanya kujadikan mitra kerjaku. Pada waktu yang lain kutempatkan mereka sebagai kawan diskusi, ataupun lawan saing demi menyemangati pekerjaan. Awalnya Daniel mengira hatiku mulai mencair, dan suatu saat nanti akan memilih salah satu dari mereka. Perkiraannya meleset. Sampai aku dipromosikan jabatan yang bagus dan pindah ke kota Jk, aku tak juga jatuh hati dengan salah satu dari teman sekantorku.
Aku mengemasi barang-barang yang ada di ruang kerjaku, lalu memasukkan ke dalam kotak-kotak kardus yang telah disiapkan. Setelah itu kunaiki ke mobil. Tak banyak cakap. Aku juga jarang menyambut godaan Daniel, terutama soal perempuan. Bahkan ketika ia memberiku setangkup roti yang katanya dari Endah, tanpa kusahut langsung kumasukkan ke dalam mulut. "Ternyata kau hanya lapar makanan, bukan perempuan," Daniel berbisik. Setelah itu aku pamit. Pada Daniel, sahabatku yang sangat dekat di kantorku, juga seluruh karyawan lainnya. Tak ada tangis. Tak perlu mengumbar kesedihan.
Aku pikir tak perlu bersedih dalam hidup ini. Meski aku tetap punya rasa haru, begitu menyaksikan orang bersedih. Maka itu, ketika kusaksikan berita gempa dan stunami menewaskan puluhan ribu orang dan menghancurkan Aceh, segera kuputuskan ke kota ini. Aku harus menolong sebisa apa yang ada pada diriku. Setidaknya, dengan keahlian sebagai dokter, aku akan menolong banyak korban yang cedera.
Itulah mengapa sore tadi aku sudah tiba di kota ini. Kota yang telah penuh oleh sampah puing dan lumpur hitam, sebuah kota yang nyaris lenyap dari peta. Kota yang kini berserakan mayat di setiap sudut tanahnya. Mayat yang mulai meruap amis. Dan, sejak sore tadi begitu kakiku menjejak Tanah Rencong ini, berkali-kali aku bersitatap dengan orang-orang yang pandangannya kosong. Atau seorang inong2) yang duduk bengong di tengah runtuhan bekas rumahnya. Mungkin ia juga kehilangan keluarganya atau suaminya?
Pagi ini seharusnya aku bergabung dengan para relawan yang lain, kalau saja Shinta Larasati tidak meneleponku subuh tadi. Ia berharap sekali aku menemuinya di sekitaran Blang Bintang. Tetapi, aku lupa menanyakan di mana ia menetap. Di penampungan pengungsi ataukah menetap di rumah warga?
Aku berjanji menemuinya agak siang. Sebab pagi ini aku harus ke tenda pengungsian dekatku menginap untuk menolong anak-anak yang terserang diare. Shinta merajuk. Ia berharap menemuinya lebih dulu. Akhirnya aku ke Blang Bintang menumpang mobil Palang Merah Indonesia. Kudapati Shinta yang sedang menunggui anak kembarnya. Katanya, "Terima kasih Sat, terima kasih mau melihat Nta."
Aku tersenyum. Menatap wajah masai itu. Kedua matanya sembab. Barangkali karena kebanyakan menangis. Aku berkata kemudian, "Sudahlah, sedihnya jangan berlarut-larut. Ikhlaskan yang telah pergi. Suamimu mati syahid, pasti dia telah menantimu di surga."
Shinta kembali terisak. Lalu ucapku lagi, "Aku sudah datang kan? Jadi, kau jangan bersedih lagi. Aku segera menolong anakmu."
Lalu kubuka tasku. Kuambil obat dan kuserahkan padanya. Kuperiksa tubuh Ranti dan Santi. "Kau tak apa-apa kan? Tak perlu kuperiksa kan?"
Ia menggeleng. "Nta sehat. Hanya...."
"Jangan berpikir macam-macam, malah nanti kesehatanmu terganggu. Tenanglah. Yang perlu kauperhatikan kesehatan kedua anakmu," aku menasihatinya. Ketika ingin pamit, Shinta seperti keberatan kutinggalkan.
"Aku harus menolong yang lain. Kedatanganku ke sini untuk memberi pertolongan, bukan."
"Ya Nta maklum. Nta memang tak perlu ditolong. Terima kasih, Sat."
"Bukan itu maksudku, Shinta. Sebagai dokter aku harus menolong orang lain juga. Masih banyak korban yang menderita, yang membutuhkan perawatanku. Maafkan aku. Dan sore nanti, setelah tugasku selesai, aku pasti ke sini lagi. Menemuimu. Menemani Ranti dan Santi," janjiku. Segera kutinggalkan Shinta yang memandangku tak berkedip.
"Nta mengerti. Kalau banyak tugas, kau tak kemari pun tak apa-apa. Nta bisa mengurus sendiri."
"Aduh Shinta... kau marah ya?" kataku. Dan, aku tak mengharapkan reaksinya.
Sore ini kutepati janji. Mengunjungi Shinta. Memeriksa keadaan si kembar dan memberinya obat. Ia menerimaku riang. Wajahnya benderang. Seperti ada bintang di paras yang manis itu. Keadaan Ranti dan Santi mulai membaik. Sejak itu aku sering menemuinya setiap sore atau malam.
"Nta mau pergi dari sini. Di sini Nta sudah tak punya famili lagi," katanya setelah tiga hari pertemuan kami. "Nta tidak sanggup menetap lama di sini, traumatik. Setiap mendengar suara, seperti suara gemuruh air."
"Ke mana?"
"Ke rumah Tante Alin di Jakarta. Semalam Nta nelepon, dan tante akan menjemput Nta."
"Bagaimana kalau ke rumahku?"
Entah kekuatan apa yang membuat kata-kata itu meluncur dari bibirku.
Entah mengapa aku begitu lancang (atau malah itu wajar?) mengajaknya ke rumahku, padahal ia belumlah menjadi istriku? Mungkin itu sebagai tanda, cinta kami yang tertunda akan berpaut kembali? Entahlah.
Aku cemas. Tertunduk. Aku seperti tengah menanti ia mendampratku karena ucapanku barusan. Menyesal. Aku sudah berbuat kurang ajar pada Shinta, perempuan yang sejak dulu sangat kuhormati. Segera ingin kuralat, meminta maaf kalau aku lancang dan bukan karena sengaja. Namun belum lagi ucapanku keluar, Shinta mendahului dengan ujaran: "Kalau Abang menikahi Nta, bolehlah."
Lampung, 17 Januari-4 Februari 2004
1) ucapan Rendra dalam satu puisinya.
2) perempuan (bahasa Aceh).
(Cerpen dari Harian Republika )

0 comments:

Post a Comment