tag:blogger.com,1999:blog-71225034960777554312024-02-08T07:10:08.272-08:00Dunia Cerita Pendekwww.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.comBlogger24125tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-89218550252913151262010-10-04T22:16:00.000-07:002012-07-08T01:38:21.248-07:00Nggak Tahu Malu<div style="text-align: justify;">
<span style="font-weight: bold;">Nggak Tahu Malu</span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Suatu petang, seorang wanita muda sedang duduk di ruang tunggu bandara yang tak terlalu ramai. Jenuh menunggu, ia pun berjalan-jalan, masuk ke sebuah toko buku dan membeli novel, favoritnya. Sebelum kembali ke tempat duduknya, ia pun menyempatkan membeli sekantung kue. Selang satu kursi di sebelah kanan tempat duduk wanita itu, duduk seorang pria berkacamata dengan tongkat kayu tergenggam erat di tangannya. Setelah tersenyum basa-basi kepada pria tua itu, ia pun duduk dan langsung asyik membaca novel yang baru dibelinya. Tanpa menghiraukan apa pun yang terjadi di sekitarnya, sebagaimana layaknya kebanyakan sikap orang metropolitan. Wanita it uterus membaca dan membaca. Setelah beberapa menit, ia mulai terganggu ketika pria tua itu mengambil satu kue dari kantung yang diletakkan di kursi di antara mereka, lalu memakan kue itu dengan nikmatnya. Mulanya, wanita itu tak menghiraukannya sambil terus membaca buku dan mengambil satu kue serta memakannya. Tapi apa yang terjadi? Pria tua itu pun kemudian mengambil lagi satu kue sambil tersenyum lalu memakannya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Karena tak mau ambil pusing dan membuat keributan, wanita itu tetap membiarkannya sambil terus membaca, memakan kue, dan sekali-kali melihat jam yang tergantung di dinding ruang tunggu. Lagi-lagi, pria tua itu pun mengambil kue dan memakannya. ”Kalau saja aku tak sedang berbaik hati, sudah kupanggil polisi bandara yang sedang berjaga itu agar laki-laki tua itu tak tahu diri itu ditahan,” gumam wanita itu kesal dan sedikit marah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setiap satu kue diambil dan dimakannya, pria tua itu pun mengambil satu kue dan memakannya hingga tibalah saat tinggal satu kue tersisa dalam kantung. Wanita itu membiarkannya karena penasaran dan mencoba ingin tahu apa yang akan dilakukan pria itu. Dengan senyum kecil dan tawa kecil yang agak gugup, pria tua itu pun mengambil kue terakhir dan memotongnya menjadi dua lalu memberikan satu bagian kepada wanita itu.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Nggak tahu malu!”. Kembali ia mengomel dalam hatinya dengan raut wajah yang kecut dan agak marah.</div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba terdengar pengumuman dari petugas bandara bahwa pesawat yang akan ditumpangi wanita itu telah dating dan seluruh penumpang dipersilahkan segera menaiki pesawat. Wanita itu pun segera mengemasi barang-barangnya tanpa sedikitpun menghiraukan si pencuri kue itu. Ia bergegas menuju pesawat.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Setelah berada di dalam pesawat, ia pun duduk dengan santai dan melanjutkan membaca novelnya. Sesaat setelah pesawat lepas landas, tanpa sengaja ia memegang tas kecil yang dibawanya dan dengan sangat terkejut mendapati sekantung kue di dalamnya. Itu adalah kue yang dibelinya di bandara.</div>
<div style="text-align: justify;">
“Kalau kueku ada di sini,“ dia bergumam dengan napas yang agak sesak,”berarti kue yang tadi kumakan adalah kue pria tua itu dan dia berbaik hati berbagi denganku.” Terlambat untuk minta maaf.” Ah, ternyata sayalah si pencuri kue itu.”</div>
<div style="text-align: justify;">
So…hati hati, jangan berprasangka buruk !</div>
<div style="text-align: justify;">
Too much suuzon will kill you.</div>
<div style="text-align: justify;">
( Sumber: Percikan Iman No 2 Th. 2004)</div>www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-21950915170905399312010-09-29T23:23:00.000-07:002010-09-29T23:26:06.371-07:00Shalawat BadarShalawat Badar<br />Karya Ahmad Tohari<br /><br />Bus yang aku tumpangi masuk Cirebon ketika matahari hamper mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua mamanggang bus itu beserta isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesame penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun, dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yang dialirkan dengan kipas Koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk. <br /> Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajingloncat ketika bus masih berada di mulut terminal bus menjadi pasar yang sangat hiruk pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan dan soir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bias mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian, mereka mengeluh ketika mendapati tak seorangpun mau belanja. Seorang diantara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia –manusia kikir, atau manusia-manusia yang tak punya duit.<br /> Suasana sungguh gerah, sangat bising dan para penumpang tak berdaya melawan keadaan yang sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu;hendaknya sopir cepat datang dan bus segera berangkat kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yang menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.<br /> Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah dan jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa dan raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang; sopir yang tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yang sangat berisik itu, dan lelaki yang setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakang itu.<br /> Masih banyak hal yang belum sempat aku baca ketika seorang lelaki naik ke dalam bus. Celana, baju, dan kopiahnya berwarna hitam. Dia naik dari pintu depan. Begitu naik lelaki itu mengucapkan salam dengan fasih. Kemudian dari mulutnya mengalir Shalawat Badar dalam suara yang bening. Tangannya menadahkan mangkuk kecil. Lelaki itu mengemis. Aku membaca tentang pengemis ini dengan perasaan yang sangat dalam. Aku dengrkan dengan baik shalawatnya. Ya, persis. Aku pun sering membaca shalawat seperti itu terutama dalam pengajian-pengajian umum atau rapat-rapat. Sekarang kulihat dan kudengar ada lelaki membaca Shalawat Badar untuk mengemis.<br />Kukira pengemis itu sering mendatangi pengajian-pengajian. Kukira dia sering mendengar ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup baik di dunia maupun akhirat. Lalu dari pengajian seperti itu dia hanya mendapat sesuatu untuk membela kehidupannya di dunia. Sesuatu itu adalah Shalawat Badar yang kini sedang dikumandangkannya sambil menadahkan tangan. Ada perasaan tidak setuju mengapa hal-hal yang kudus seperti bacaan shalawat itu dipakai untuk mengemis. Tetapi perasaan demikian lenyap ketika pengemis itu sudah berdiri di hadapanku. Mungkin karena shalawat itu, maka tanganku bergerak merogoh kantong dan memberikan selembar ratusan. Ada banyak hal dapat dibaca pada wajah pengemis itu.<br />Di sana aku lihat kebodohan, kepasrahan yang memperkuat penampilan kemiskinan. Wajah-wajah seperti itu sangat kuhafal karena selalu hadir mewarnai pengajian yang sering diawali dengan shalawat Badar. Ya. Jejak-jejak pengajian dan ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup ada bebekas pada wajah pengemis itu. Lalu mengapa dari pengajian yang sering didatanginya ia hanya bias menghafal Shalawat Badar dan kini menggunakannya untuk mengemis? Ah, kukira ada yang tak beres. Ada yang salah. Sayangnya aku tak begitu tega menyalahkan pengemis yang terus membaca shalawat itu.<br /> Perhatianku terhadap si pengemis terputus oleh bunyi pintu bus yang dibanting. Kulihat sopir sudah duduk di belakang kemudi. Kondektur melompat masuk dan berteriak kepada sopir. Teriakannya ditelan oleh bunyi mesin diesel yang meraung-raung. Kudengar kedua awak bus itu bertengkar. Kondektur tampaknya enggan melayani bus yang tidak penuh, sementara sopir sudah bosan menunggu tambahan penumpang yang ternyata tak kunjung datang. Mereka bertengkar melalui kata-kata yang tidak sedap didengar. Dan bus melaju meninggalkan terminal Cirebon.<br /> Sopir yang marah menjalankan busnya dengan gila-gilaan. Kondektur diam. Tapi kata-kata kasarnya mendadak tumpah lagi. Kali ini bukan kepada sopir, melainkan kepada pengemis yang jokok dekat pintu belakang.” He, siral kenapa kamu tidak turun? Mau jadi gembel di Jakarta? Kamu tidak tahu gembel di sana pada dibuang ke laut dijadikan rumpon?”<br /> Pengemis itu diam saja.<br />“Turun!”<br />“Sira beli mikir? Bus cepat seperti ini aku harus turun?”<br />“Tadi siapa suruh kamu naik?”<br />“Saya naik sendiri. Tapi saya tidak ingin ikut. Saya Cuma mau mengemis, kok. Coba, suruh sopir berhenti. Nanti saya akan turun. Mumpung belum jauh.”<br />Kondektur kahabisan kata-kata. Dipandangnya pengemis itu seperti ia hendak menelannya bulat-bulat. Yang dipandang pasrah. Dia tampaknya rela diperlakukan sebagai apa saja asal tidak didorong keluar dari bus yang melaju makin cepat. Kondektur berlalu sambil bersungut. Si pengemis yang merasa sedikti lega, bergerak memperbaiki posisinya di dekat pintu belakang. Mulutnya sambil bergumam: “…shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah…’<br />Shalawat itu terus mengalun dan terdengar makin jelas karena tidak ada lagi suara kondektur. Para penumpang membisu dan terlena dalam pikiran masing-masing. Aku pun mulai mengantuk sehingga lama-lama aku tak bias membedakan mana suara shalawat dan mana derum mesin diesel. Boleh jadi aku sudah berada di alam mimpi dan di sana kulihat ribuan orang membaca shalawat. Anehnya, mereka yang berjumlah banyak sekali itu memiliki rupa yang sama. Mereka semuanya mirip sekali dengan pengemis yang naik dalam bus yang kutampangi di terminal Cirebon. Dan dalam mimpi pun aku berpendapat bahwa mereka bias menghafal teks shalawat itu dengan sempurna karena mereka sering mendatangi ceramah-ceramah tentang kebaikan hidup di dunia maupun akhirat. Dan dari ceramah-ceramah seperti itu mereka hanya memperoleh hafalan yang untungnya boleh dipakai modal menadahkan tangan.<br />Kukira aku masih dalam mimpi ketika kurasakan peristiwa yang hebat. Mula-mula kudengar Guntur meledak dengan dahsyat. Kemudian kulihat mayat-mayat beterbangan dan jatuh di sekelilingku. Mayat-mayat itu terluka dan beberapa diantaranya kelihatan sangat mengerikan. Karena merasa takut aku pun lari. Namun aku tersandung batu dan jatuh ke tanah. Mulut terasa asin dan aku meludah. Ternyata ludahku merah. Terasa ada cairan mengalir dari lobang hidungku. Ketika kuraba,, cairan itu pun merah. Ya Tuhan. Tiba-tiba aku tersadar bahwa diriku terluka parah. Aku terjaga dan di depanku ada melapetaka. Bus yang kutumpangi sudah terkapar di tengah sawah dan bentuknya sudah tidak karuan. Di dekatnya terguling sebuah truk tangki yang tak kalah ringseknya. Dalam keadaan panik aku mencoba bangkit bergerak ke jalan raya. Namun rasa sakit memaksaku duduk kembali. Kulihat banyak kendaraan berhenti. Kudengar orang-orang merintih. Lalu samar-samar kulihat seorang lelaki kusut keluar dari bangkai bus. Badannya tak tergores sedikit pun. Lelaki itu dengan tenang berjalan kembali kea rah kota Cirebon.<br />Telingaku dengan gamblang mendengar suara lelaki yang terus berjalan dengan tenang kea rah timur itu:”Shalatullah, salamullah, ‘ala thaha rasulillah… <br />(Sumber : Kumpulan cerpen Senyum Karyamin, 1989www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-26875996897391827382010-09-27T23:19:00.000-07:002010-09-27T23:20:26.381-07:00BenderaBendera<br />Oleh : Siti Mukarromah<br /><br />“Mbak mau sekolah ya, Mbak?”<br />Aku terkejut mendengar sapaan seorang bocah berpenampilan sangat lusuh berdiri di sampingku. Aku hanya tersenyum ringan menjawab sapaannya. Tanpa merasa terusik oleh kehadiran bocah laki-laki seusia Reza –adik laki-lakiku yang masih duduk di bangku SMP-itu, aku pura-pura tak menghiraukan. Berulangkali aku longokkan wajahku ke arah barat, ke arah datangnya bus kota yang akan mengantarkan aku ke tujuanku, kampusku. Dengan harap-harap cemas kutengok arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, 10 menit sudah aku berdiri di halte bus ini tetapi bus yang kutunggu belum juga muncul.<br /> “Aku pasti terlambat hari ini.”gumamku dalam hati.<br /> “Mbak benderanya bagus ya, Mbak, warnanya sangat indah,”komentar bocah lusuh itu sambil menunjuk ke tiang bendera yang berjajar di sebelahku.<br />Sekali lagi aku hanya tersenyum mendengar komentarnya yang polos. “Dengan dihiasi bendera-bendera itu Kota Solo tampak meriah, ya Mbak?” Dengan gaya bicaranya yang sok dewasa, bocah itu kembali berkomentar. Lama-lama aku heran juga dengan sikapnya yang tak sedikitpun jemu dengan sikapku yang dingin tak sedikitpun memedulikannya.<br /> “ Kapan ya Mbak, Bapak Caleg yang punya bendera ini akan datang ke Solo?” Dengan nada bicaranya yang sok tahu perpolitikan di Indonesia, dia berkomentar. “Kalau Bapak Caleg datang ke sini, aku akan bersalaman dengannya, dan pasti wartawan akan berebut memfotoku.” Sambil tersenyum-senyum tanpa dosa bocah itu berusaha menarik-narik ujung bendera yang berkibar berjajar memenuhi pinggir jalan di samping halte bus yang telah dipenuhi calon penumpang.<br /> Mendengar komentarnya yang menyentuh hati begitu, akhirnya si bocah lusuh itu pun berhasil menarik perhatianku. Kuperhatikan sosok tubuhnya yang lusuh berdiri bersandar di tiang bendera, salah satu dari tiang –tiang bendera yang berjajar di samping tempatku berdiri. Pakainnya kumuh, compang-camping, dengan lubang dan tambalan kain di sana-sini. Celana kolornya terlalu besar ukurannya untuk bocah seusia dia, kaos oblong putih atasannya telah berubah warna, ada warna hitam bekas goresan arang, ada warna merah bercampur hijau bekas tumpahan es cao, juga warna cokelat tua pekat bekas cipratan lumpur dari kubangan air di pinggir jalan.<br /> “Mbak, boleh ya kupetik kain bendera itu untuk buat celana kolor yang baru?” Aku hanya menggeleng, mendengar permintaannya.<br /> “Kenapa tidak boleh, Mbak?” desaknya sambil menarik-narik kain lengan bajuku.<br /> “Itu bukan milikku!” jawabku agak kesal karena aku merasa jijik oleh tangannya yang lusuh telah menyentuh pakaianku yang bersih dan harum ini. Dia tampak sangat kecewa dengan jawaban-ku. Ada nada penyesalan di rona wajahnya, mungkin dia merasa bersalah telah mengotori pakaianku.<br /> “Sudah, coba minta izin ke embak-embak atau mas-mas yang berdiri di sana!” Sambil tersenyum-tersenyum tak begitu bermakna, bocah lusuh itu segera menuju ke arah yang kutunjukkan dengan telunjuk.<br /> Akhirnya, si bocah lusuh itu pun menghampiri dua gadis remaja berpenampilan necis yang berdiri di depan halte itu. Belum sempat bocah itu menyampaikan maksud hatinya, kedua gadis yang tampak berasal dari keluarga kaya itu segera menyingkir karena merasa jijik dengan kehadiran sosok makhluk yang sangat mengganggu pemandangan itu. Merasa kesal karena tidak dianggap manusia, bocah lusuh itu mengurungkan niatnya. Segera ia menuju tiang bendera yang berjajar rapi dengan warnanya yang seragam melambai-lambai menghiasi hiruk pikuk lalu lintas pagi.<br /> “Hai Bocah, apa yang kau lakukan?” Bocah itu buru-buru menghentikan aktifitasnya ketika disampingnya telah berdiri sosok pemuda gagah, berperawakan tinggi besar, berkulit kuning bersih, tampan berwibawa, menegurnya dengan suara lantang membuatnya terperanjat.<br /> “Om. Saya…saya hanya menginginkan bendera ini untuk dibuat celana.” Dengan gugup dan takut yang amat sangat, bocah itu segera menundukkan wajahnya yang suram.<br />“Jadi, kau ingin menurunkan bendera-bendera itu, Bocah?” Bocah itu hanya mengangguk dan menjawab pertanyaan lelaki berpenampilan penuh wibawa itu.”Oh…, bagus…bagus…”Lelaki itu mengelus-elus rambut kumal bocah polo situ dengan senyum yang entah apa maksudnya. “Ambil saja semuanya, jangan hanya satu atau dua!” Lelaki penuh wibawa itu berlagak sok jadi pahlawan babgi si bocah lusuh itu.”Warnanya sangat bagus untuk dibuat celana kolor, dan pasti sangat cocok kamu kenakan.”<br /> Merasa mendapat izin dan dukungan dari Dewa Penolong, bocah itu segera melanjutkan usahanya mengambil bendera-bendera itu dari tiangnya untuk segera dapat dibuat celana kolor yang lumayan bagus untuknya. Dengan penuh semangat ia berusaha merobohkan ketegaran tiang-tiang yang tinggi menjulang itu. Akhirnya, “Prakkk!” Sebuah tiang bendera yang lumayan tinggi telah rubuh di hadapannya, nyaris saja mengenai kedua kakinya. Menyaksikan keberhasilannya merobohkan tiang kokoh itu,si bocah tanpa dosa itu tertawa kegirangan. Ditengoknya sosok lelaki yang tadi berdiri di sampingnya yang telah member support baginya.<br /> Tetapi betapa kagetnya bocah itu ketika dirasakan telinga kanannya serasa hamper putus oleh tarikan kuatdari tangan yang sangat kekar. “Hai binatang jelek, apa yang kau lakukan? Jangan main-main ya, bias-bisa kuputus telingamu yang lebar ini.” Seorang lelaki tinggi, bertubuh kekar, dan berkulit hitam sangat pekat telah berada di sampingnya, wajah garangnya nyaris bersentuhan dengan keningnya yang basah oleh keringat dingin. Kedua bola matanya melotot, memancarkan amarah yang maha sangat. Bocah yang tak seberapa kuat tubuhnya dibandingkan tubuh kekar yang berdiri di sampingnya itu, gemetar ketika bola matanya beradu pandang dengan sorot mata merah melotot seakan-akan mau meloncat keluar dari sarangnya itu. Dengan segera, bocah malang itu berusaha menyelamatkan jiwanya dari siksaan itu, ditariknya kedua tangannya dari tali bendera yang berhasil dilepaskannya dari tiangnya yang telah rubuh itu.<br /> “Mbak, mbak, Om itu tidak boleh aku mengambil bendera bagus itu.” Tiba-tiba bocah yang tida berdaya itu, jatuh tersungkur di hadapanku, dipegangnya erat-erat kedua kakiku, seakan-akan mohon perlindungan padaku.<br /> Dengan susah payah kubantu bocah malang itu untuk berdiri. Tapi alangkah terkejutnya hatiku ketika kusaksikan beberapa helai kain yang berwarna-warni jatuh berhamburan dari balik kaus oblongnya yang membungkus perutnya yang buncit.”Mbak, aku akan mengembalikan bendera-bendera ini pada tiangnya agar besok Bapak yang punya bendera ini datang ke sini tidak memarahiku.”<br /> Aku tersadar dari keharuanku ketika bus kota yang lama kunanti telah berhenti dihadapanku. Segera kusandarkan tubuhku nan lesu pada jok bus kota yang terasa sangat nyaman. Dari balik jendela bus kota, kusaksikan di sepanjang perjalanan beraneka ragam warna bendera berkibar menghiasi keramaian di jalan raya. Kulihat bayangan bocah lusuh itu di setiap lambaian bendera-bendera itu.<br />(Sumber: Harian Solopos, Edisi Minggu, 22 Agustus 2007)www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-40289680203564485952010-09-26T21:20:00.001-07:002010-09-26T21:21:03.553-07:00AlinaALINA <br />Adalah Puisi Perjalanan Kubur Sutardji Calzoum Bachri berawal kisah ini. <br />Untuk kuburmu Alina<br />aku menggali-gali dalam diri<br />raja dalam darah mengaliri sungai-sungai mengibarkan bendera hitam<br />menyeka matahari membujuk bulan<br />teguk tangismu Alina<br />Alina! Alina! Alina! Siapakah Alina? Yang menggurat gairah, mengunyah sejarah, getarkan tampuk semesta; adakah Alina? Alina di kesementaraan angan menuju keabadian kenangan -- yang entah di mana akhirnya dan entah bagaimana jasad nisbinya. Alina yang punya sejuta cinta dan sekeranjang dosa umat manusia tengah meronta-ronta di liang kuburnya yang tua. Alina yang rahasia, yang berwujud kita, berwujud budaya, berwujud apa saja; tengah menjalani siksa. Siksa Alina!<br />"Jangan! Jangan ingkari Alina. Jangan sakiti Alina. Jangan dipolitisir Alina. Jangan agung-agungkan Alina. Jangan adakan dan tiadakan Alina. Jangan apa-apakan Alina. Jangan apa-apakan Alina! Biarkan Alina tetap Alina!" lengking saya dalam keadaan luruh yang meluruhkan kesenduan pagi berkabut di sebuah perkampungan kumuh, di pinggiran kota saya yang tertuduh.<br />Ya, kota saya merasa tertuduh telah merampas, membantai dan memperkosa Alina. Kota saya merasa tersingkir, dileceh-lecehkan, diludahi dan ditelanjangi. Kota saya gelagapan dan gemetar dalam amarah diamnya yang mendidih. Kota saya melambai-lambai, menggapai-gapai dan tidak mau tenggelam. Kota saya patah. Kota saya gerah. Wajahnya berlumur darah. Darah-darah yang melimpah. Darah-darah yang beriak-riak, berombak-ombak, bergulung-gulung melintasi samudera hati diri-hati diri, hingga akhirnya terhempas di pantai liang kubur Alina. Oh, kota saya yang berantakan!<br />Dan, ketika liang kubur Alina mulai mereguk genangan darah demi genangan darah yang memang bermuara ke sana, kesenduan pagi segera menyusut untuk segera terbang ke alam panas. Pagi tiba-tiba membara. Pagi-pagi dalam prahara. Pagi-pagi dalam huru-hara. Pagi-pagi jadi sangat berbahaya. Di persimpangan-persimpangan, di pusat-pusat perbelanjaan, di salon-salon kecantikan, di emperan-emperan kaki lima, di lorong-lorong sempit, di depan kantor-kantor pemerintah dan swasta, di halaman-halaman sekolah, di pinggir kali, di pasar ikan, di pasar sayur, di pasar-pasar lelang umur manusia, orang-orang ternganga sambil menatap pilu ke ufuk liang kubur Alina. Mereka bertanya-tanya apa tanda ini semua? Apa makna ini semua?<br />Dengan hati berdebar-debar mereka segera membentuk barisan. Tanpa aba-aba mereka segera bergerak. Derap langkah menggemuruh, membungkamkan diam mereka yang resah. Pagi terasa semakin panas! Parade mereka -- penduduk kota saya -- semakin mantap berderap, semakin cepat bergerak. Peluh mulai bercucuran. Amarah mulai terpancar dari muka mereka. Ada yang merasa tersayat pedih. Ada yang merasa teriris perih. Tetapi mereka semua berusaha diam, berusaha membungkam rasa, membungkus luka, menyeret damba, menggapai semesta. Dan semua menuju ke saya. Mereka menuju ke saya!<br />Saya terbeliak-beliak menyaksikan kerumunan orang yang begitu banyak. Besar-kecil, tua-muda, lelaki dan wanita berdesak-desak mengerumuni saya. Mereka semua menikam saya dengan pandangan matanya yang dingin, sinis dan mengerikan. Ribuan mulut dikancip-kancipkan. Ribuan tangan diancung-ancungkan. Ribuan kepala ditengadahkan. Ribuan dada ditepuk-tepuk. Ribuan kenangan dirobek-robek, diremas-remas kemudian dicampakkan ke muka saya. Mereka marah! Dan marahnya ditujukan kepada saya! Mengapa harus ke saya? Mengapa saya?<br />"Kau!" tuding seorang nenek dengan beringasnya.<br />"Kembalikan aku! Kembalikan kau!" jerit histeris seorang cukong bertubuh jangkung.<br />"Bantai saja kau! Sikat semua kau! Tunggu apa lagi kau!" terisak-isak seorang bocah bergumam.<br />Kemudian semua bergumam-gumam, semua berbisik-bisik, semua mengerang-ngerang dan semua mengerat-ngerat keberadaan saya. Saya terpelanting kesana-kemari dalam keterkejutan yang patah-patah. Saya gerah, kecut dan lunglai. Saya terabaikan. Saya merasa digorok-gorok, dicincang dan diiris tipis-tipis. Habis! Habislah saya! Tapi saya tidak tahu apakah saya yang kehabisan ataukah saya yang dihabiskan.<br />Yang jelas saya jadi sangat merana, menderita, terlunta-lunta akibat malapetaka Alina. Alina? Mengapa saya terhina karena Alina? Begitu tegakah Alina? Mengapa saya ternoda karena Alina? Begitu berkuasakah Alina? Pasrahkah saya demi Alina? Oh, ini bencana apa? Ini bencana apa?<br />"Keterlaluan sekali! Saya tidak mau diperlakukan seperti ini. Saya benci! Saya tak mau mati dalam sekarat seperti ini. Kasihan Alina bukan berarti kasihanilah saya. Alina tetap Alina! Saya bukan Alina! Biarkan saya tetap saya. Saya tak tahan lagi, saya tak rela jika diganyang seperti ini. Biarkan saya kembali kepada saya. Biarkan saya...," ratap saya dengan terhiba-hiba.<br />Udara mendadak gemetar. Daun-daun, batu-batu, dinding-dinding, tiang-tiang listrik, jembatan-jembatan, perasaan-perasaan, kekecewaan-kekecewaan, kebohongan-kebohongan, nista-nista, ambisi-ambisi, persepsi-persepsi, kolusi-kolusi, imaji-imaji, bergetar-getar. Semua bergetar-getar. Begitu asingnya suasana ini tercipta. Saya sedang diperdaya! Saya sedang diperdaya!<br />Suatu ketika seraup hawa panas menyebar, menampar muka-muka penduduk kota saya yang tercengang-cengang; pilu dalam tanda tanyanya masing-masing. Namun mereka tetap saja menikam saya dengan ketercengangannya dan tanda tanya yang menggelegak di benaknya. Mereka jadi sangat buas dan beringas dalam katup gamangnya yang sukar diterjemahkan. Mereka sepertinya bukan lagi mereka!<br />"Oh, Alina..., mengapa mereka menghimpit-himpit saya dengan bala bencana seperti ini? Apa salah saya, Alina? Tolonglah saya, Alina! Ah, tetapi tidak! Tidak! Saya tak perlu dikasihani. Saya bukan jenis manusia banci. Lupakan saja saya. Biarkan saya tetap saya. Acuhkanlah saya supaya saya segera merdeka. Ya, merdeka!"<br />Tetapi semua jadi percuma. Saya merasa tersia-sia tanpa jiwa, tanpa rasa, tanpa apa-apa. Saya jadi ringan polos-telanjang, melayang-layang dan membentur ruang batas yang tak berbatas. Kemudian perlahan-lahan saya meluncur, meraup baying-bayang dan sisa angan-angan yang menyekat di ubun-ubun penduduk kota saya. Penduduk kota saya semakin terperangah dan terus saja marah-marah. Mereka blingsatan kesana-kemari, sibuk dalam mencari-cari.<br />Agaknya penduduk kota saya telah kehilangan sesuatu yang entah apa, yang pernah jadi miliknya, yang paling dicintainya. Mereka semakin sibuk mencari-cari, menyusup ke riol-riol, mengais-ngais bak sampah, membongkar-bongkar arsip negara, mengaduk-aduk gudang beras, gudang tepung, gudang hati, gudang mimpi, gudang sepi, memilah-milah sejarah, mengobrak-abrik gairah, melesat ke semesta! Mereka terus mencari-cari. Mereka larut dalam pencariannya sendiri-sendiri.<br />Meresapi makna malapetaka ini saya jadi sakit sekali. Mengapa semua harus berakhir seperti ini? Adakah ini dendam Alina? Adakah ini kutuk Alina? Mengapa semua harus merasakan siksa? Siksa! Oh, terlalu purba makna yang tersirat dari siksa yang tersiksa dirimu Alina. Alina, adakah engkau rindu? Mungkin kami yang tertipu!<br />Sebuah kekuatan menyerap tubuh saya mendekati liang kubur Alina. Saya terkesiap dan segera bergerak-gerak, menghentak-hentak untuk melepaskan diri dari cengkeraman kekuatan laknat ini. Seluruh kekuatan saya kerahkan. Sebuah kehormatan saya pertaruhkan. Tetapi semua jadi sia-sia. Saya harus mengaku kalah. Tubuh saya semakin lemah. Saya merasakan lelah. Oh, mengapa harus ada kekalahan?<br />Udara semakin membara. Pagi kehilangan rupa. Angin merah menderu-deru menciptakan suasana neraka. Kata-kata mengalir begitu cepat dan tersaruk-saruk dalam perjalanannya yang mendidih, menggelegak, berbuncah-buncah, meleleh di dinding-dinding kusut kota saya. Jalan-jalan protokol dan lorong-lorong dingin terlipat-lipat. Pepohonan menguap. Taman kota membusuk. Wajah kota saya terkelupas dan bopeng-bopeng. Kota saya terluka! Kota saya terluka!<br />Sedikit demi sedikit tubuh saya digiring ke tepi liang kubur Alina untuk dibenam di sana . Saya mencoba untuk berbuat, tetapi tidak tahu harus berbuat apa karena saya sudah dicekam untuk tidak berbuat apa-apa. Saya relakan saja jika ini memang akhir yang harus saya terima. Perlahan-lahan tubuh saya mulai dibenamkan ke liang kubur Alina. Saya juga tidak tahu harus bersedih atau bersuka ria. Saya diam saja, menerima apa adanya. Tubuh saya semakin terbenam, semakin tenggelam dalam liang merah membara milikmu Alina! Milikmu Alina!<br />Lambaian terakhir sempat saya ancungkan, sebagai ucapan selamat tinggal kepada seluruh penduduk kota saya yang semakin sibuk mencari-cari. Saya tidak tahu apa yang mereka cari. Adakah mereka mencarimu, Alina? Oh, Alina, terimalah saya seutuhnya. Seutuhnya di keabadianmu, Alina!<br />Sekali mata saya terbeliak. Kemudian perlahan menjadi sendu, sayu dan terasa begitu syahdu.<br />Udara kian membara.<br />Tapi, dimanakah Alina?! Dimana Alina?!<br />.... Saya dibohongi lagi! Saya dibohongi lagi!_ (Cerpen Saiful Bahri )<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-28096912634712518762010-09-26T21:17:00.002-07:002010-09-26T21:19:48.218-07:00BidadariIMPIAN YANG TERBADAI <br />Cerpen Lidya Kartika Dewi<br /><br />Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.<br />Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!<br />HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi<br />Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya."Hobimu itu nggak baik, Yazid," nasehat temannya, Rajali.<br />Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.<br />Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.<br />Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.<br />"Hem, asyik sekali mbacanya," tegur Yazid ramah.<br />Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.<br />"Dari Aceh ya, Mbak?" tanyanya.<br />Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya. <br />"Lho, kok tahu?" sang gadis tersenyum lebar.<br />Duh senyum itu..., bikin jantung Yazid kelabakan.<br />"Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda."<br />"Ah, Mas bisa aja."<br />Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!<br />Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.<br />Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!<br />"Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?" tanya Yazid terheran-heran.<br />"Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang," Mirsa menjelaskan.<br />"O, pantas," Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.<br />"Kau adik Rajali yang ke berapa?" tanya Yazid pula.<br />"Keempat. Yang terakhir." <br />"Jadi kau anak bungsu?" <br />Kali ini Mirsa yang mengangguk.<br />Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.<br />Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. "Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali," kata Yazid sungguh-sungguh. "Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh."<br />"Ah, aku belum yakin," sela Rajali -- yang biasa dipanggil Ali itu. "Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik." Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.<br />Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.<br />"Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku," ucap Mirsa malam itu.<br />"Kenapa Mirsa?" kening Yazid berkerut.<br />"Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu."<br />"Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?" desak Yazid.<br />Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. "Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa," ucap Yazid serius. "Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!" <br />Mirsa tetap diam.<br />"Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu," tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.<br />Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa. <br />Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.<br />"Bezuk siapa, Bang?" tanya Mirsa ramah.<br />"Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?" tanya Yazid.<br />Mirsa mengangguk. "Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?" <br />"Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank." "Wah, hebat tuh, Bang," puji Mirsa.<br />"Ah, biasa aja."<br />"Oya Bang, main-main dong ke rumah," cetus Mirsa tiba-tiba.<br />Yazid tersenyum. "Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali," ucap Yazid.<br />"Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya."<br />"Oya? Kapan?" kening Yazid berkerut.<br />"Setahun yang lalu..."<br />"Mm...," Yazid mengangguk-angguk. "Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?"<br />"Oke. Saya tunggu." senyum Mirsa.<br />Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.<br />Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.<br />Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.<br />"Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu," cegah Haji Muslih. "Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat."<br />Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid. <br />Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!<br />Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.<br />(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-35293667454831359342010-09-26T21:16:00.001-07:002010-09-26T21:16:45.485-07:00BisulIMPIAN YANG TERBADAI <br />Cerpen Lidya Kartika Dewi<br /><br />Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.<br />Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!<br />HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi<br />Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya."Hobimu itu nggak baik, Yazid," nasehat temannya, Rajali.<br />Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.<br />Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.<br />Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.<br />"Hem, asyik sekali mbacanya," tegur Yazid ramah.<br />Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.<br />"Dari Aceh ya, Mbak?" tanyanya.<br />Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya. <br />"Lho, kok tahu?" sang gadis tersenyum lebar.<br />Duh senyum itu..., bikin jantung Yazid kelabakan.<br />"Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda."<br />"Ah, Mas bisa aja."<br />Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!<br />Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.<br />Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!<br />"Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?" tanya Yazid terheran-heran.<br />"Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang," Mirsa menjelaskan.<br />"O, pantas," Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.<br />"Kau adik Rajali yang ke berapa?" tanya Yazid pula.<br />"Keempat. Yang terakhir." <br />"Jadi kau anak bungsu?" <br />Kali ini Mirsa yang mengangguk.<br />Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.<br />Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. "Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali," kata Yazid sungguh-sungguh. "Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh."<br />"Ah, aku belum yakin," sela Rajali -- yang biasa dipanggil Ali itu. "Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik." Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.<br />Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.<br />"Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku," ucap Mirsa malam itu.<br />"Kenapa Mirsa?" kening Yazid berkerut.<br />"Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu."<br />"Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?" desak Yazid.<br />Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. "Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa," ucap Yazid serius. "Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!" <br />Mirsa tetap diam.<br />"Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu," tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.<br />Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa. <br />Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.<br />"Bezuk siapa, Bang?" tanya Mirsa ramah.<br />"Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?" tanya Yazid.<br />Mirsa mengangguk. "Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?" <br />"Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank." "Wah, hebat tuh, Bang," puji Mirsa.<br />"Ah, biasa aja."<br />"Oya Bang, main-main dong ke rumah," cetus Mirsa tiba-tiba.<br />Yazid tersenyum. "Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali," ucap Yazid.<br />"Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya."<br />"Oya? Kapan?" kening Yazid berkerut.<br />"Setahun yang lalu..."<br />"Mm...," Yazid mengangguk-angguk. "Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?"<br />"Oke. Saya tunggu." senyum Mirsa.<br />Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.<br />Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.<br />Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.<br />"Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu," cegah Haji Muslih. "Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat."<br />Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid. <br />Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!<br />Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.<br />(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-36534564100297108072010-09-26T21:13:00.001-07:002010-09-26T21:13:59.061-07:00ImpianIMPIAN YANG TERBADAI <br />Cerpen Lidya Kartika Dewi<br /><br />Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.<br />Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!<br />HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi<br />Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya."Hobimu itu nggak baik, Yazid," nasehat temannya, Rajali.<br />Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.<br />Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.<br />Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.<br />"Hem, asyik sekali mbacanya," tegur Yazid ramah.<br />Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.<br />"Dari Aceh ya, Mbak?" tanyanya.<br />Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya. <br />"Lho, kok tahu?" sang gadis tersenyum lebar.<br />Duh senyum itu..., bikin jantung Yazid kelabakan.<br />"Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda."<br />"Ah, Mas bisa aja."<br />Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!<br />Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.<br />Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!<br />"Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?" tanya Yazid terheran-heran.<br />"Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang," Mirsa menjelaskan.<br />"O, pantas," Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.<br />"Kau adik Rajali yang ke berapa?" tanya Yazid pula.<br />"Keempat. Yang terakhir." <br />"Jadi kau anak bungsu?" <br />Kali ini Mirsa yang mengangguk.<br />Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.<br />Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. "Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali," kata Yazid sungguh-sungguh. "Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh."<br />"Ah, aku belum yakin," sela Rajali -- yang biasa dipanggil Ali itu. "Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik." Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.<br />Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.<br />"Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku," ucap Mirsa malam itu.<br />"Kenapa Mirsa?" kening Yazid berkerut.<br />"Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu."<br />"Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?" desak Yazid.<br />Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. "Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa," ucap Yazid serius. "Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!" <br />Mirsa tetap diam.<br />"Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu," tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.<br />Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa. <br />Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.<br />"Bezuk siapa, Bang?" tanya Mirsa ramah.<br />"Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?" tanya Yazid.<br />Mirsa mengangguk. "Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?" <br />"Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank." "Wah, hebat tuh, Bang," puji Mirsa.<br />"Ah, biasa aja."<br />"Oya Bang, main-main dong ke rumah," cetus Mirsa tiba-tiba.<br />Yazid tersenyum. "Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali," ucap Yazid.<br />"Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya."<br />"Oya? Kapan?" kening Yazid berkerut.<br />"Setahun yang lalu..."<br />"Mm...," Yazid mengangguk-angguk. "Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?"<br />"Oke. Saya tunggu." senyum Mirsa.<br />Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.<br />Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.<br />Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.<br />"Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu," cegah Haji Muslih. "Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat."<br />Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid. <br />Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!<br />Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.<br />(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-6091870038214236032010-09-26T21:12:00.001-07:002010-09-26T21:12:55.238-07:00LamnoLAMNO <br />Cerpen Arlen Ara Guci <br /><br />Meski rakit terkayuh, tapi Walis telah jatuh ke krueng, saat sepeda motor sumbangan Wapres hendak diseberangkannya ke kaki gunung Geurete. Bila seorang loreng itu tak mengulurkan tangan, alamat sepeda motor ikut terjun bebas ke dasar krueng yang baru jadi dibentuk oleh tsunami.<br />Sepuluh depa dari situ, camp loreng gagah menghadang ke samudera biru. Meski mereka puluhan, hanya satu membantu. Walis masih memahat kebencian pada semua yang ada. Mata elang Walis menghujam ke loreng yang berjasa menyeberangkan sepeda motornya. Tegur sapa pun tak ada di antara keduanya, saat pisah sambut itu usai.<br />Berbekal kuyup di badan, Walis memacu 80 km/jam di sepanjang lereng Geurete. Lintasan ingatan pada drama pilu di Geurete beberapa kurun silam, ketika GAM memuntahkan peluru dari puncak Geurete ke loreng-loreng yang sedang dititipkan tugas dalam paket DOM, tak menyiutkan nyali Walis memacu menuju Lamno. Bagi Walis GAM adalah saudara, loreng-loreng saudara juga, biru laut mengelilingi Banda, juga saudara. Siapa bersalah di antara ketiganya, kini justru membuat Walis meringis!<br />Mata Walis mulai berkaca hendak memasuki Meulha, karena Walis kembali menghirup anyir pahit yang sama, sejak dari Peukan Bada, Lhok Nga, Leupung, Lhok Seudu, Krueng Kala. Katanya, tahap darurat telah lewat, berarti evakusi tak ada lagi. Tapi, aroma itu, nyata-nyata masih ditemui juga.<br />Tak terhitung lagi jumlah petinggi negeri pulang-pergi menjenguk negeri Serambi. Masalah evakuasi, berapa jumlah jenazah yang ditimbun di Lambaro sebenarnya, Walis sinis, meski sekadar untuk percaya. Apalagi masalah jumlah pengungsi, aliran bantuan, barak, mustahil!<br />Meski dibesarkan di Banda, kecintaan akan tanah kelahiran sepanjang hayat di kandung badan. Walis mati-matian ingin membuktikan. <br />"Bang, bagaimana jadinya negeri Serambi...!?"<br />Geleng Walis di Meulego, Pendopo Gubernuran. Si Abang sebagai relawan menyayangkan sikap pejabat daerah terkesan lamban menenggarai korban yang selamat. Penanganan kelangsungan hidup antara ada dan tiada. Ragam bantuan, posko pengungsian adalah keakraban tak bertuan memayungi sepanjang siang-malam.<br />"Harus lewat jalurnya, Dek! Tau sendirilah macam mana sistem yang dipasang di negeri ini!"<br />Membubung sederas samudera sampai ke gendang telinga Walis, ketimpangan yang diberlakukan di negerinya. GAM, Darurat Sipil, Darurat Militer, sekalian Darurat Tsunami melengkapi patahan hati Walis memahami arti sebagai asli anak negeri.<br />"Tak ada yang lebih mencintai Aceh, selain putera Aceh itu sendiri. Para relawan yang datang dari berbagai pelosok negeri dan dari penjuru bumi, tak akan bertahan lama-lama di sini, suatu waktu, mereka akan kembali berkumpul dengan keluarga mereka, ke kampung asal mereka masing-masing. Kalau air mata telah banyak tumpah di negeri Serambi Mekah ini, darah juga sudah terlalu banyak tumpah di sini, yang kurang tumpah adalah tumpahan keringat!" seruan dai yang tengah naik pamor di negeri ini, menciptakan kepalan bulat-bulat, geraham Walis bertaut. <br />Pesan itu kembali menghampiri kupingnya saat sepeda motor yang dipacu kencang hendak memasuki Babah Dua menjelang petang.<br />Ditepikannya sepeda motor itu. Pendar pandangan Walis melumat di semua yang rata sudah dengan tanah. Terasa berat kaki Walis menginjakkan rumah Ahmad Amin, sepupunya, yang kini tersisa jenjangnya saja. <br />Ahmad Amin adalah sosok yang bisa dipercaya mewakili pemuda Lamno. Tak mau berdiam diri, selalu giat mencari, tepatnya pekerja keras.<br />"Sudah bertemu?"<br />"Belum."<br />"Tak tanya sama orang desanya yang selamat?"<br />"Sudah, tetap tak ada."<br />"Ke posko-posko pengungsian?"<br />"Sama saja."<br />Keduanya hanyut mengenang Syuaibah, Inong mata biru berdarah Portugis, berumah di Kuala Daya. Di mana gerangan tergelimpang mayatnya, tak ada apapun yang bisa memberi kabar hingga masuk berbilang bulan lamanya.<br />"Sanak familinya tak satu pun yang selamat," tutup Ahmad Amin hampa.<br />Rencananya hari raya haji kemarin, sepasang insan yang tengah digulung asmara ini akan disatukan atas nama perkawinan. Tapi, tsunami lebih dulu mengandaskan impian itu. <br />"Semua sudah rata!"<br />Keduanya mendekat ke Kuala Daya, tiba dekat pertigaan Ujong Muloh, dada Walis menyeruak sesak. Ada gedung berlantai dua miring retak menanti tumbang, itulah Pesantren Budi. Nurhida, kakak perempuan Walis semata wayang, pernah mencoba bertarung hidup dalam nyawa meregang ketika tsunami menerjang.<br />Tiga hari usai tsunami, selain pasar Lamno, hampir setiap sudut menjadi desa mati. Uluran tangan dari mereka yang selamat untuk mereka yang sekarat menipis. Puskesmas, saluran listrik, telepon, tak berfungsi sama sekali.<br />Semula orang menyangka Nurhida telah jadi mayat. Saat dijejerkan dalam kantong mayat, ada yang melihat kantong bergerak, pertanda Nurhida selamat, meski sama sekali tak lagi bersuara. Sekujur tubuh Nurhida lebam biru, kaki serta tangan dibalut darah kering, sebagian lain gosong dengan lumpur membalur. Saat tubuhnya diangkat, Nurhida layu seperti tak punya tulang, meski sekadar menegakkan punggung. Mata redup maut, bibir seakan berat dipaksa bergerak. Nurhida dilarikan ke Puskesmas dekat pasar, satu-satunya daerah tak dijangkau air maut itu. Di antara ratusan geletakan korban, perawat belum jua menyentuh Nurhida.<br />Malahan mereka gempar, saat tersiar kabar, air laut naik! Diboponglah tubuh Nurhida oleh Khairullah sepupunya, menaiki puncak bukit. Penduduk memekik menyelamatkan diri masing-masing. <br />Beberapa jam menunggu, ternyata kabar air naik isu belaka. Nurhida tambah tersiksa. Selama tiga hari itu tak ada nasi atau pun sepotong makanan yang masuk perutnya. Selama itu, Nurhida juga belum mampu sekadar bersuara. Tepat Subuh sedang bertabuh, Nurhida tak lagi kuasa menanggung segala.<br />Dan, Walis sekalian hendak menziarahi peristirahatan terakhir Nurhida, kakak yang sering memberinya petuah serta nasehat-nasehat akan kematian. <br />Kuala Daya juga rata sudah semua. Nyiur berbaris hijau yang dulu kemilau diterpa sang surya, kini sebagian berserakan, sebagian tertebang. Jalan-jalan rengkah malah berserak pindah beberapa lantak. Krueng Inong lalu lintas nelayan menjelma kubangan mayat. Kemana perginya udang-udang kesukaan yang selalu diburu Walis, ikan-ikan laut yang murah mengeluarkan aroma segar, karena tak perlu di es-kan seperti ikan-ikan kota, kemana lenyapnya perahu-perahu itu? Beribu gugatan, hanya disapukan angin buritan.<br />Di antara gunungan sampah, keduanya terus menyisir Lamno. Dari situ juga tampak satu camp loreng menghadang ke samudera. Walis meringis, sejak tsunami meluluh lantak negerinya, hampir setiap jengkal ditemuinya camp loreng-loreng. Tiada sedikit jua simpati menyirat di wajah mereka, selain pakaian kebesaran dan senapan. Walis muak menyemak menyaksikan semua itu.<br />Usai membasuh muka di puncak bukit, menengok makam Peutomeureuhom, keduanya berpisah di Babah Dua. Hendak balik ke arah pasar, Walis menyaksikan para kaum ibu yang kini ditinggal mati suami ulah tsunami mengais sampah di pelosok Lamno. <br />"Bagaimana kabar ibumu?" salah seorang dari mereka mendekati Walis. "Hilang!"<br />"Bapak?"<br />"Bapak selamat sama adik dua orang. Kak Nurhida dan satu adik paling kecil ada ketemu mayatnya."<br />Mata mereka berkaca. Walis sudah berjanji pada diri, tak akan mengeluarkan air mata bila kematian datangnya dari Sang Pencipta kematian itu sendiri.<br />"Apa pekerjaan orang-orang sekarang?"<br />"Membersihkan sampah."<br />"Siapa suruh?"<br />"Dibayar."<br />"Sama siapa?"<br />"Panglima Laot."<br />"Berapa?"<br />"35.000 rupiah perhari."<br />"Uangnya darimana?"<br />"Tak tau!"<br />Dada Walis naik turun tak teratur, seakan tak ada lagi di tanah sendiri yang masih punya hati. Uang kini telah bicara atas nama kematian! Setidaknya itu pilu tak bertepi bagi anak negeri.<br />Di bawah siraman rembulan, Walis kembali menekan hati tak ada guna menitikkan air mata lagi. Gemintang tak kemilau menghadirkan risau. Di kaki bukit, Walis menanti pagi.<br />"Di sini berlaku jam malam!"<br />"Kenapa?"<br />"Kontak senjata!"<br />"Antara....!?"<br />Pagi merekah di Lamno, Walis sedang berziarah. Al-Quran mini digamit, bibit komat-kamit. Perlahan mendesah, kemudian menderas. Saat mentari pagi sepenggalan naik, Walis siap dengan kendaraannya kembali ke Banda. Di lereng Guerete, dar... der... dor.... Suaranya semakin nyaring. Walis terus memacu tak lagi peduli. Setiba di penyeberangan yang sama, loreng-loreng tengah berhamburan ke hutan-hutan. <br />Mereka siapa sebenarnya? Jaman begini sukanya main senapan!? batin Walis diterbangkan angin, sambil menarik tali gas. <br />Matahari menyisakan bayang setengah badan, ketika Walis memasuki kota Banda. Walis membujuk hati, kini saatnya berbunga, karena baru pulang dari tanah kelahiran, disitu asal muasal keluarganya. Sekaligus perjalanan perdana lewat darat usai tsunami. <br />Cerita ini akan diteruskan ke anak cucu, hiburnya pilu.<br />Sesampai di Seutui, Walis berhasil membuat bibirnya tersungging. Tak tahan sebungkus kebahagiaan baru saja direngkuhnya, Walis telah memekik dari kejauhan, <br />"Ayaaah...Ayaah...Walis pulang!"<br />Ushairy, adik laki satu-satunya membukakan pintu kayu,<br />"Lamno bagaimana, Bang?"<br />"Ayah kemana?"<br />"Temu kubur Kak Nurhida, Bang?"<br />"Ayah mana, Dek?"<br />"Inong mata birunya abis semua, Bang?"<br />"Ayah, dek!?"<br />"Bang, malam tadi Ayah....."<br />"Kenapa!?"<br />"Dibawa..."<br />"Siapa...?"<br />Banda Aceh-Lamno, 02 Maret 2005<br />Hadiah cinta untuk adikku: Chairul Walis di Seutui. Percayalah, Allah begitu mencintai Banda Aceh dan seisinya!<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-47890937627219102992010-09-26T21:11:00.000-07:002010-09-26T21:12:14.513-07:00TikunganPADA TIKUNGAN BERIKUTNYA <br />Cerpen Musmarwan Abdullah <br /><br />Aku berjalan kaki menempuh jalan pinggiran kota menuju ke kantor redaksi. Cerpenku kali ini dimuat pada saat yang tepat, di saat aku membutuhkan uang sesedikit apapun. Nah, cuma itu yang ingin kusampaikan padamu, kawan.<br />Selebihnya, tak ada yang dapat kuceritakan. Di ruang langit menggelantung awan-asap mesiu. Di hamparan tanah, darah berpercikan di batu-batu jalan. Dan, kemanapun wajah kupalingkan, yang kulihat hanya tentara-tentara.<br />"Berhenti!" tiba-tiba berteriak sekelompok tentara yang berdiri di tepi jalan yang tengah kulewati. Dan, begitulah aku wajib berhenti setiap tubuh kerempeng ini berpapasan dengan tubuh-tubuh mereka yang gagah dalam uniform militer yang megah.<br />"Angkat bajumu!"<br />Dan, aku mengangkat bajuku. Mereka meneliti sekeliling pinggangku. Tak ada pistol-rakitan yang terselip di sana. Tak ada sebilah rencong yang menantang di situ.<br />"Keluarkan kartu pendudukmu!"<br />Ya, kukeluarkan kartu pendudukku. Mereka membaca dengan suara agak tinggi: "Nama lengkap: Musmarwan bin Abdullah! Jenis kelamin: laki-laki! Tempat/tanggal lahir: Tanjong, sembilan-belas-enam-tujuh! Agama: Islam! Pekerjaan: penulis cerita pendek!" Sampai di sini mereka berhenti. Tentara yang membaca itu melihat ke arah temannya.<br />"Coba buktikan!" kata temannya itu.<br />Lalu mereka memberiku selembar kertas dan sebatang pena. Sambil tetap berdiri di situ aku menulis, "Tak ada yang dapat kuceritakan padamu, kawan, di saat inspirasi telah menjadi langka di ruang kontemplasi para tukang tulis cerita. Dialog telah gagal antara pemerintah dan kaum pemberontak. Pemerintah mengakui, mereka telah bikin melarat propinsi ini selama berpuluh-puluh tahun. Tetapi pemberontak tetap bersikukuh; ingin propinsi ini lepas dari republik. Maka pemerintah menetapkan propinsi ini dalam status darurat militer...."<br />"Hentikan!" teriak mereka. Dan begitulah aku wajib menghentikan tulisanku. Tentara yang berteriak itu melihat ke arah temannya. Teman itu mengangguk, "Orang ini dapat dipercaya," katanya. Lalu menyambung, "Darurat militer diberlakukan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!"<br />Aku mengangguk. Dan, aku dilepaskan untuk meneruskan langkahku. Di tikungan berikutnya aku berpapasan dengan sekelompok tentara yang lain. "Berhenti!" teriak mereka.<br />Dan, aku berhenti.<br />"Angkat bajumu!"<br />Aku mengangkat bajuku.<br />"Mana Ka-Te-Pe-mu!"<br />Aku menyerahkan KTP-ku. Mereka membaca dengan suara agak tinggi, "Nama: Musmarwan bin Abdullah! Tempat/tanggal lahir: Tanjong, sembilan-belas-enam-tujuh! Kawin/tidak kawin: kawin! Pekerjaan: penulis cerita pendek!" Sampai di data ini mereka berhenti. Tentara yang membaca itu melihat ke arah temannya.<br />"Coba buktikan!" teriak temannya itu. Dan aku pun disuruh menceritakan sesuatu dengan lisan.<br />Sambil tetap tegak di situ aku berkata: "Tak ada yang dapat kuceritakan padamu, kawan, di saat inspirasi adalah ilham yang hampa di ruang kontemplasi para tukang tulis cerita. Aku tak punya keinginan untuk menembak tentara dan membunuh polisi karena aku bukan orang-orang pemberontak itu. Aku malah menyesal pada cerita-cerita ciptaanku yang tidak mampu memberikan pencerahan pada orang-orang kampung agar mereka tidak lagi memusuhi tentara dan membenci polisi, terutama di tengah darurat militer seperti ini. Atau barangkali selama ini memang ada yang tidak beres pada dua institusi ini?"<br />"Sudah! Cukup!" teriak mereka. Lalu menyambung, "Darurat militer digelarkan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!" <br />Aku mengangguk. Selanjutnya aku bebas meneruskan langkahku. Dan, pada tikungan berikutnya aku berjumpa lagi dengan sekelompok tentara yang lain. Hal yang sama terjadi. Aku disuruh bercerita. Dan, aku bercerita. Dan, pada kalimat-kalimat terakhir ceritaku kubilang, "Aku bukan penganut rasisme. Waktu kaum pemberontak membunuh dan mengusir orang-orang transmigran, aku malah menangis sambil memeluk anakku karena terbayang pada anak-anak mereka yang terseret-seret di semak-semak belukar seraya mulut mendesis memanggil ibu atau ayah mereka yang terbunuh hingga tidak dapat menuntun mereka mengarungi belantara demi belantara."<br />"Sudah! Cukup! Sedih sekali kau bercerita!"<br />Dan, aku dibiarkan meneruskan jalanku. Di tikungan berikutnya lagi nasib yang sama menimpaku pula. Dan, aku bercerita lagi. Pada sepanjang kalimat terakhir kubilang, "Dulu waktu zaman DOM banyak orang kami yang mati tak wajar kendati kesalahannya sangat kecil dan cukup patut untuk dimaafkan. Sekarang ketika salah satu dari kelompok masyarakat propinsi ini mau benar-benar merenggut tanah kaya ini dari rangkulan republik, eee, semua mau pamer wajah dan jasa di sini. PMI dengan mayat-mayatnya, Komnas HAM dengan bukti-bukti orang matinya, Kontras dengan data-data orang hilangnya, televisi dengan liputan perangnya, LSM dengan jasa makelarnya, para cendekiawan dengan komentar-komentar empatinya. O, indah nian. Semua yang di ibukota kebagian job bagus di propinsi ini. Dulu waktu kami menggelepar-gelepar bagai binatang-binatang tak berharga di bawah matahari DOM, kemanakah mereka semuanya? Di propinsi malang ini, setiap tragedi kemanusiaan akan selalu tertutupi oleh tragedi kemanusiaan berikutnya. Lingkaran siklus itu telah membuktikan, ternyata mereka tidak berarti apa-apa bagi kami."<br />"Sudah! Cukup!" teriak tentara yang berdiri di depanku. "Baik! Jalan!" Dan, aku kembali meneruskan jalanku. Di tikungan berikutnya lagi-lagi kutemui nasib yang sama. Kukatakan pada mereka, "Dalam setengah hari ini aku sudah delapan kali di-sweeping. Apakah itu belum cukup?" "Haa.. haa.. haa...!" mereka tertawa. Lalu aku disuruh membuktikan dengan jalan meceritakan kembali kronologi pemeriksaan pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima, keenam, ketujuh dan kedelapan. Ya, kuceritakan. Panjang sekali. Berbusa kedua pinggir mulut ini. Dan, setelah itu aku disuruh lanjutkan jalanku.<br />Pada belokan selanjutnya aku berpapasan lagi dengan sekelompok tentara yang lain lagi. Peruntungan yang menimpa tiada beda. Aku lagi-lagi disuruh bercerita untuk membuktikan bahwa aku benar-benar tukang cerita. Kubilang, "Tak ada lagi yang dapat diceritakan."<br />"Ceritakan saja!"<br />"Ruang langit tempat turunnya ilham telah tertutup asap mesiu."<br />"Cerita apa saja!"<br />"Tak ada."<br />"Tentang apa saja!"<br />"Tidak."<br />"Apa saja yang melintas di pikiran!"<br />"Tidak."<br />"Baik! Jalan! Memang sudah beku otak pengarang kita ini!"<br />Kulanjutkan perjalananku. Langkah tak bisa kucepatkan karena lelah. Ketika tiba di kanto redaksi, hari sudah sore. Staf bagian keuangan sudah pulang. Aku gagal mengambil honorariumku. Di dompet sudah tidak tersisa sepeser pun. Aku teringat, makanan yang tersisa di rumah hanya cukup dimakan berdua oleh anak dan isteriku tadi pagi. Dan malam ini tak ada sesuatu yang akan kubawa pulang. Mau mengutang, tidak ada tempat untuk mengutang di saat semua tengah melarat.<br />Aku tiba di rumah manakala senja baru berganti malam. Di kamar kudapati isteri dan anakku sudah tertidur pulas. Aku tahu kenapa isteriku mengambil inisiatif membawa tidur anak kami lebih cepat dari biasanya, hingga ia sendiri jatuh terlelap tanpa sengaja.<br />"Tuk.. tuk.. tuk!!!" ketika aku mau ikut tidur tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk dari luar. Aku dengan malas membukanya. Seorang tentara bertopi baja menjengukkan wajahnya melalui renggang pintu yang terkuak setengah. "Darurat militer diberlakukan untuk menumpas pemberontak yang ada di seluruh propinsi ini, kau tahu?!" katanya.<br />Aku mengangguk. Ia menarik kembali wajahnya. Pintu sudah boleh kututup kembali.<br />Saat Subuh kurebahkan tubuhku pelan-pelan di samping isteriku. Aku mendesiskan kata-kata mesra padanya, kata-kata selamat tidur. Ya, tidurlah kalian dengan lelap meski perut tidak terisi apa-apa sejak siang tadi. Yang penting jangan memberontak. Di negeri ini memberontak dilarang. Dan, yang lebih penting lagi, jangan menangis. Di propinsi ini tangis tiada artinya.<br />Kembang Tanjong, 27 Juni 2003<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-25478787228196677212010-09-26T21:10:00.000-07:002010-09-26T21:11:33.357-07:00Ribuan GagakRIBUAN GAGAK MASUK KOTA <br />Cerpen Punto Aditya Wardana <br /><br />Laki-laki itu menyeret-nyeret gerobak sekaligus peti mati buat anaknya di tengah belantara kota. Di dalam gerobak itu, tergeletak tubuh kecil, yang sudah terbujur kaku, berselimutkan kain sarung kumal miliknya yang sudah tidak karuan warnanya.<br />Wajah anak lelaki itu telah beku, berkawan dingin yang sejak tadi merajamnya. Terlelap selamanya untuk sebuah kematian yang terasa begitu memedihkan. Busung lapar telah merenggut nyawanya dua hari yang lalu. Laki-laki itu mengumpat pada kemiskinan yang menjerat lehernya. Kemiskinan pula yang menerbangkan selembar nyawa anaknya.<br />"Tidak, aku tidak boleh benci kemiskinan. Kemiskinanlah yang membuat anakku terbebas dari penderitaan," dia berkata pada dirinya sendiri. Membesarkan hatinya yang terluka menganga. Kematian kadang diperlukan untuk mengakhiri sebuah penderitaan yang berkepanjangan. Kematian kadang mengundang kearifan.<br />Dari langit gerimis masih terus turun meneritis. Mengguyur kota, membuatnya kuyub menggigil kedinginan. Wajah lelaki itu terlihat basah tertimpa gerimis. Kaos yang membungkus tubuhnya yang tipis juga ikut basah. Dia mendongak. Menantang langit. Menggeram marah pada langit yang masih juga berwarna kelam kelabu. Sesekali terlihat kilat yang menyambar dahsyat disusul petir yang memekakkan telinga. Memotret kota sepreti sebuah pekuburan besar dengan bangunan yang mencakar langit.<br />Lelaki itu sama sekali tidak mempedulikan petir yang sesekali masih menyambar. Dengan tegar dia terus menyeret gerobak yang berisi mayat anak semata wayangnya. Menyeretnya tanpa henti seperti napasnya yang terus bersembulan keluar dari lubang hidungnya yang besar. Dua hari sudah dia berputar-putar ke seluruh penjuru kota, mencari tempat penguburan buat anaknya. Dia makin kebingungan dengan malam yang sebentar lagi pasti akan datang menyergapnya.<br />Hatinya teriris perih. Dia tak tahu ke mana harus menguburkan jenazah anaknya. Di sakunya tidak ada uang sesen pun untuk biaya penguburan. Tak ada yang gratis di kota ini. Semua harus memakai uang. Begitu pula untuk sebuah kematian.<br />Lelaki itu berhenti sejenak. Hatinya gamang. Tercabik. Menyeka wajahnya yang letih, basah oleh keringat bercampur air hujan. Perutnya berkeriuk lapar. Rasa perih menyayat ususnya. Ketika mendongak, asin air hujan tak sengaja tertelan oleh tenggorokannya.<br />Memandang gedung pencakar langit di depannya, betapa laki-laki itu merasa dirinya sangat kerdil. Dirinya tak lebih dari sebutir debu di antara lautan pasir yang membentang.<br />Kemudian desir angin yang membawa hawa dingin itulah yang membuatnya bergerak, menyeret peti mati itu lagi. Dunia harus tetap berputar. Bumi tak mungkin berhenti karena kematian anaknya. Namun, sedetik kemudian, sebersit kebimbangan menyergapnya kembali. Ke mana lagi dia hendak melangkah. Kakinya pegal mengukur jalan kota yang sepertinya tidak berujung. Otot tangannya seakan sudah lumpuh. Hmm, kota yang tidak ramah, untuk sebuah duka sekalipun. Dia tak mempunyai saudara yang bisa dituju. Yang bisa dimintai bantuan.<br />Di kota sebesar ini ia bagaikan makluk yang terasing. Dia hanyalah seorang penarik sampah dengan upah yang tidak menentu. Harga dirinya tak lebih dari seonggok sampah yang dibuangnya tiap hari. Dia kota sebesar ini siapa yang mau peduli pada seonggok sampah?<br />Selangkah demi selangkah ia menyeret lagi peti mati anaknya. Langkahnya makin berat karena tenaganya makin berkurang. Di kota sebesar ini tak seorang pun mau peduli. Semua orang sibuk dengan urusannya masing-masing. Sebuah mobil mewah melintas dengan cepat. Kubangan air tergilas roda dan wajah lelaki itu tersiram air yang tergencet. Matanya terasa pedih dan perih.<br />Lelaki itu mengelap wajahnya dengan ujung kaos yang juga sudah basah. Diliriknya wajah anaknya yang makin beku dan membiru. Hatinya terbelah.<br />Aku harus cepat-cepat menguburkannya, ucapnya dalam hati. Lantas kembali diseretnya peti mati itu. Hari sudah semakin gelap. Senja sudah lama selesai. Kota bermandikan cahaya. Ribuan cahaya lampu telah membuat kota kembali bernyawa. Lelaki itu makin terasing dengan dirinya sendiri. Dia merasa sungguh dekil di kota yang seluruh penghuninya berbau wangi.<br />Dia pun berhenti sejenak untuk melepas lelah. Kini dia dihadapkan pada jurang keputus-asaan. Dalam keputus-asaan yang memuncak itu tiba-tiba lelaki itu melihat bayangan hitam turun dari langit. Dia seperti tidak percaya pada pandangan matanya sendiri. Langit yang sudah hitam makin bertambah hitam, karena munculnya ribuan bayangan itu.<br />Ribuan gagak tiba-tiba muncul dari langit, menyerbu kota dengan suara kaok-kaok yang mendirikan bulu roma. Ribuan gagak yang entah dari mana datangnya, muncul begitu saja dari langit yang gelap dan bertabur gerimis. Gagak-gagak yang ganas menyambar-nyambar di tengah kota. Dengan sebuah sekop sampah laki-laki itu mengusirnya. Ribuan gagak terus beterbangan mencari mangsa. Langit seperti berselimut kain hitam, karena banyaknya gagak yang beterbangan.<br />"Aku mencium bau mayat!" serang warga kota keluar dengan menutup hidungnya. Puluhan gagak langsung menghajarnya tanpa ampun. Keributan segera meledak di kota.<br />"Lelaki pembawa mayat itulah yang mengundang ribuan gagak masuk kota!" "Lelaki itu harus kita usir!"<br />"Kota kita berubah menjadi ladang pembantaian. Kota kita menjadi kota kematian!"<br />"Mana polisi? Mana tentara? Harusnya gagak-gagak itu dimusnahkan. Sebelum kita dilumatnya habis."<br />Mobil polisi segera datang dengan suara sirine yang menguing-nguing menggetarkan. Ribuan gagak ditembaki dan terkapar mati. Memenuhi jalanan dan darahnya yang amis bertebaran di jalanan. Namun, ribuan gagak yang lain segera berdatangan, dengan suara kaok-kaok memenuhi langit. Gagak-gagak yang lebih ganas dari tadi. Menyambar-nyambar dengan paruhnya yang tajam. Bau kematian merebak ke mana-mana. Memenuhi udara kota.<br />"Bising! Aku bising dengan suara gagak."<br />"Bagaimana ini polisi! Kalau kerja yang becus dong. Jangan cuma mau menerima uang suap kami!"<br />"Kami sudah menembaknya habis-habisan. Lihatlah peluru kami yang habis," polisi muda itu membela diri. Dia belum pernah berhadapan dengan ribuan gagak yang sebanyak itu. Hatinya ngeper juga. Setiap gagak ditembak mati, selalu muncul gagak yang lain yang lebih ganas. "Auh, tanganku kena cakarnya!"<br />"Ambil bazoka...! Lumat mereka!"<br />Kegemparan meledak di mana-mana. Ketenangan kota tercabik. Suara gagak berkaok-kaok, desing gagak yang terbang menyambar, mengundang maut.<br />Bazoka segera dikeluarkan dari gudang senjata, terus melabrak gagak-gagak yang beterbangan. Banyak gagak terkapar mati. Namun percuma, gagak-gagak yang lain segera mengganti. Berkaok-kaok terus tanpa pernah takut mati terkena bazoka.<br />"Brengsek! Kota kita penuh gagak-gagak brengsek ini!"<br />"Ke mana lelaki pembawa mayat itu?"<br />"Dia harus bertanggung jawab atas semua ini. Dialah pengundang gagak-gagak sialan itu."<br />"Sabar, tenang sedikit. Gagak-gagak itu tak bisa kita usir kalau hanya bermodal panik," seseorang mencoba menenangkan di tengah massa yang panik itu. Namun dia malah bernasib malang, tubuhnya didorong ke belakang hingga dia jatuh terjengkang dan menindih bangkai-bangkai gagak yang bergelimpangan di jalan-jalan.<br />"Mana petugas kebersihan kota. Dia harus segera menyingkirkan bangkai-bangkai gagak ini."<br />"Busyet, kondisi segawat ini masih juga kau memikirkan kebersihan. Mikir dong!"<br />Seketika kota yang biasanya berwajah damai tampak bagaikan neraka. Kepanikan menjadi milik semua orang. Kematian hampir terjadi setiap saat, karena gagak-gagak itu mencabik-cabik daging orang dengan ganasnya. Teriakan tolong melolong di mana-mana. Puskesmas dan rumah sakit penuh dengan korban yang terluka. Tapi mereka hanya terlentang tak berdaya karena tak ada yang mengurusi. Semua orang takut kena serangan gagak. Tak terkecuali dokter-dokter rumah sakit itu. Mereka memilih bersembunyi, mencari selamat sendiri.<br />Sekarang semua orang sibuk memikirkan keselamatan diri sendiri. Menyelamatkan nyawa yang cuma selembar. Mereka berlindung di dalam rumah, pintu dan jendela rumah dikunci. Mereka menggunakan apa saja untuk melindungi tubuh mereka. Namun, gagak-gagak rakus itu masih juga bisa masuk rumah, entah lewat mana.<br />Bahkan, ribuan gagak menyusup ke mall, hotel, restoran, pasar, rumah sakit, dan kamar mayat. Mencari mangsa manusia. Menyerang manusia dengan ganasnya. Ribuan orang ketakutan. Teror gagak menyebar ganas ke seluruh kota. Setiap menit selalu ada nyawa yang melayang.<br />Sementara, laki-laki itu meninggalkan kota dengan masih terus menyeret-nyeret peti mati anaknya. Tak seorang pun peduli. Dia ingin mencari tempat untuk mengubur mayat anaknya. Di belakang punggungnya ribuan gagak masih berpesta pora di tengah kota.<br />Gerimis masih setia meneritis menemani malam ketika laki-laki itu tertatih-tatih menyeret peti mati anaknya. Dia tak tahu ke mana harus menuju.<br /><br />Cerpen ini merupakan juara pertama Sayembara Penulisan Cerita Pendek Remaja Tingkat Nasional 2005 yang diadakan oleh Pusat Bahasa Jakarta. Cerpen karya siswa SMP Negeri I Blora, Jawa Tengah, itu menyisihkan 1.139 cerpen peserta lain dari seluruh tanah air. Dewan Juri yang diketuai Hamsad Rangkuti juga memilih cerpen Karena Saya Ingin Berlari karya Kadek Sonia Piscayanti dari Singaraja, Bali, sebagai juara kedua. Dan, cerpen Belati Lempad karya I Komang Widana Putra dari Amlapura, Bali, sebagai juara ketiga. Dewan juri juga memilih tiga juara harapan dan empat pemenang hiburan.<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-25755373722234902292010-09-26T21:09:00.001-07:002010-09-26T21:09:42.573-07:00Agam dan InongSIAPA MEMBAWA AGAM DAN INONG <br />Cerpen YS Rat <br /><br />Bingung Agam dan Inong begitu tersentak dan menyadari tubuh mereka terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Masing-masing bangkit, duduk dan selintas saling pandang tanpa berujar sepatah kata pun. Anak lelaki dan perempuan berusia sekitar lima tahun itu sama-sama tak mengerti mengapa di tanah bergelimang lumpur di hadapan mereka juga banyak orang berbaring.<br />Agam dan Inong mengira, seperti juga mereka, orang-orang yang berbaring itu tak lama lagi pasti akan bangkit. Tapi, setelah ditunggu hingga lewat tengah hari, ternyata tak satu pun di antara mereka yang bangkit. ''Mungkin mereka kelelahan. Kasihan kalau sampai malam tertidur di sini. Aku harus membangunkan mereka.''<br />Pikiran kanak-kanak Agam menerka sambil melangkah menghampiri tubuh-tubuh yang terbaring itu. Nyata di penglihatannya, lumpur menyelimuti tubuh-tubuh tersebut sehingga tak bisa dia mengenalinya. Inong pun, yang tanpa bicara mengikuti apa yang dilakukan Agam mendapati kenyataan sama.<br />Perlahan-lahan Agam dan Inong berjongkok serta mengamati sosok tubuh yang terbaring di dekat mereka secara seksama. Dengan sangat berhati-hati keduanya menggoyang-goyang sosok tubuh tersebut. Tak ada reaksi. Sekali lagi mereka coba, tetap saja tanpa reaksi. Ke sosok tubuh lainnya mereka beralih, hasilnya sama saja. Ke yang lainnya lagi, tetap tak ada beda. Terus, bergantian dari satu sosok tubuh ke sosok tubuh lainnya. Hanya lelah yang didapat.<br />Agam memutuskan mencari tempat untuk beristirahat. Sambil memejamkan mata, dia duduk bersandar pada batang sebuah pohon besar di dataran yang agak tinggi. Tak sedikit pun dia hirau terhadap Inong yang tetap mengikutinya dan melakukan seperti yang dia lakukan.<br />Dalam diam dan memejamkan mata, ingatan Agam berpulang kepada peristiwa yang tadi dirasakannya bagaikan mimpi, hingga akhirnya dia tersentak dan mendapatkan dirinya terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Tak tau dia kenapa tiba-tiba tubuhnya terbujur dan terapung-apung di tengah laut yang maha luas, tanpa sedikit pun membersit rasa takut meskipun di kemahaluasan laut hanya ada dirinya. Malah, air laut yang mengombang-ambingkan tubuhnya dia nikmati layaknya sedang bermain ayunan.<br />Bersamaan dengan usainya perulangan kenangan itu di benaknya, Agam kembali membuka matanya. Begitu pula Inong yang berada di sebelahnya, tanpa sepengetahuan Agam ternyata juga mengalami hal serupa. Seketika, secara bersamaan kedua kanak-kanak itu saling pandang dan heran.<br />"Wajahmu penuh lumpur," ujar Inong kepada Agam.<br />"Wajahmu juga berlumpur," balas Agam sembari bangkit dan bergegas menuju genangan air di dataran yang rendah, diikuti Inong di belakangnya. Begitu sampai, keduanya membersihkan wajah masing-masing dengan air yang sungguh sangat tak bersih itu. <br />"Inong?!"<br />"Agam?!"<br />Terperanjat. Agam dan Inong sama menyapa setelah bisa saling mengenali. Kemudian, di dalam diri masing-masing membuncah pertanyaan demi pertanyaan, berbaur dengan kebingungan yang menggumpal. Apa yang telah terjadi? Dimana ayah, ibu dan adikku? Kemana aku harus berjalan untuk kembali ke rumah dan bertemu dengan mereka? Apa ini yang dibilang kiamat, seperti yang sering diceritakan ayah? Kalau memang kiamat, kenapa kami masih hidup?<br />Selain berjibun sosok tubuh orang-orang yang terbaring bergelimang lumpur, sisa-sisa bangunan menghadang tatap mata kedua bocah yang selama ini tinggal bersebelahan rumah itu. Di antaranya tinggal puing dan tak sedikit yang telah rata dengan tanah. Pada arah terbenamnya matahari, hanya tampak hamparan tanah membentang maha luas berbatas kaki langit. Seolah ada tenaga gaib yang menggerakkan tangannya, Agam segera meraih tangan Inong dan menggandengnya berjalan ke arah tersebut. Inong pun tak menolak.<br />Telah entah berapa jauh jarak ditempuh. Sama sekali tak terbersit keinginan untuk berhenti. Terus dan terus berjalan, tanpa secuil pun hinggap rasa lelah, juga tak sebutir pun peluh menempel di tubuh. Bahkan, gumpalan pertanyaan berbaur kebingungan yang sempat mendera tak bersisa sepenggal pun. Berganti dengan kedamaian yang datang dan menyeruak memenuhi relung hati Agam dan Inong.<br />Namun, tiba-tiba tatap mata Agam menangkap sesuatu yang dirasanya aneh. Segera dia menghentikan langkah sambil tetap menggandeng tangan Inong. Di hadapannya, jauh di batas kaki langit, tampak sebuah titik hitam muncul. Inong pun menyaksikan hal yang sama. Di samping titik hitam itu, muncul lagi satu titik hitam yang lain. Satu lagi bertambah di sebelah titik hitam kedua. Satu lagi di samping yang ketiga dan satu lagi di sebelahnya. Masih juga bertambah di samping yang keempat, di sebelah yang kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan seterusnya dan seterusnya. Terus pula Agam dan Inong mengarahkan tatapannya mengamati pertambahan titik-titik hitam itu, hingga akhirnya menyatu di batas kaki langit.<br />Perlahan-lahan seluruh titik hitam bergerak naik, mewujud garis tegak lurus, membentuk sebuah lingkaran dan mendesak ke depan. Nyatalah, pemandangan yang semula tampak aneh itu merupakan sosok orang saling berpegangan tangan satu sama lainnya. Semakin nyata pula, lingkaran sosok orang yang tak terhitung jumlahnya, yang sekarang telah teramat dekat dengan Agam dan Inong, semuanya berusia dewasa.<br />Menghadapi kenyataan itu, Agam dan Inong tak bergeming. ''Jelas sekali, kedua bocah inilah yang dimaksudkan petunjuk yang kita dapatkan itu. Karena, menurut petunjuk itu tinggal ada dua bocah di dunia ini. Laki-laki dan perempuan. Sekarang kita sudah mendapatkannya.''<br />Agam dan Inong tak hirau dengan apa yang dikatakan salah seorang di antara orang-orang berusia dewasa itu.<br />''Kalau begitu kita harus segera menyelamatkan kedua bocah ini sebelum terlambat,'' usul yang lainnya.<br />''Ya, sebelum malam tiba semuanya sudah harus selesai,'' timpal yang lainnya lagi mengingatkan.<br />Seorang yang tampak lebih tua dari yang lain melanjutkan.<br />''Terlebih dahulu kami mohon maaf. Berdasarkan petunjuk yang kami terima, kami harus menemukan sekaligus menyelamatkan dua orang bocah yang masih tersisa. Menurut petunjuk tersebut, kalau kalian tidak kami selamatkan, bahaya maha dahsyat akan memporak-porandakan perjalanan umat manusia menuju alam keabadian.''<br />Orang itu menarik nafas sejenak.<br />''Petunjuk itu juga menyebutkan, jika kalian dibebaskan melangkah sesuka kalian, pada akhirnya rasa rindu untuk memiliki teman, sahabat atau bahkan pendamping akan mendera hati kalian. Rasa rindu itu awalnya sekadar membujuk, tapi lama kelemaan akan memaksa diri kalian masing-masing untuk memenuhinya. Lantas, begitu kalian sama-sama berhasil memenuhi rasa rindu itu, saat itulah bahaya maha dahsyat akan memulai aksinya. Romantisme yang ada di lubuk hati kalian akan membuat kalian tak mampu membebaskan diri dari penjara kehendak sosok yang awalnya kalian butuhkan sebagai teman, sahabat atau pendamping tersebut.''<br />Kali ini lebih panjang, kembali orang itu menarik nafas.<br />''Pada akhirnya kalian pun berkomplot dan membelokkan perjalanan umat manusia dari menuju alam keabadian kepada perjalanan tak berbatas serta tanpa kepastian. Kalian akan membelokkan perjalanan umat manusia ke arah yang dilumuri pertumpahan darah tanpa ada yang berani mencegah. Karena, setiap yang berusaha mencegah pasti akan dibenamkan ke dalam kolam darah. Jadi, sekali lagi maafkan kami. Kami harus menyelamatkan kalian, demi keselamatan umat manusia hingga sampai ke alam keabadian.''<br />Agam dan Inong tetap saja diam. Lingkaran orang-orang berusia dewasa itu perlahan-lahan menyebar dan mengelilingi kedua bocah itu. Serentak mereka merapat, dengan cepat memberangus Agam dan Inong.<br />Mendadak, bumi yang hanya hamparan tanah maha luas berbatas kaki langit bergoyang. Perlahan-lahan. Sedikit kencang. Bertambah kencang! Semakin kencang! Teramat kencang! Maha kencang! Hingga, langit maha tinggi serasa sejengkal di atas kepala.<br />''Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!''<br />Rubuh! Lenyap! Apa yang ada menyatu dengan tanah. Ini yang kesekian kalianya. Semua berawal dari entah siapa membawa Agam dan Inong entah kemana.<br />[Medan, 17 Februari 2005]]<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-64685478861559150232010-09-26T21:08:00.001-07:002010-09-26T21:09:00.081-07:00Tahi lalatTahi Lalat Tipis di Atas Bibir Rini <br />Cerpen Sunaryono Basuki Ks <br /><br />Apakah yang membedakan Ayu dan Rini? Sulit dikatakan. Ami mengatakan bahwa Ayu berwajah lebih bulat dari Rini, sedangkan wajah Rini lebih lonjong. Cahyani mengatakan bahwa Ayu sedikit lebih tinggi dari Rini. Kata Dian, Ayu lebih gemuk dari Rini. Sagita bilang suara Ayu lebih jernh dari suara Rini.<br />Tetapi, dengan perbandingan tetap sulit bagiku untuk membedakan bersaudara kembar itu. Bagaimana bisa dengan mudah mengatakan bahwa wajah Ayu lebih bulat kalau yang hadir di depanku hanya Ayu atau Rini saja, saat mereka tak hadir berdua. Yang jelas, bila mereka menyanyi bersama untuk kegiatan kesenian di jurusan atau fakultas, suara mereka jernih dan membuatku jatuh cinta.<br />Ayu dan Rini dua bersaudara luar biasa. Keduanya punya suara yang bagus. Keduanya menulis resep untuk majalah dan tabloid wanita, kemudian menerbitkannya menjadi buku. Berdua mereka menulis buku English Games yang diterbitkan oleh penerbit buku terkemuka dan sampai kemarin sudah menghasilkan royalti yang langsung dibelikan satu set komputer sehingga mereka tak perlu lagi pergi ke tempat penyewaan komputer untuk menulis. Sudah ada tujuh naskah buku yang disetujui untuk terbit dan sudah ada tiga judul yang sudah benar-benar menjadi buku dan memberi mereka royalti.<br />Ayu menulis novel sudah sampai lebih dari dua ratus halaman diketik satu spasi. Ternyata Rini juga menulis novel, bukan novel lain tapi novel itu juga. Kalau Ayu sedang sibuk menulis skripsi, Rini melanjutkan menulis novel itu.<br />''Kok bisa?'' tanyaku terheran-heran.<br />''Mindahkan pikiran, Pak.'' Dengan ringan Rini menjawab. Tapi keahlian Rini sebenarnya melukis komik yang Ayu tidak mendalaminya. Mereka mengarang lagu juga dikerjakan berdua. Sementara ini mereka sedang membuat rekaman lagu-lagu yang mereka gubah sendiri.<br />''Sudah tanda tangan kontrak?''<br />''Belum.''<br />''Minta dua kontrak. Satu untuk penggubah lagu, satu untuk penyanyi.''<br />''Kok gitu, Pak?''<br />''Kan kerjamu dua. Dan, jangan mau dibeli putus.''<br />''Apa itu?''<br />''Kamu dibayar dengan honor besar, tetapi tak punya lagi hak kalau rekaman laku atau kalau ada penyanyi lain yang mau membawakan lagumu. Rugi, kan?''<br />''Saya tidak ngerti.''<br />''Makanya jangan sampai tergiur uang banyak. Contohnya Koes Plus, sampai sekarang lagu-lagunya laku tetapi mereka tak bisa menikmati hasilnya.''<br />Orang bilang, dua bersaudara kembar bisa saling merasakan, tetapi Ayu dengan tegas mengatakan tidak.<br />''Kalau kamu senang apa Rini bisa merasakan debar senangmu?''<br />''Tidak.''<br />''Soalnya dulu ada mahasiswi kembar, yang seorang di sini, yang seorang di Denpasar. Yang di sini konon merasa kesepian dan bunuh diri dengan minum obat serangga.''<br />Ayu diam. <br />''Bukan maksudku menakutimu. Kalau aku menamparmu, bisa?''<br />''Ya. Kalau saya jatuh dia ikut merasa sakit.''<br />''Kalau pacar menciummu, rasa?''<br />Ayu tersenyum dengan mulut terbuka.<br />''Tidak.''<br />Yang mengejutkan, selain masing-masing punya rahasia, ternyata Ayu dan Rini punya pacar bersama. Gede yang tinggal di Seririt menjadi pacar bersama mereka.<br />''Bersama-sama bagaimana? Kamu keroyok?''<br />''Tidak. Ya gantian.''<br />''Tak cemburu?''<br />''Kami saling ngerti.'<br />''Dan Gede tahu?''<br />''Ya.''<br />''Kalau pacaran kalian bergantian?''<br />Ayu mengangguk.<br />''Gila!'' pikirku. Tak pernah terpikir olehku sampai bisa terjadi begitu.<br />''Jadi Gede enak dong. Punya dua pacar sekaligus. Bisa gantian.''<br />''Tapi kami punya rahasia masing-masing. Saya punya pacar dan dia juga punya.''<br />''Lalu, dimana dia?''<br />''Yogya. Kena gempa. Dia mahasiswa UGM.''<br />''Oh, dari Bantul.''<br />''Betul. Dan Rini punya pacar dari Sumbawa. Dia Kristen.''<br />''Dan Yogya?''<br />''Mukhlas.''<br />''Oh. Jadi kamu siap jadi mualaf?''<br />''Ya.''<br />''Tak menyesal?''<br />Ayu tersenyum.<br />Aku tahu itu Ayu sebab dia datang untuk mengkonsultasikan skripsinya, jadi bukan Rini. Aku bukan pembimbing Rini. Pagi itu karena Rini juga datang, kuminta dia ikut masuk ke kantorku dan mereka berdua duduk di depanku. Suara mereka persis sama. Wajahnya sama. Tingginya sama. Jadi, sebenarnya apa yang membedakan mereka? Memang, waktu itu Ayu mengenakan kaos berwarna merah bergaris-garis sedang Rini mengenakan kaos hitam tanpa kembangan. Tapi, perhiasan mereka sama, bibirnya sama, rambutnya sama. Jadi bagaimana?<br />Ternyata Puspitayani yang memberitahuku. Dia tetangga Ayu dan Rini dalam lima tahun terakhir. Mula-mula merasa bingung juga sampai dia menemukan perbedaannya. Rini punya tahi lalat tipis di atas bibir di bawah lubang hidung kirinya. Sangat tipis seperti sebuah titik yang dibikin. Andaikata Ayu usil dan membubuhkan titik hitam dengan pensil alis di lubang hidungnya, pasti aku tak mampu membedakannya dari Rini.<br />Pada suatu siang sebuah sms masuk ke dalam HPku.<br />''Pak, besok saya boleh konsultasi?''<br />''Oke, jam sebelas,'' jawabku.<br />Dan jam sebelas seusai aku mengajar, Ayu memang muncul.<br />''Sudah selesai semua?''<br />''Maaf, Pak. Kakak tak bisa datang. Agak pusing. Tapi dia sudah janji, kan?<br />Saya mewakili. Boleh, Pak?''<br />Yang duduk di depanku seorang gadis yang kukira Ayu juga. Tapi, kemudian kuminta dia mendekatkan wajahnya dan aku dapat melihat sebuah titik hitam tipis di bawah lubang hidung kirinya, di atas bibirnya.<br />''Oh, jadi kamu. Saya gak tahu, gak bisa bedakan.''<br />Dia hanya tersenyum.<br />Seperti biasa aku selesaikan membaca skripsi pada saat itu juga. Aku tak mau menunda pekerjaan. Begitu selesai kuperiksa tak ada lagi beban hutang jadi aku bisa mengerjakan yang lain: menulis atau membaca dengan tenang. Aku bertukar sms dengan Mas Budi Darma atau Agus Noor.<br />''Sakit apa dia? Batuk?''<br />''Katanya pusing.''<br />''Pasti mikir Mukhlas.''<br />Hanya senyum.<br />''Tolong sampaikan salamku. Cepat sembuh biar bisa ujian. Kamu sendiri bagaimana?''<br />''Masih di tangan Pak Pande. Belum sempat baca katanya. Sibuk.''<br />''Ya nasib. Sabar aja.''<br />Lalu dia ulurkan tangannya dan dia cium tanganku. Lalu, kutarik tangannya dan kucium pipi kanan dan kirinya. Lalu kutanyakan, kalau kucium apa Ayu bisa ikut merasakan?<br />Tak kutunggu jawabannya. Kucium bibirnya walaupun disambut dengan dingin. Tak ada balasan. Persis seperti reaksi Ayu yang nol. Jadi, keduanya bereaksi sama?<br />Lalu kulepaskan. Dia duduk kembali tapi masih tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Persis seperti reaksi Ayu kalau kucium. Mungkin karena kembar, pikirku.<br />Tiga hari kemudian mereka datang lagi berdua.<br />''Sudah sembuh?'' tanyaku pada keduanya karena belum tahu mana Ayu mana Rini.<br />Keduanya duduk di depanku.<br />''Jadi boleh ujian, Pak?''<br />''Kalau sudah siap, kenapa tidak?''<br />Mereka saling pandang seolah menertawakanku. Aku ragu. Mana yang Ayu, mana yang Rini. Lalu, kupandangi mereka dengan jarak dekat. Yang duduk di sebelah kananku punya tahi lalat hitam tipis di bawah lubang hidung kirinya di atas bibir. Yang kiri pasti Ayu. Tapi aku tak mempercayai mataku. Yang duduk di sebelah kiriku juga punya tahi lalat hitam tipis di lubang hidung di atas bibir. Jadi yang mana Ayu, yang mana Rini?<br />Mana Ayu?''<br />Keduanya tersenyum.<br />''Siapa yang mau konsultasi?''<br />''Keduanya tersenyum?''<br />Aku terhenyak bersandar di sandaran kursiku.<br />''Jadi, siapa yang kucium dua hari yang lalu?''<br />Keduanya tersenyum dan aku tak paham. Benar-benar terpukul, terbaring di matras ring tinju. Mungkin harus ada yang menyiramku dengan air dingin agar aku terbangun.<br />Singaraja, 15 Oktober 2006www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-18573245480581265852010-09-26T21:07:00.000-07:002010-09-26T21:08:09.825-07:00Wangi melatiWangi Melati yang Tersisa <br />Cerpen Damhuri Muhammad <br /><br />"Aku tak takut mati, Jauhara! Bukankah hidup hanya sekAdar menunggu antrian di loket kematian?"*)<br />Benar! Tak ada yang mampu menolak ajal. Tapi, kenapa ia memilih cara mati sebagai pezina yang dirajam menjelang malam?**) Tak bisakah ia menjemput maut dengan cara yang lebih bermartabat? Mati sebagai ibu saat memacakkan janin dari rahimnya. Mati sebagai pejuang yang terbunuh tatkala meneriakkan yel-yel tuntutan kenaikan gaji buruh perempuan, atau mati syahid di tiang gantungan. Bukan mati dengan cara memasrahkan tubuh sintalnya pada lemparan batu yang mencabik-cabik kulit wajahnya. Mati terjungkal sebagai pendosa yang tertangkap basah bersenggama dengan lelaki begundal di remang senja.<br />Seingat Jauhara, itulah cara mati paling keparat yang pernah disaksikannya. Mayatnya menelentang di bibir trotoar. Darah masih mengucur di pipinya yang lebam, menetes perlahan di permukaan leher jenjangnya. Tak terlihat lagi alis mata lebat dan bertaut itu, juga rapi susunan giginya saat mengumbar senyum. Begitu pun aura memikat yang menyemburat dari sepasang mata elangnya. Musnah sudah! Pelipisnya pecah, berdarah-darah. Ia bukan siapa-siapa lagi, hanya bangkai yang tak akan dikuburkan. Tak ada tanah pemakaman bagi mayat pezina di kota ini.<br />Meisya, begitu Jauhara memanggilnya. Nama yang ringkas. Seringkas jeda waktu ia berkeputusan pensiun sebagai sundal paling laris. Dia meninggalkan dunia hitam dan tiba-tiba menyatakan cinta pada Jauhara, persis di saat puluhan lelaki ingin menikmati ranum tubuhnya. <br />"Aku tak akan melacur lagi jika sudah menjadi binimu!" janji Meisya seperti bersijujur.<br />"Menikah denganku hanya menurunkan derajat kepelacuranmu!. Aku tak akan membayarmu seperti puluhan lelaki itu membelimu!" balas Jauhara, setengah menolak.<br />"Aku ingin menjemput maut saat berada dalam genggamanmu! Jadikan aku istri syahmu, Jauhara!" pinta Meisya lagi.<br />Kota rebah di belantara sunyi yang pekat. Tak riuh dari deru mesin kendaraan. Dentang klakson bis malam pun tak terdengar. Sunyi. Tapi, Jauhara tak hendak beranjak, masih duduk membatu di samping Meisya, seonggok bangkai pezina yang dibantai dengan cara paling keji.<br />"Katanya kau ingin mati sebagai perempuan terhormat, kenapa kau tinggalkan aku? Lalu, kau serahkan tubuhmu pada lelaki iblis itu, hingga orang-orang di seantero kota ramai-ramai merajammu," batin Jauhara, menggerutu. "Atau memang sudah lumrah, pelacur kembali menjadi sundal?" gerutunya lagi. <br />Disekanya bercak-bercak darah pada pipi kanan mayat Meisya. Diusapnya bekas-bekas luka di kuduknya. Diselimutinya bangkai itu dengan sobekan kain spanduk yang direnggutnya dari pagar di pinggir traffic light. Diciumnya leher mayat Meisya. Dipeluknya. Didekapnya. Andai Jauhara masih bisa menangis, tentu ia akan meratap sejadi-jadinya. Tapi, sejak kepergian Meisya ia tak punya air mata lagi. Mungkin tangisnya jatuh ke dalam, ke sebuah liang di ulu hatinya, menggenang di sana. Ia tak mampu mengukur seberapa dalam genangan tangisnya kini.<br />Meisya memang sudah terbujur jadi mayat. Tapi, Jauhara tak lupa raut wajahnya, karakter senyumnya, sorot tajam yang memancar dari mata coklatnya. Motif gaun pengantin yang dikenakannya pada upacara pernikahan sederhana -- tanpa pesta, tanpa doa, tanpa restu. Mayat itu pernah menjadi perempuannya. Dulu, mereka hidup di kota yang sama, rumah yang sama, kamar yang sama, bahkan selimut yang sama. Jauhara tak lupa, karena ia sangat merindukan Meisya.<br />Setahun lalu, Meisya hengkang dari hidup Jauhara. Tubuhnya berpindah ke genggaman lelaki lain. Rebah dan bersandar di dada bidang lelaki itu. Jauhara pun sudah berhenti mencarinya. Bukan karena lelah. Tapi, karena sudah mustahil merebut tubuh istrinya yang sedang dalam genggaman lelaki jahannam itu. "Barangkali kau tak sungguh-sungguh ingin berhenti melacur!" umpat Jauhara waktu itu.<br />Bersusah payah Jauhara hendak menguburkan hasrat rindu pada Meisya. Ingin dilupakannya kenangan tentang segelas kopi panas dan sepiring pisang goreng yang tersuguh dengan tatapan teduh. Tentang tawa riang yang menyejukkan, bahkan tentang kecupan malam yang menyisakan basah di kening Meisya. Telah dipijak-pijaknya kenangan itu dengan hentakan langkah kaki dalam rentang panjang tualangnya.<br />Tapi, wangi Melati yang berasal dari lenguh nafas Meisya masih melekat di kedua belah telapak tangannya, lehernya, kuduknya, dan dada tipisnya. Hari ke hari, bau khas tubuh Meisya yang tertinggal di tubuh Jauhara itu kian menyengat. Tubuhnya menjelma ladang tempat tumbuh suburnya harum Melati, puing peninggalan Meisya. Berurat, berakar, dan berkelindan dengan daging pembalut belulangnya.<br />Sejak kepergian Meisya, tak terhitung entah berapa banyak bau tubuh perempuan yang telah dihisap Jauhara. Demi mengusir yang satu, Jauhara mengundang yang banyak. Demi melupakan kenikmatan yang satu ia menciptakan kenikmatan yang banyak. Demi menguburkan kenangan yang satu ia merajut kenangan yang banyak. Kenangan dengan sekian banyak perempuan.<br />Tubuhnya manifestasi kutu loncat yang berpindah-pindah dari satu tempat hinggap ke tempat hinggap yang lain. Sehari pun, Jauhara tak pernah kekosongan perempuan. Seringkali ia kesulitan menyatakan penolakan secara halus. Meski menolak yang satu, esoknya ia kedatangan perempuan lain. Tak pernah putus. Satu demi satu datang menghampirinya, menyandar di dadanya, mempersilakan Jauhara menghisap aroma tubuhnya. Setelah Jauhara puas, mereka pergi. Lalu, datang lagi perempuan baru.<br />Nyaris pada setiap perempuan itu, Jauhara bermohon agar mereka berkenan meninggalkan bau tubuh masing-masing di tubuhnya. Untuk memusnahkan wangi melati sisa-sisa peninggalan perempuan masa lalunya. Sialnya, tak satu perempuan pun yang mengabulkan permintaan lelaki itu. <br />"Bukan aku tak mau, tapi tak mampu! Wangi anyelirku tak mampu membunuh harum melati tubuhnya!" kilah seorang perempuan menolak keinginan Jauhara.<br />"Mana mungkin wangi anggrekku mematikan melati di tubuhmu, Jauhara? Kau tak sungguh-sungguh ingin membunuhnya. Diam-diam kau masih menikmatinya bukan?" kata perempuan yang lain lagi.<br />Suatu hari, ia kedatangan perempuan yang bukan hanya cantik, tapi juga cerdas. Ia tergila-gila pada kecerdasan perempuan itu. Baginya, bagian paling seksi dari tubuh perempuan adalah otaknya.***) Bukan betis bunting padinya, bukan pula lentik bulu matanya, tidak juga ramping pinggangnya. Lagi-lagi, tak ada keinginan yang hendak diraihnya dari perempuan itu, kecuali memintanya meninggalkan bekas bau tubuhnya di tubuh Jauhara.<br />"Maafkan aku, Jauhara! Aku tak mampu menghapus wangi melati di tubuhmu dengan harum mawar tubuhku!" kata perempuan itu.<br />"Kenapa? Ada apa denganmu?" balas Jauhara, ganti bertanya. Heran.<br />"Tak ada lagi aroma mawar di tubuhku!" jawabnya. Jujur.<br />"Lelaki mana yang telah menghisap wangi mawarmu?"<br />"Tak ada lelaki dalam hidupku sejak aku mengenalmu!" <br />"Lalu?"<br />"Wangi mawarku sudah mati terbunuh oleh harum melati di tubuhmu, sisa bau tubuh perempuan masa lalumu itu!" jawab perempuan itu.<br />"Jika tubuhmu tak memiliki harum mawar lagi, bagaimana cara memusnahkan wangi melati di tubuhku?" tanya Jauhara lagi.<br />"Cari perempuan itu! Bermohonlah agar ia mau merenggutnya dari tubuhmu!"<br />"Jika ia tidak mau?"<br />"Hanya ada satu cara, Jauhara!" <br />"Apa cara itu, sayang?"<br />"Wangi melati itu telah menjelma bayangan yang selalu akan membuntutimu. Sulit sekali membunuh bayangan itu, Jauhara! Tapi, jika kau memang hendak memusnahkannya, maka bunuhlah dirimu! Wangi Melati di tubuhmu pasti akan mati, mengiringi kematianmu!"<br />Jauhara pun tak takut mati. Tapi, ia tak akan memilih cara mati sebagai pezina yang dirajam menjelang malam. Akan dijemputnya maut dengan cara lebih khidmat. Bahkan, (kalau bisa) cara mati yang lebih nikmat. Demi mematikan wangi melati yang bersarang di tubuhnya, Jauhara harus membunuh dirinya. Direguknya sebotol soft drink yang telah dicampur larutan berisi bubuk arsenik.<br />Tak lama berselang, hawa tubuhnya panas. Cairan di dalam usus-ususnya mendidih. Sulit sekali ia mengendalikan detak jantung. Kian lama kian kencang. Jauhara mengerang kesakitan. Sesaat sebelum tubuhnya hilang keseimbangan dan tersungkur di pinggir trotoar di samping mayat Meisya, masih sempat dibisikkannya sepenggal kalimat perpisahan:<br />"Sampai jumpa di Neraka yang sama, Meisya!"<br />Yogyakarta, Agustus 2004 <br />*) Martina Uki, Mayat yang Bisa Bicara dalam buku kumpulan cerita pendek Yang Dibalut Lumut, CWI, Jakarta, 2003.<br />**) Goenawan Mohamad, Perempuan Yang Dirajam Menjelang Malam, dalam Sajak-sajak Lengkap 1961-2001, Metafor Publishing, Jakarta, 2001, sekaligus menjadi inspirasi cerita ini.<br />***) Rini TS, Cincin Bernama, Jawa Pos, 04 April 2004.<br />(Cerpen dari Harian Republika )<br /> ( )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-76237902058244097992010-09-26T21:06:00.002-07:002010-09-26T21:07:27.479-07:00Lautan....................Aku Datang Bersama Lautan <br />Cerpen Firman Venayaksa <br /><br />Sambil mendengar lengking burung kematian, aku berdiam di altar langit, bersiap melanjutkan kembali pekerjaanku. Mataku terus saja menyapu tiap adegan yang dipertontonkan Allah; sukma-sukma yang meronta, nafas yang terkubur lumpur, muka yang jengah, mata yang terbelalak, penuh dengan sobekan-sobekan kejadian, seakan tak sanggup menampung kecemasan tentang lautan yang tak lagi ramah. Marah! Kemudian aku melayang-layang di tengah himpitan ketakutan mereka dan aku mengintip sepasang lelaki dan perempuan sedang sibuk dengan kalimat-kalimat.<br />"Inong, mana Inong, Tengku? Agam, mana Agam, Tengku? Jangan biarkan mereka berdiri di tepi lautan lagi. Jangan biarkan mereka terus berkelakar di tepi lautan lagi, Tengku."<br />Seorang lelaki yang dipanggil Tengku tak mau menatap istrinya lagi. Ia tak kuasa. Ia terus bertasbih mengarah kiblat. Komat-kamit doa ia layangkan kepada Allah. Aku sendiri melihat panah doa itu melesat ke arah langit, namun terbentur sesuatu, dan panah doa itu tak lagi punya sayap, kembali ke tanah, berakhir menjadi abu.<br />"Tengku, ayo cepat bediri, kita tak punya lagi waktu untuk diam. Orang-orang sudah berlari ke tenda-tenda pengungsian. Orang-orang sudah meninggalkan kita. Oh Agam, oh Inong, di manakah kalian berada? Sudah lenyapkah diterkam lautan atau kalian telah selamat, pergi ke tempat-tempat pengungsian bersama mereka? Apakah kalian membawa pakaian, mi instan dan buku-buku pelajaran? Di tenda pengungsian itu kalian harus tetap sekolah agar menjadi orang berilmu. Inong, boneka kesayanganmu masih di sini. Sudah berlumur lumpur, tapi masih lucu seperti katamu. Inong, ibu akan membawakan boneka ini untukmu, sayang."<br />"Agam, pistol-pistolanmu juga masih di sini. Ah, ibu masih ingat kalau besar nanti cita-citamu ingin menjadi tentara kan? Cita-citamu itu akan terwujud anakku dan engkau akan membasmi tiap penjahat, persis seperti katamu. Ibu akan membawakan juga untukmu, semoga kita bertemu dengan segera. Tengku, ayo Tengku. Cepat beranjak dari tempat ini. Sebentar lagi lautan akan datang kembali dan kita akan dimangsa dengan segera. Ayo!"<br />Perempuan itu menjamah tangan Tengku dan menarik-nariknya. Namun lelaki itu tetap saja tak mau memalingkan muka. Ia tetap bertasbih. Cucuran air mata lembut mulai menganak sungai di pipinya. Airmatanya memang tidak ganas seperti lautan yang marah, yang mereka lihat sebelumnya, tapi air mata itu telah membuatku lupa akan tugas yang seharusnya kukerjakan. Airmata itu telah menenggelamkan niatku untuk mengajaknya ke negeri akhirat.<br />"Tengku, segeralah beranjak dari tempat dudukmu. Sudah waktunya kita berlari. Dengar, aku mendengar kembali kegaduhan di sana. Orang-orang menjerit histeris. Derap langkahnya aku dengar, Tengku. Bukankah kau mendengarnya pula? Mereka sedang dimangsa lautan dan kita pun harus segera menjauh dari tempat ini. Bila tidak, kita akan sama seperti orang-orang yang mendahului kita. Aku tak mau mati hari ini, Tengku. Tapi aku juga tak mau meninggalkanmu. Jadi, marilah kita sama-sama melangkahkan kaki."<br />"Kita cari Inong dan Agam. Aku tak mau mereka menangis, aku tak kuasa mendengar mereka merintih mencari-cari kita. Mainan mereka sudah ada dipangkuanku, waktunya untuk memberikan boneka dan pistol-pistolan. Mereka akan terhibur dengan mainan ini, Tengku. Segeralah beranjak dari tempat ini. Lekas. Apa sebenarnya yang kau tunggu? Lautan itu? Oh, tidak. Engkau menunggu lautan itu rupanya. Aku tak mau menunggu lautan. Aku tak mau berperang dengan lautan. Kita akan mati mengenaskan. Lautan terlalu gagah untuk dikalahkan. Lautan terlampau bengis untuk ditaklukan."<br />"Aku tak menunggu lautan, Cut Nyak." Akhirnya suara lelaki itu pun mulai terdengar kendati terbata. Aku tetap khusyuk mengintip obrolan mereka, benar-benar lupa dengan pekerjaanku.<br />"Lantas jika tak menunggu apa-apa, mengapa engkau masih termenung di tempat ini. Aku tahu engkau meminta pertolongan Allah, tapi bukankah kita bisa bertasbih di tempat lain, di tempat yang aman?"<br />"Nyut Nyak, bertasbih tidak mengenal tempat dan waktu. Lagi pula, di manakah tempat yang aman itu? Di tempat aman mana yang engkau maksud, istriku? Di tenda-tenda pengungsian itu? Di sana aku rasa dia tak mau datang, terlalu banyak orang, terlalu banyak suara-suara. Lagi pula aku tidak merasa terancam. Takdir tak pernah membuatku terancam. Takdirlah yang membuat hidup kita menjadi aman, Cut Nyak."<br />"Apa maksudmu, Tengku? Jadi engkau menunggu seseorang? Siapa? Gubernur? Mentri-mentri? Presiden? Siapa Tengku? Jelaskan kepadaku dengan segera. Kau dengar, kini derap langkah orang-orang tak lagi bersuara, sudah sirna. Suara-suaranya digantikan dengan debur lautan yang pernah kita dengar sebelumnya, yang memisahkan kita dengan Inong dan Agam. Oh, Tengku, suara lautan yang samar-samar itu mulai merambat di telingaku, di telingamu juga kan? Tengku, mari kita pergi dari tempat ini. Suara kematian sudah mulai memburu kita. Deburan keras itu siap mengancam jiwa kita. Aku tak mau mati di sini, Tengku. Inong dan Agam masih membutuhkan kita. Boneka dan pistol-pistolan belum sempat aku berikan."<br />"Dia akan datang bersama lautan. Aku sudah merasakannya, Cut Nyak. Tunjukkan wajahmu, tunjukkan wajahmu."<br />"Siapa yang akan datang bersama lautan, Tengku? Hanya, hanya malaikat kematian yang datang bersama lautan. Hanya dia yang akan menemani lautan. Mengangkat ruh kita menuju semesta akhirat."<br />"Betul Cut Nyak. Malaikat maut yang aku tunggu."<br />"Apa? Jadi engkau ingin mati, Tengku? Kau ingin kita mati? Tidak, Tengku. Jangan lakukan itu. Ayo kita pergi. Aku tidak mau bertemu dengan malaikat kematian, aku ingin selamat. Masih ada Inong dan Agam yang harus kita rawat, masih ada harapan yang menunggu kita di masa depan. "Masa depanku sudah berada di hadapanku. Tak berapa lama lagi aku akan bertemu dengan lautan, berjumpa dengan malaikat maut. Keselamatanku berada di tangannya."<br />"Ya Allah, air sudah mulai nampak. Lihat, Tengku. Lautan itu begitu ganas dan aku tak bisa berdiam di tempat ini. Lupakan malaikat maut. Mari pergi bersamaku. Kita cari Inong dan Agam." <br />Perempuan itu mencoba untuk menarik tangan Tengku berkali-kali. Akhirnya Tengku berdiri, kemudian memeluk istrinya dengan lembut dan mencium keningnya berkali-kali. Wajahnya nampak berseri. Senyum hangatnya membuat Cut Nyak merasa aneh. Lalu akupun menampakan diri dari persembunyianku. Tengku menundukan wajahnya penuh rasa takzim, sementara Cut Nyak menantang dengan sorotan matanya yang tajam dan penuh pertanyaan-pertanyaan.<br />"Assalamualaikum," sapa Tengku.<br />"Waalaikum salam," jawabku lirih.<br />"Jadi engkau yang bernama malaikat kematian?"<br />Nada suara Cut Nyak yang tercekik membuatku terhenyak.<br />"Aku ingin membawa suamimu ke negeri akhirat."<br />"Tidak!"<br />"Cut Nyak!" hardik Tengku.<br />Cut Nyak kini berada di depanku dengan sorot mata menantang. "Wahai malaikat maut, jangan engkau renggut suamiku. Betapa aku begitu menyayanginya. Aku tak tahu lagi apakah aku masih bisa hidup tanpa suamiku. Tidak. Aku tak mungkin bisa hidup tanpa suamiku. Jadi bawalah aku serta bersamanya. Pergi ke negeri akhirat."<br />"Aku tak bisa berdamai dengan takdir. Aku hanya menjalankan tugas," jawabku.<br />Tengku mencoba untuk memegang bahu Cut Nyak yang mulai menggigil menahan tangis, namun tangannya ia tepis. Kini air mata itu pun mengalir dan Cut Nyak menangis sejadi-jadinya.<br />Setiap kali aku menjalankan tugas, aku selalu diiringi tangis. Tangisan-tangisan itu sudah biasa aku lihat dan kerap kali memohon agar menunda pekerjaanku, tapi sekali lagi, aku tak bisa berdamai dengan takdir. Takdir adalah hukum yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugasku, pun ini kali.<br />"Jika engkau tak mau mengajak serta aku, maka tundalah ajakanmu kepada suamiku. Ajaklah lautan itu pergi ke tempatnya, jangan mampir ke tempat ini, jangan biarkan menerkam suamiku. Aku tak sudi kehilangan suamiku."<br />Dengan bahasa cinta, Tengku merengkuh kekasihnya,<br />"Cut Nyak kekasihku, bersetialah dengan takdir. Kita hanya berpisah barang sesaat. Lagi pula lautan itu tidak akan menerkamku. Ia hanyalah kendaraan yang diutus Allah, yang akan membawaku ke sana, ke masa depanku. Masa depanmu adalah mengasuh Inong dan Agam. Sampaikan salamku kepada mereka."<br />"Lalu bagaimana jadinya masa depanku tanpa dirimu, Tengku? Masa depanku akan suram tak berkesudahan. Masa depanku akan legam seperti malam. Masa depanku tandas tanpa cintamu."<br />Dari arah kejauhan, suara-suara bocah memanggil-manggil mereka. Suara polos tak berdosa mengajak naluri keibunya meninggalkan Tengku seorang diri. Cut Nyak langsung menuju suara itu. Dipeluknya Inong dan Agam, boneka dan pistol-pistolan tak lupa ia berikan.<br />Kini, aku pun menyelesaikan tugasku. Lautan merengkuh jasad Tengku, aku memapah ruhnya, pergi meninggalkan Cut Nyak, Inong dan Agam. Sekali lagi, tangisan-tangisan mengajakku berdamai dengan takdir.<br />Tanah Air, 2005 <br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-79032934390621774862010-09-26T21:06:00.001-07:002010-09-26T21:06:49.126-07:00Wah merah jambu lo..............Bulan Merah Jambu <br /><br /><br />Pagi terasa sepi. Diam tak ada suara. Aku merasa nyaman dipeluk ketenangan. Sunyi. Senyap. Tetapi itu tak lama.<br />"Zuha muncul di koran! Zuha muncul di koran!" sebuah suara membuat ketenangan melepaskan pelukannya. Suara Idha. Dan bukan hanya mulutnya yang bersuara. Dari kakinya pun keluar suara gedebag-gedebug yang keras. Pula, dalam hitungan detik terdengar pintu berderit. Bahkan berdebam. Mungkin empunya kamar membuka dengan sangat bersemangat. Keheningan pagi terburai menjadi serpih. Lalu ada riuh. Aku tergoda. Bukan karena riuhnya, tapi karena satu nama yang diteriakkan Idha.<br />Zuha! Zuha muncul di koran!<br />Akulah yang terakhir membuka pintu. Di dekat meja, kulihat lima gadis mengerumuni Idha yang tengah membentangkan koran. Wajah mereka sangat antusias. Nainy yang pertama kali mendongak ke arahku. "Tabita, Zuha! Ia mengajar anak-anak di sana...," gadis itu berkata kemudian memberikan tempatnya untukku. Juga jarinya menunjuk kolom yang tengah menjadi pusat perhatian.<br />Oh, Tuhan. Tak apalah hening pagi terburai menjadi serpih. Sebab wajah di lembaran koran itu memang Zuha. Ia berdiri anggun dengan baju merah dan kerudung biru tua. Di belakangnya ada papan tulis dan di depannya anak-anak yang tak berbaju seragam. Mereka bersama dalam sebuah tenda. Sebuah judul mengantar tulisan tentangnya. Zuha pun Turut Mengajar.<br />Aku melihatnya beberapa saat dan tenyata mataku memanas. Meski bukan foto close up, rasanya dapat kulihat wajahnya dengan jelas. Wajah tirus sejalan dengan tubuhnya yang kurus. Namun, mata yang terletak di bawah lengkung kerudung itu sangat teduh. Sangat teduh. Anak-anak yang duduk di depannya itu pasti dapat merasakan keteduhan matanya meski mata itu sempat bengkak ketika televisi menyuguhkan gambar-gambar memilukan tentang tanah kelahirannya yang luluh lantak tertimpa gelombang dahsyat. Rasanya wajah teduh itu belum lama meninggalkan tempat ini. Pondokan putri yang kamarnya tujuh buah dan salah satu penghuninya adalah dia. Tak lama mata panasku melahirkan bulir bening di kedua sudutnya. Aku terisak. Lalu menyusul isak yang lain. Satu satu hingga semua terisak. Semua mata melahirkan bulir bening yang kemudian pecah menjadi sungai. Pagi ini kami kembali menangis untuk Zuha.<br />Hari sudah malam. Koran pagi masih kupegang. Aku berdua dengan Nainy duduk di beranda. Bulan bundar menggantung di langit yang berawan. Sudah beberapa hari ini hujan tak datang menyapa. Mungkin hujan sedang berpuas-puas menjatuhkan diri di beberapa tempat -- yang bukan tempat ini. Lalu datanglah banjir di sana. Agh, betapa kita sedang sangat akrab dengan bencana.<br />"Dia tampak tegar, Nain," aku berkata. Aduh Zuha, malam ini obrolan kami belum juga beranjak dari kamu.<br />"Aku bersyukur, Ta. Andai aku jadi dia, pasti aku sudah gila dibuatnya. Bagaimana mungkin bapak yang malamnya masih berbicara di telepon paginya hilang dimakan gelombang," Nainy berkata dengan wajah sayu. Anganku melompat. Dulu, begitu sering aku, Zuha, dan Nainy menikmati malam di beranda. Mungkin karena kami terhitung penghuni paling lama di pondokan ini, maka kami bertiga sudah demikian menyatu sebagai sahabat.<br />Kami suka memandang rembulan. Terlebih jika ia purnama. Kami ngobrol apa saja. Bahkan suka melantur kemana-mana. Termasuk membicarakan rembulan yang sedang menggantung di langit malam.<br />"Apakah warna rembulan?" Zuha pernah bertanya.<br />"Kuning emas!" jawabku yakin dan mantap.<br />"Kuning agak jingga," sangkal Nainy kalem.<br />"Menurutku, bulan berwarna merah jambu," ujar Zuha disambut penolakan dari aku dan Nainy.<br />Bagaimana mungin bulan berwarna merah jambu. Aku menunjuk pohon jambu di seberang jalan yang kebetulan sedang berbuah. Warnanya merah. Dan bulan tak sewarna dengan warna merah buah itu. Namun Zuha justru bersenandung: bulan merah jambu, luruh di kotamu, kuayun sendiri langkah-langkah sepi, menikmati angin, menabuh daun-daun, mencari gambaranmu di waktu lalu, sisi ruang batinku hampa rindukan pagi, tercipta nelangsa, merengkuh sukma.*)<br />Selanjutnya, berkali-kali kita kita di beranda. Dan tetap saja kau katakan bahwa bulan berwarna merah jambu meski aku dan Nainy selalu menolaknya. Agh, Zuha. Sedang apa kau malam ini? Apakah di sana juga sedang terlihat rembulan? Dan apakah akan kau katakan pada orang-orang bahwa warnanya merah jambu? Bukan kuning emas atau kuning agak jingga?<br />Wajah teduhmu di koran ini membuat segala kenangan tentangmu bertaburan di udara pondokan. Terutama kenangan hari Minggu pagi itu. Kakiku sakit. Mungkin keseleo waktu bergegas-gegas di tangga pondokan. Maka, pukul lima empat lima kau kendarai motor mengantarku ke gereja untuk ibadah pukul enam. Gereja ramai oleh jemaat sebab aroma natal masih kental. Waktu itu aku tak dapat pulang untuk merayakan natal bersama keluarga. Rumahku juga jauh di pulau seberang sementara kita dalam musim ujian. Kau turunkan aku hingga halaman. Jemaat yang hendak masuk memperhatikan kita seolah melihat alien yang barusan turun dari langit. Ada dua hal yang sangat mungkin membuat kita menjadi pusat perhatian. Pertama, kakiku yang berjalan terpincang-pincang. Kedua, kerudung birumu sebagai sebuah bagian pakaian yang tak lazim dipakai orang di lingkungan gereja (di Indonesia).<br />Namun, daripada merasa salah tingkah dengan perhatian orang, kau memilih untuk tetap berwajah teduh. Juga tak segera beranjak untuk memastikan aku bisa masuk ke ruang ibadah dengan selamat. Dalam gereja, kupanjatkan syukur untuk bantuan yang terasa tulus kau lakukan. Usai kebaktian, begitu keluar pintu sudah kudapatkan kau siap membawaku pulang kembali ke pondokan. Kita kembali menjadi tumpuan perhatian banyak orang. Tapi kita sambut keheranan itu dengan senyuman yang ringan. Kau starter motor, dan begitu melaju, kerudung birumu melambai melawan angin yang menghembus.<br />Ah, ya. Pagi itu kau memakai kerudung baru. Kemarin kerudung itu masih terbungkus rapi dalam kertas kado bergambar bunga lili. Aku dan Nainy memberikan padamu untuk ulang tahunmu yang keduapuluh satu. Kami memang memilih untuk memberimu kado kerudung berwarna biru. Sebab kami tahu kau menginginkan benda itu. Dua minggu sebelumnya, kita menjelajah Pasar Klewer mengantar Nainy yang diminta untuk belanja pakaian bayi. Menurut hitungan dokter, kakaknya sebentar lagi akan melahirkan.<br />Kita usai belanja lantas berusaha keluar melalui lorong-lorong ramai dan sumpek. Lorong-lorong itu kunamai labirin. Sebab ia ruwet sehingga aku tak pernah dapat masuk dan keluar pada celah keluar yang sama. Di depan kios kerudung kita tertahan kuli yang sedang membongkar barang. Kita pun berhenti. Matamu tertuju pada sebuah kerudung yang tersampir sebagai barang dagangan. Kau bertanya pada penjualnya, berapa harganya? Ia menjawab, tujupuluh lima ribu. Ouw, harga yang mahal untuk sebuah kerudung. Namun kerudung biru itu memang halus sebab terjalin dari benang sutera. Matamu berpijar menginginkannya. Hanya, kau tak membelinya sebab dompetmu hanya dompet mahasiswa yang lebih sering tebal karena berjenis-jenis kartu dan bukannya uang. Sama persis, dompetku dan Nainy.<br />Dua puluh lima Desember kau berulang tahun. Tiga hari sebelum tanggal itu, aku dan Nainy kembali menjelajah Pasar Klewer. Mencari kios yang menjajakan kerudung yang dulu kau suka. Itu bukan perkara mudah. Pasar Klewer bukan mall yang serba teratur dan rapi. Entah kami telah berputar berapa kali sebelum akhirnya dapat menarik nafas lega. Kami menemukannya. Dan nafas kami bertambah lega saat kami bisa menawarnya. Dari harga tujupuluh lima ribu yang ditawarkan, kami bisa membuat pedagang itu melepaskan dengan harga lima puluh ribu saja. Kami berbagi. Aku duapuluh lima ribu, Nainy juga duapuluh lima ribu. Kau senang menerimanya. Bahkan, begitu kau buka bungkusnya, dengan antusias kau langsung memakainya. Hari selanjutnya kerudung itu masih kau pakai, juga untuk mengantarku ke gereja. Minggu pagi itu kau masih tersenyum-senyum senang. Terlebih Sabtu malam, abimu di Meulaboh menelepon mengucapkan selamat ulang tahun. Kau bilang, umimu juga turut bicara dan kau juga dapat mendengar suara adik-adikmu walau sayup-sayup saja. Namun siapa sangka bila itu menjadi suara terakhir yang kau dengar?<br />Minggu siang menjelang sore. Teve dinyalakan untuk melepas penat habis membaca bahan-bahan ujian. Seketika tawa kita berganti duka. Air laut yang didorong gempa telah meluluh-lantakkan segalanya. Kau menangis namun tetap ada ketabahan pada sedu sedannya. Meski demikian matamu bengkak juga. Dua minggu berikutnya kau memaksa untuk pulang. Katamu, kau akan mencari keluargamu. Kami tak dapat menahan meski kami khawatir sebab di sana pasti penuh ketidakpastian. Sore itu kami antar kau hingga pemberangkatan. <br />Sebulan lalu datang kabarmu lewat pesan pendek di layar ponselku. Abi dan umimu meninggal. Juga dua adikmu yang kau sayangi. Namun, syukur pada Tuhan masih ada satu adik yang selamat. Kau juga bilang, kau tak mungkin lagi kembali ke kota ini meski jelas kuliahmu belum usai. Sebab, di kota ini kau pasti tak dapat melakukan apa-apa sementara di sana banyak kesedihan yang menanti untuk ditangani. Karena itu, kau bilang, meski sedikit aku akan bertindak. <br />Dan kau memang melakukannya. Pagi tadi, di koran ini dapat kami lihat wajah teduhmu, dibalut kerudungmu yang berwarna biru. Kau berdiri di depan anak-anak yang juga merasakan kehilangan. Apa yang kau katakan pada mereka, Zuha? Berita di koran tak menuliskannya. Namun pasti kata-kata yang menguatkan sebab kau telah membuktikan jika kau kuat menanggung kesedihan seperti yang mereka punya.<br />"Tabita, sudah malam... masuk yuk," suara Nainy memutus ingatan yang mengembara ke mana-mana. Kulihat di sudut matanya ada bulir bening seperti tadi pagi. Pasti ia juga larut mengingat Zuha. Kami pun berurut masuk pintu pondokan. Di luar bulan masih menggantung disaput awan. Dulu, kami suka berdebat tentang warnanya.<br />Bandung, 2005<br />Untuk Yanti di Nias.<br />*) Potongan lirik lagu Tak Bisa ke Lain Hati Kla Project.<br /> (Cerpen Tinar Sidha )<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-79517216952985406772010-09-26T21:03:00.002-07:002010-09-26T21:04:26.485-07:00seratus ribuan.............DUA LEMBAR UANG SERATUS RIBUAN <br />Cerpen N Mursidi <br /><br />LELAKI itu membangun rumah entah untuk siapa. Kalau untuk anak-anaknya kelak, kenapa ia tak sempat menulis sepucuk surat wasiat? Sebelum kematian tiba, dia hanya meninggalkan dua lembar uang seratus ribu rupiah di almari tua, yang penuh debu dan dendam.<br />Uang itu, secara kebetulan, aku temukan seminggu selepas dia dikebumikan. Aku bergetar, nyaris pingsan dan sampai kini masih terus dihantui pertanyaan; apa salah dan dosaku sampai uang itu tidak sempat ia sentuh untuk membeli obat di saat kematian mau menjemput?<br />Aku terpaksa pulang hari itu seusai ibu menelpon dan bercerita kalau ayah sakit, terbaring di rumah sakit. Ritmis napasnya mirip gerimis yang turun di suatu senja, murung, dan tak bergemuruh ketika aku tiba di rumah sakit petang itu. Kening ayah yang penuh dengan kerut-marut, tanpa aroma, seperti menguapkan kesedihan tatkala aku mendekat dan duduk di ujung ranjang.<br />Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku tahu ayah tak punya harapan hidup lagi dan air mataku seketika mau tumpah. Sebuah air mata penantian seorang anak yang pulang disambut dengan kebisuan karena ayah tak sadarkan diri, terbaring seperti patung. Karena itu, ibu sengaja membiarkanku terpaku menatap wajah ayah.<br />Duduk bersidekap sedih di ujung ranjang ayah yang terbaring koma, kembali mengingatku retak kisah sepanjang malam ketika aku masih remaja dulu. Ia nyaris tak pernah keluar malam sampai aku setengah mati membenci ayah. Dia nyaris hanya menghabiskan malam, selepas dari mushalla untuk menunaikan shalat jamaah, lalu mendengarkan radio tua, menutup koran usang, lalu beranjak tidur. Hari-hari ayah, selalu berlalu dengan ditemani radio tua yang berderak, koran bekas dan sisa napas yang tersengal di ambang malam saat ia terbangun untuk menunaikan shalat tahajud.<br />Saat itu aku masih remaja. Tapi aku nyaris tak mampu melupakan malam yang melukai kalbu, sewaktu tuntutanku pada ayah untuk masuk STM tak dipenuhi. Aku kemudian menghabiskan malam-malamku di luar rumah, pulang tengah malam atau menjelang pagi. Aku selalu gemetar mengetuk pintu, karena ibu yang selalu membukakan pintu dan bertanya, "Dari mana saja kamu?" <br />Aku tak pernah merasa perlu untuk menjawab pertanyaan ibu. Aku kemudian menerabas ke kamarku dan menutup pintu dengan rapat. Malam-malamku selalu berlalu dengan kepulanganku yang menyedihkan. Untung kegelapan membuatku berani menatap langit dan tak lagi sakit-sakitan. Jadi, aku tak lagi takut pada malam dan selepas es em u (SMU), aku memutuskan pergi dari rumah.<br />Dengan doa ibu, aku kemudian kuliah dan bisa lulus. Dan selepas kuliah, aku kebetulan mendapat pekerjaan yang cukup layak di Jakarta. Tetapi, aku seperti anak hilang yang lupa jalan untuk pulang. Aku baru pulang saat ayah sudah terbaring, setelah hampir dua setengah tahun tak menginjakkan kaki di beranda.<br />Kepulanganku itu bermuasal dari sebuah peristiwa yang tidak mengenakkan. Aku tiba-tiba terjerat rasa iba, tepat pada hari aku menerima gajian di bulan pertama kerjaku. Aku lalu mengirimkan uang dua ratus ribu rupiah lewat wesel buat ayah karena aku dengar ayah sudah mulai sakit-sakitan.<br />SEMINGGU setelah aku mengirim uang itu, ibu menelponku. Aku kaget, karena ibuku nyaris tak pernah menelpon. Aku pikir ibu akan bertanya soal kiriman uang itu. Tapi dugaanku ternyata salah. Ibu justru memintaku untuk segera pulang, karena ayah jatuh di kamar mandi. Pingsan.<br />"Cepatlah pulang!" pinta ibu dengan suara getir yang kudengar dari gagang telepon, serasa menguraikan air mataku di ujung kelompak mata untuk segera tumpah.<br />Setelah minta izin dari kantor, aku segera pulang. Tahu kalau ayah dirawat di rumah sakit, aku merasa tak perlu mampir ke rumah melainkan langsung ke rumah sakit. Ada rasa hampa tatkala aku memasuki halaman rumah sakit, menyusuri bangsal demi bangsal dan kemudian sampai di ruang ICU, di mana ayah dirawat.<br />Saat memasuki ruang ICU itu, rasa cemas membuatku gemetar. Aku merasa sedih, dan dalam hatiku tiba-tiba tebersit pikiran jika sampai ayah meninggal dan aku belum sempat meminta maaf, tentu aku akan menjadi anak durhaka.<br />Aku terus berjalan mencari kamar ayah yang terbaring tak berdaya dan desah nafas ayah sudah aku rasakan seperti naik turun di dadaku. Salah satu tangannya tertusuk jarum infus, sungguh serasa menyiksa urat nadiku. Ayah yang dulu gagah seketika seperti tak berarti lagi di depan anaknya yang sedang berjalan mau menjenguk.<br />Aku dengar pula ritmis napas ayah mirip gerimis yang turun di suatu senja, murung, sedih dan tidak bergemuruh ketika aku tiba-tiba menjumpai sebuah ruangan saat aku longokkan kepala dan menjumpai ayah sedang terbaring tidak sadarkan diri. Kening ayah penuh dengan kerut-marut, tanpa aroma, menguapkan kesedihan saat aku masuk dan duduk di ujung ranjang.<br />Aku termangu, menatap tubuh renta ayah yang sudah tak berdaya. Aku tahu ayah tak punya harapan lagi, dan air mataku serasa hampir tumpah. Setitik air mata penantian dari seorang anak yang pulang disambut dengan kebisuan karena ayah sudah tak sadarkan diri, terbaring mirip patung ketika aku datang mau menjenguk setelah nyaris dua setengah tahun tak pulang. Karena itu, ibu membiarkan aku terpaku meneliti wajah ayah.<br />Tetapi, tiba-tiba aku tergeragap setengah detik kemudian karena ibu berucap, "Kalau bisa, kamu jangan balik ke Jakarta dulu sampai ayahmu sadar dari siuman!"<br />Aku berpaling ke arah ibu, "Ya, Bu! Semoga ayah segera sadar."<br />"Untung kakak sepupumu, Ahsanudin mau menanggung semua biaya rumah sakit. Aku tak lagi memikirkan dari mana kau mendapatkan uang!" lanjut ibu pelan, membuatku lega. <br />Lalu malam turun. Dari celah jendela, kulihat ada secercah cahaya yang merekas dari daun pohon akasia di halaman rumah sakit yang mulai gelap. Aku kemudian pamit kepada ibu untuk pulang ke rumah dan berjanji akan besuk kembali esok hari.<br />HUBUNGANKU dengan ayah, bisa dikata cukup unik. Aku anak kedua dari tiga bersaudara yang tidak ubahnya anak tiri. Ah, mungkin aku cukup sentimentil untuk menyebut anak tiri. Tetapi, aku tak memiliki ungkapan lain untuk menyebut hubungan musykilku dengan ayah. Mengharap perhatiannya, aku seperti menanti kematian saja. Aku tak berdaya.<br />Mungkin ayah tak salah. Dari cerita orang-orang kampung, dari pernikahan ayah dengan ibu memang tak segera dikarunia anak. Di usia empat tahun perkawinan yang nyenyat, siapa yang tak sedih tatkala lahir bayi yang ditunggu-tunggu, ternyata justru menghembuskan nafas tatkala ibu mengejan kesakitan. Anak pertama meninggal, anak kedua ayah pun bernasib serupa. Lalu, kakakku lahir ketika harapan ayah untuk menimang putra itu terkabulkan. Jadinya, kakakku dimanja ayah sampai setengah mati.<br />Ayah merasa ia sebagai lelaki tulen dan berjanji akan memenuhi setiap permintaan kakakku. Keberkahan itu juga membuat aku lahir lalu disusul adikku. Jadi kami tiga bersaudara, semua laki-laki. Tapi aku nyaris tumbuh tanpa perhatian. Kasih ibu dan ayahku hampir sepenuhnya jatuh pada kakakku dan adikku. Kakakku menjadi lambang penyelamat keluarga karena setelah nyaris ayah tak dikaruniai anak dan adikku, karena ragil, juga selalu mendapat perhatian lebih. Aku terbengkalai, kalah. Apalagi kakakku jadi lambang kegagahan ayah dan adikku jadi lambang kasih sayang ibu.<br />Aku terjepit. Ayah selalu membela kakakku meskipun setiap kali bertengkar dengannya, aku yang benar. Jika bertengkar dengan adikku, ibu selalu berdiri di belakang ragil busuk itu. Aku? Jadi terbuang. Selalu kalah. Tidak ada pelindung, membuatku tidak betah hidup di rumah. Karenanya, saat aku beranjak remaja, aku menghabiskan malam di luar rumah. Aku pulang untuk makan siang dan tidur.<br />Ayah gusar. Aku cuek karena aku menemukan kehidupan yang membahagiakan di luar rumah meski penuh bahaya. Tapi hidup di luar rumah telah mendewasakanku sebagai lelaki yang tak gampang menangis. Dan, aku jarang diberi uang jajan oleh ayah, kecuali dengan cara yang menurutku tidak adil.<br />Agar betah tinggal di rumah, ayah mengajariku ketrampilan menjahit pakaian. Aku lalu digaji dengan uang sepadan dengan pekerjaanku yang tak seberapa. Berbeda dengan kakak-adikku, mereka tinggal menengadahkan tangan, tiba-tiba segalanya terpenuhi.<br />Lalu kakakku lulus SMU. Ayah melihatku bak anak durhaka. Sampai aku kemudian lulus dari SMU. Tak juga mendapat simpati ayah. Jadi, aku benci ayah setengah mati karena aku tidak mendapat perhatian. Tapi tiba-tiba semua berubah. Saat teman-teman mulai kerja dan menikah, aku melanjutkan kuliah, setelah menganggur satu tahun.<br />Lambat laun, menjalar rasa simpati ibu kepadaku. Apalagi, aku bisa kerja sambil kuliah di tahun kedua. Juga saat aku mendapat pekerjaan layak setelah lulus kuliah sementara kakakku dan adikku --yang juga lulusan sarjana-- masih nganggur di rumah, menjadi beban keluarga.<br />SESAMPAI di rumah, malam sudah larut. Aku kemudian meminta adikku untuk menemani ibu berjaga di rumah sakit. Tak lagi kuasa untuk menahan kantuk, aku tertidur setelah sempat mengobrol sebentar dengan kakakku. Tetapi, sebelum rasa kantuk menerjang mataku, aku sempat berpesan untuk membangunku tatkala subuh bergema.<br />Tapi, betapa terkejutnya aku ketika kakakku menggoyang-goyang tubuhku di pagi yang buta itu. Aku tergerap, dan bertanya, "Apa sudah subuh?" Aku merasa mataku masih belum cukup terpejam, dan belum juga kudengar adzan berkumandang.<br />"Subuh bagaimana? Ayah sudah tiada!"<br />Deg! Hatiku ciut. Langit-langit gelap. Aku melangkah ke kamar mandi. Membasuh muka. Lalu, ke ruang tamu, menyambut kedatangan jenazah ayah.<br />Tak selang lama, jenazah ayah tiba. Keluargaku sudah berkumpul, membopong jenazah ayah masuk ke dalam rumah. Sekilas, aku lihat kakak sepupuku, Ahsanudin duduk di teras. Aku tahu ia baru tiba dari rumah sakit, tentunya setelah melunasi biaya perawatan ayah. Aku melangkah, menyalaminya.<br />"Untung kau cepat tiba! Jadi, keluarga tak perlu repot-repot menunggumu untuk pemakaman nanti," ucapnya prihatin seraya menggapit tanganku.<br />"Aku selalu memikirkan ayah, mas! Apalagi sejak kerja dan belum bisa membantu keluarga."<br />Hatiku sungguh pedih, ketika itu. Rupanya, dia tahu apa yang ada di dalam pikiranku. Aku sungguh menyesal belum membalas jasa ayahku, baru bisa mengirimi uang dua ratus ribu, yang sama sekali tak ada artinya bagi ayah.<br />Tidak ada angin, tak ada hujan, kakak sepupuku bangkit. "Dengan kata lain, kau tidak akan pernah dapat membalas jasa ayahmu meski dengan apa pun."<br />Aku termangu. Di cakrawala, kulihat subuh belum merekah. Dan aku menunggu khitmad ayah dikuburkan di siang itu.<br />GENAP seminggu setelah pemakaman, aku membersihkan kamar ayah. Ibu menyuruhku agar beliau tak terbayang mendiang ayah. Tetapi, ketika aku membuka almari, tempat ayah menyimpan uang, aku tersentak karena menemukan dua lembar uang seratus ribuan, tergeletak penuh dengan debu. Aku berteriak kencang, memanggil-manggil ibu.<br />Sekitar setengah menit kemudian, di ambang pintu, ibu membuatku tersentak kaget, "Kamu pasti menanyakan tentang uang itu?"<br />"Kenapa uang itu masih utuh dan belum disentuh ayah, Bu?"<br />"Ayahmu tak mau menggunakan uang itu untuk membeli obat meski dia sedang sakit di ujung usianya. Aku harap kamu tidak kecewa menemukan uang itu masih utuh!"<br />Aku termangu, lalu duduk lemas di tepian ranjang. Aku sungguh tak tahu, kenapa ayah masih menganggapku seperti orang lain. Apa aku ini bukan anaknya? <br />Kota Wisata, 2006<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-91636644072659685652010-09-26T21:03:00.001-07:002010-09-26T21:03:29.476-07:00Ada yang Mati...............HARI INI ADA YANG MATI LAGI <br />Cerpen Labibah Zain <br /><br />Sepulang dari menunaikan shalat subuh di mushalla, Pipin memasuki rumahnya yang hanya bertiang bambu dan beralaskan tanah. Dulu ruangan itu disebut kandang sapi. Sekarang dua ekor sapi warisan kakeknya itu telah tiada. Ayahnya telah menjualnya untuk menebus segala keperluan hidup dari mulai untuk keperluan sekolah anak-anaknya, biaya perawatan ketika emak sakit tulang hingga keperluan sehari-hari.<br />Lambat laun karena merasa terpepet ekonomi, orang tuanya memutuskan untuk menjual rumah dan memilih bekas kandang sapi sebagai tempat tinggal. Tak nyaman memang. Tetapi hidup ini tak pernah menyodorkan pilihan lain. Dan hidup tetap tak banyak berubah. Toh nyawa emaknyapun tak bisa tertolong juga.<br />Sebagai anak tertua dari dua bersaudara, Pipin ingin sekali meringankan beban orang tuanya dengan bekerja apa saja. Tetapi sebagai anak lulusan SMP, dia tak bisa berbuat banyak. Sedangkan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMU saja dia tak tega untuk membujuk ayahnya yang kini bekerja sebagai penggali kubur itu untuk membiayainya.<br />Pipin menghempaskan tubuhnya ditikar disudut rumah. Kemudian Tiwi, adiknya nampak bersiap-siap pergi sekolah dengan seragam putih merahnya. Tak ada secangkir teh apalagi sarapan. Semua anggota keluarga tampak sudah terbiasa dan maklum. Ayahnya tampak sedang bersiap-siap untuk menjalankan tugasnya. Tadi malam Pipin memang mendengar bunyi cangkul yang bergerak-gerak. Pertanda cangkul itu akan segera menggalikan kubur untuk seseorang. Pertanda ayahnya akan mendapat sedikit uang untuk membeli beras dan yang pasti akan ada nasi kardus tahlilan yang akan dapat dinikmati malam nanti.<br />"Siapa yang meninggal, Pak?" tanya Pipin pelan. "Sumirah, isteri Pak Harno tadi malam meninggal karena terkena flu burung. Syukurlah kita tak punya uang untuk membeli daging ayam sehingga kita terbebas dari flu burung itu," jawab ayahnya lugu.<br />Sang ayah pun berangkat untuk menggali kuburan. Tiwi berangkat ke sekolah dan Pipin bersiap-siap ke tempat Bu Hardoyo untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semejak lulus SMP, Pipin memang merelakan diri untuk menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Hardoyo yang tinggal di perumahan seberang kampungnya. Dulu uang tersebut bisa membantu ayahnya untuk membeli beras dan keperluan sehari-hari serta cukup. Tetapi, sejak BBM naik, semua harga barang menjadi naik. Pipin dan ayahnya harus rajin-rajin berhemat agar bisa makan sampai akhir bulan.<br />Klothek. Klothek. Kletehek. Bulu kuduk Pipin berdiri. Dia sudah sering mendengar bunyi cangkul ayahnya di tengah malam, tapi tetap saja bulu kuduknya berdiri. "Berarti besok akan ada yang meninggal lagi," pikir Pipin sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh Tiwi yang tidur nyenyak.<br />Benar! Keesokan paginya, seorang lelaki berpeci menjemput ayahnya untuk menggali kuburan. "Mbah Minem meninggal ketika antri mengambil uang kompensasi BBM di kantor Pos, Pak," kata lelaki itu. Kenaikan BBM memang banyak menyisakan masalah. Tunjangan salah sasaran, perangkat kelurahan dikeroyok rame-rame karena tak becus mendaftar warga miskin, sampai kematian mbah Minem pagi ini, semuanya membuat Pipin semakin sesak nafas.<br />Sebenarnya Pipin heran dan bertanya-tanya kenapa ayahnya tak terdaftar sebagai penerima subsidi. Tetapi ayahnya yang memang tak pernah neko-neko itu bilang bahwa ia malu kalau harus protes ke kelurahan. "Mungkin kita masih dianggap sedikit lebih mampu dari orang lain, Pin. Buktinya kau masih bisa bekerja," begitu ayahnya menasehatinya.<br />Dengan segera, kedua lelaki itu berjalan beiringan menuju kuburan. Ayahnya akan menggali kubur lagi. Tetapi kali ini nampaknya harus benar-benar ihlas karena Mbah Minem hidup sebatang kara dan penduduk sekitar harus rela bahu membahu mengurus kematiannya. Malam harinya tak sama dengan malam kemarin yang bisa menyantap nasi hasil tahlilan. Kali ini Pipin, Tiwi dan ayahnya hanya bisa makan bubur dan garam. Kali ini tak seorangpun mengirimkan makanan ke rumah ayahnya. Tahlilan memang tetap diadakan, tapi di musholla dan tanpa makanan.<br />Merekapun terlelap. Dan, 'klethek klethek' bunyi cangkul terdengar lagi. Pipin tersentak dari tidurnya. Segera dia menutup kupingnya rapat-rapat, dan kembali memeluk Tiwi erat-erat. Pagi-pagi, kembali ayahnya sudah dijemput oleh beberapa orang pemuda. Apalagi kalau bukan urusan penggalian kubur. "Pak Haryo meninggal terserempet mikrolet!" kata seorang pemuda dengan wajah muram.<br />"Kasihan Pak Haryo. Dia yang biasanya naik mikrolet untuk menuju pabriknya terpaksa jalan kaki untuk menghemat uang transportasi, eh malah terserempet mikrolet," timpal pemuda yang lain. Ayahnyapun pergi bersama pemuda-pemuda itu untuk melaksanakan tugasnya. Pak Haryo juga salah seorang penduduk yang tak mampu. Tak ada harapan ayahnya untuk membawa upah hasil penggalian kuburnya.<br />"Kita harus ikhlas, Pin. Orang-orang kecil seperti kita ini harus saling membantu. Bapak juga berharap kalau meninggal nanti akan ada orang yang mau menggalikan kubur bagi bapak walau kamu tak mampu membayarnya," kata ayahnya sambil menelan bubur garam buatan Pipin. <br />"Kapan ada orang kaya yang meninggal ya, Pak?" Tiwi nyeletuk.<br />"Hus! Ndak baik mengharapkan kematian orang hanya karena kita ingin upah atas penggalian kuburnya," tukas ayah tampak tak senang.<br />Tiwi terdiam. Matanya menerawang. Pipin tahu sudah seminggu ini adiknya merengek, ingin sekali ikut piknik bersama teman-teman sekelasnya ke Borobudur. Tetapi, tentunya Tiwi tahu dalam keadaan ekonomi yang serba susah seperti ini, impiannya tak bakalan terwujud. Jangankan ikut piknik, sedang uang seragam sekolahpun belum terbayar. Ingin sekali Pipin mewujudkan semua impian adiknya. Tetapi Pipin tak tahu caranya. Dipandanginya wajah adiknya yang pelan-pelan mulai menuju alam mimpi,<br />Klethek. Klethek, Klethek. Klethek. Cangkul dan keranda berbunyi lagi. Serta merta Pipin dan ayahnya berpandangan.<br />"Tidurlah!" Ayahnya mencoba mengalihkan perhatian Pipin. Pipin mencoba tertidur sambil mengira-ira giliran siapa gerangan yang akan dijemput malaikat Izrail.<br />Pagi ini tak ada seorangpun yang menyusul ayahnya untuk menggali kuburan. Berarti belum ada kematian. Siapakah yang akan meninggal hari ini? Pikir Pipin. Tetapi Pipin segera melupakan bunyi cangkul ayahnya tadi malam. Tiwi berangkat ke sekolah. Ayahnya memulai aktivitas bersih-bersih rumah dan Pipin berangkat ke rumah Bu Hardoyo untuk bekerja.<br />Seperti biasa, Pipin langsung menuju tumpukan baju kotor untuk dicucinya. Bu dan Pak Hardoyo segera menuju ke tempat kerjanya dengan vespa merah meninggalkan Pipin dengan segala urusan cuci mencuci, bersih-bersih rumah dan menanak nasi. Pipin mulai menata baju-baju kotor ke dalam bak cucian. Ada jaket, celana dalam, BH, rok, hingga celana panjang. Tiba-tiba Pipin merasa ada sesuatu yang mengganjal di saku celana panjang milik Pak Hardoyo. Pipin memasukkan tangannya ke ke saku celana itu. Uang! Dua lembar ''lima puluhan ribu" dan empat lembar "sepuluhan ribu". Diambilnya uang itu dan di letakkannya di meja makan. <br />Pipin kembali sibuk dengan aktivitas mencucinya. Tiba-tiba wajah Tiwi terlintas di benaknya. Wajah rembulan yang dikurung awan lantaran kesedihannya tak bisa ikut piknik bersama teman-temannya. Seketika juga Pipin ingat uang temuannya itu. Cepat-cepat dia menuju meja makan dan dimasukkannya uang itu ke saku bajunya. Tetapi kemudian dia juga ingat ayahnya. Ayahnya pasti akan marah besar kalau tau dia mengambil uang orang. Pasti ayahnya akan kecewa. Pipin tak sanggup membayangkan kekecewaan ayahnya.<br />Pipin buru-buru meletakkan uang tersebut di meja makan lagi. Begitulah hati Pipin diliputi keraguan sehingga ia bolak-balik dari sumur ke meja makan untuk mengambil dan mengembalikan uang tersebut. Tak akan ada orang tau tentang ini. Pak Hardoyo itu orang yang sangat ceroboh. Tak mungkin dia ingat kalau sudah menyimpan uang di saku celananya. Pak Hardoyo saja tak tahu apalagi ayahmu.<br />Tetapi, bagaimana kalau tiba-tiba Pak Hardoyo ingat uang itu dan tau kalau kau yang mengambilnya? Keluarga Hardoyo akan memecatmu! Mau makan apa nanti keluargamu? Ah kalau nanti keluarga Hardoyo bertanya masalah uang itu, aku kan bisa pura-pura tak tahu, pasti tak tak akan ketahuan. Dan lihatlah, betapa mata Tiwi akan berbinar-binar melihat kau membawa uang untuk pikniknya. Bukankah sudah lama kau tak melihat keceriaan Tiwi?<br />Cepat-cepat dimasukkannya uang itu ke kantong bajunya. Pipin tak mau menimbang-nimbang lagi. Dia takut pikirannya akan berubah.<br />Sore hari Pipin kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah tangga keluarga Hardoyo dan pamit dengan Bu Hardoyo dengan agak sedikit gugup. Dengan langkah riang dia mencari-cari Tiwi. Tiwi belum ada di rumah. Pipin menanti kedatangan Tiwi dengan tak sabar. Malampun datang menyelimuti kampungnya. Tiwi belum pulang juga. Pipin dan ayahnya mulai panik. Mereka segera mencari ke rumah teman-temannya. Tak seorangpun mengetahui keberadaan Tiwi.<br />Tepat jam sepuluh malam. Penjaga sekolah Tiwi datang mengabarkan Tiwi ditemukan tewas dalam gantungan di kamar mandi sekolah! Pipin teringat bunyi cangkul ayahnya tadi malam. Rupanya yang meninggal hari ini adalah Tiwi! Pipin menjerit ketika tubuh Tiwi yang sudah tak bernyawa itu dibawa ke rumahnya. Dirabanya uang haram yang ada di sakunya yang ternyata tak bisa membahagiakan adiknya.<br />Bunyi 'klethek klethek' cangkul ayahnya didengarnya semakin keras saja. Hari ini giliran kuburan Tiwi yang dicangkul oleh ayahnya. Pipin berharap, besok siang ayahnya akan menggali kubur untuknya.<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-46909468708405860722010-09-26T21:02:00.001-07:002010-09-26T21:02:50.638-07:00Kalung TasbihKALUNG TASBIH DARI MAKKAH <br />Cerpen Anita Retno Lestari <br /><br />Aku hanya bisa menangis menyesali kutukanku yang ternyata dikabulkan Tuhan.... Suamiku mengalami gegar otak berat, kakinya patah, dan tulang belakangnya remuk.<br />Sepulang naik haji, ayah memberiku kalung tasbih yang katanya dibelinya di Makkah dan pernah dibawanya memasuki Masjid Nabawi dan di depan Makam Rasulullah SAW ayah berdoa semoga aku menjadi perempuan salehah yang bahagia di dunia dan akherat.<br />''Setiap habis shalat, gunakan kalung tasbih ini untuk berdzikir,'' pesan ayah ketika menyerahkan kalung tasbih yang kini selalu menemaniku ke mana pun aku berada. Aku pun selalu menggunakan kalung tasbih itu untuk menghitung kalimat-kalimat thoyibah yang kubaca sehabis shalat.<br />Dan, setelah aku menikah, kalung tasbih itu tiba-tiba hilang. Seingatku, sebelum hilang, kalung tasbih itu kuletakkan di dekat bantal ketika aku hendak tidur dengan suamiku. Tapi, suamiku mengaku tak tahu menahu ketika aku mencari-cari kalung tasbih yang raib itu.<br />''Mungkin kamu lupa menyimpannya. Suatu ketika pasti ketemu lagi,'' ujar suamiku ketika aku menunjukkan perasaan resah atas raibnya kalung tasbih itu.<br />''Sebaiknya kamu membeli lagi kalung tasbih yang lebih besar, biar tidak mudah hilang,'' lanjut suamiku.<br />Aku tetap saja merasa resah atas hilangnya kalung tasbih dari Makkah itu. Setelah aku membeli kalung tasbih dan menggunakannya untuk berdzikir, rasanya aku selalu teringat kalung tasbih yang telah hilang itu, sehingga dzikirku tidak pernah bisa khusyuk. Aku merasa bersalah kepada ayah yang kini telah almarhum. Aku merasa telah gagal mempertahankan kalung tasbih dari Makkah itu sebagai milikku.<br />''Apa sih istimewanya kalung tasbih yang hilang itu, sehingga kamu tampak selalu murung dan gelisah?'' tanya suamiku setelah satu pekan aku selalu murung dan resah sejak kehilangan kalung tasbih dari Makkah itu.<br />''Kalung tasbih itu bukan tasbih sembarangan, Mas. Almarhum ayah yang dulu membelinya di Makkah, dan pernah dibawanya masuk ke Masjid Nabawi dan digunakan untuk berdzikir di depan makam Rasulullah SAW,'' tuturku.<br />Suamiku tersenyum. ''Kalau begitu justru kamu harus bersyukur atas hilangnya kalung tasbih itu.''<br />Aku terpana menatap tajam-tajam wajah suamiku. Tiba-tiba aku curiga, suamiku mungkin sengaja membuang atau menyembunyikan kalung tasbih itu.<br />''Mungkin jika kalung tasbih itu tidak hilang, suatu ketika bisa menjadi berhala yang kamu puja-puja. Maka bersyukurlah karena kalung tasbih itu hilang.'' Suamiku bicara dengan tersenyum-senyum.<br />''Maaf, Mas. Benarkah Mas mencuri kalung tasbih itu agar aku tidak bisa menggunakannya lagi untuk berdzikir?'' tanyaku.<br />Rasanya aku pantas mencurigai suamiku karena justru tampak senang dengan hilangnya kalung tasbih itu.<br />''Memangnya aku berbakat menjadi pencuri?'' Suamiku balik bertanya dengan wajah tetap berhias senyuman.<br />''Kalau Mas tidak mencurinya, semoga yang mencurinya celaka!'' Aku mengutuk dengan kesal.<br />Suamiku terperanjat. ''Kamu telah mengutuk seseorang yang telah mengambil kalung tasbihmu. Waduh, kamu telah berbuat kejam. Bagaimana jika kutukanmu dikabulkan Tuhan?''<br />''Ah, sudahlah, aku sudah terlanjur mengutuk, Mas. Yang penting bukan kamu yang mencurinya.''<br />''Bagaimana jika seumpama aku yang mencurinya?''<br />''Jadi, benar bukan Mas yang mencuri kalung tasbih itu?''<br />Suamiku mengangguk dengan tersenyum.<br />Aku mendengus panjang, karena dadaku mendadak terasa sesak. Aku khawatir jika kutukanku dikabulkan Tuhan. Dan, sejauh yang kuketahui, kutukan tidak bisa dicabut jika sudah terlanjur diucapkan.<br />Lalu, aku berdoa semoga kutukanku tidak dikabulkan Tuhan. Aku tidak ingin melihat suamiku celaka, meskipun telah mencuri kalung tasbih dari Makkah yang kuanggap sangat istimewa itu.<br />Sepekan kemudian, sepulang kantor, suamiku mengalami tabrakan hebat. Suamiku dirawat di ruang ICU. Mobilnya rusak berat. Dan aku hanya bisa menangis menyesali kutukanku yang ternyata dikabulkan Tuhan meskipun aku sudah berusaha untuk mencabutnya dengan doa-doa.<br />Ketika aku membesuk suamiku di rumah sakit, aku minta maaf. Tapi suamiku diam saja.<br />Kini, suamiku mengalami gegar otak berat, kedua kakinya patah, dan tulang belakangnya remuk. Menurut dokter, kecil kemungkinan suamiku bisa pulih seperti sebelum mengalami kecelakaan.<br />Setelah tiga bulan dirawat di rumah sakit tapi suamiku belum juga pulih, aku kemudian membawanya pulang. Aku ingin merawatnya di rumah.<br />Sungguh berat merawat suami yang lumpuh dan tidak bisa bicara lagi. Sepanjang waktu suamiku terbaring lemas di tempat tidur. Semua hajat hidupnya aku yang mengurus. Untungnya, suamiku segera dipensiun dan mendapat uang pensiunan sebesar 60 gaji terakhirnya. Dengan uang pensiunan itu kami berdua bisa hidup.<br />Suatu siang, aku membersihkan gudang. Semua barang rongsokan yang menumpuk di gudang kukeluarkan untuk kubuang ke tempat sampah.<br />Ketika aku sedang menyapu lantai gudang, mataku menatap seuntai kalung tasbih dari Makkah itu. Segera aku membersihkan kalung tasbih itu. Lalu kuperlihatkan kepada suamiku.<br />Mata suamiku langsung berkaca-kaca ketika menatap kalung tasbih itu. Bibirnya bergerak-gerak tapi tidak mengeluarkan suara apa pun. Sepertinya suamiku menangis di dalam hati.<br />Iba aku melihat suamiku menangis. Pasti suamiku sangat menyesal telah menyembunyikan kalung tasbih itu di gudang dan kemudian aku mengutuknya dan ternyata kutukanku dikabulkan Tuhan.<br />Dan, meskipun kalung tasbih itu sudah kutemukan lagi, aku tidak mau menggunakannya untuk berdzikir. Aku teringat ucapan suamiku. Betapa kalung tasbih itu bisa menjadi berhala, dan karena itu sebaiknya dibuang saja. <br />Lalu aku membuang kalung tasbih dari Makkah itu ke tong sampah, bukan karena aku khawatir menjadikannya sebagai berhala, melainkan karena aku memang sudah tidak membutuhkannya lagi. Aku telah terbiasa berdzikir tanpa kalung tasbih.<br />Sekarang, bagiku, berdzikir tidak perlu dihitung lagi, karena aku tidak menjualnya kepada Tuhan! <br />Sastradipati, 2006<br />Dari Redaksi<br />Berhubung menyempitnya halaman untuk rubrik cerpen dan esei, maka naskah cerpen dan esei yang dapat dimuat di halaman Sastra ini adalah sepanjang 7000-8000 karakter. Naskah harus dikirim melalui email ke sekretariat@republika.co.id. Naskah cerpen/esei harus diketik dalam format MS Words dan dikirim dengan sistem attachments. Tiap satu file hendaknya hanya berisi satu judul cerpen. Begitu juga untuk naskah esei. Sedangkan untuk naskah puisi, sekali kirim minimal enam judul puisi dalam satu file. Dilampiri foto diri close up dalam gaya santai, biografi singkat dan nomor rekening bank untuk pengiriman honor jika dimuat. Naskah yang tidak memenuhi persyaratan teknis tersebut tidak akan diperhatikan. Terima kasih. red<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-33155940241860596222010-09-26T21:00:00.000-07:002010-09-26T21:01:22.686-07:00LelakiLELAKI NGUNGUN <br />Cerpen Mohammad As'adi <br /><br />Tatap kosong dan kerut wajah lelaki itu tak lagi memancarkan cahaya. Watak kerasnya tak lagi memiliki kekuatan apapun. Ia tinggal menunggu saat-saat untuk pulang.<br />Saya jadi begitu iba ketika semua anaknya masih saja memiliki rasa takut luar biasa kepadanya. Sungguh, ia sudah tidak memiliki kekuatan apapun untuk marah, atau melempar bakiak ke tubuh kami seperti semasa kami kecil.<br />Hidup baginya tinggal menunggu waktu, begitu ngungun dan sendirian. Seluruh sahabat seusianya satu persatu telah pergi. Tidak ada lagi tempat untuk menumpahkan seluruh kesepiannya atau ide-ide briliannya tentang hidup dan kehidupan.<br />Aku jadi teringat ucapan ibu beberapa hari sebelum ia meninggalkan kami untuk selama-lamanya. ''Kalau Allah menghendaki saya harus pulang terlebih dahulu, jaga ayahmu. Jangan ada dendam atau kebencian. Memang begitulah watak ayahmu. Kamu harus ingat, bagaimanapun juga ia telah mempertaruhkan hidupnya untuk membesarkan dan memberikan kehidupan pada kalian semua, anak-anaknya.''<br />Antara ibu dan ayah sungguh jauh berbeda. Ibu adalah perempuan yang begitu sabar, setia dan memiliki kesadaran terhadap datangnya kematian. Ibu adalah perempuan yang mengerti benar arti sebuah cinta dan kehidupan. Tidak saja kepada anak-anaknya, tetapi juga Sang Khalik.<br />Tasbih, mukena dan Alquran tidak pernah lepas dari genggamannya. Hidup bagi ibu adalah sebuah pengabdian, kepada Allah, ayah dan seluruh anak-anaknya. Tidak mengherankan bila perempuan itu selalu merasa was-was jika harus pulang kepada Sang Khalik mendahului ayah.<br />''Bukan ibu takut mati, tetapi ibu takut ayahmu bakal kesepian. Sebab, ibu punya perasaan kalian semua tidak akan mampu mendampingi ayah kalian.'' Saat itu saya hanya bisa menundukkan kepala. Saya jadi teringat masa kecil kami. Dari empat belas bersaudara, nyaris tidak ada satupun yang tidak merasakan tempelengan ayah, atau sakit karena diperlakukan sebagai 'musuh'. Ayah memang begitu keras, disiplin dan diktator. Namun, di antara wataknya itu sesungguhnya terselip sebuah kecerdasan yang luar biasa. Kecerdasan yang kemudian diturunkan pada anak-anaknya.<br />Kadang ia seperti Leonardo da Vinci atau Einstein. Bahkan, walau lebih banyak seperti harimau, sering muncul cahaya Rumi dari sorot matanya. Pernah suatu kali ia bicara pada saya bagaimana harus menyikapi kehidupan, ''Hati yang bersih adalah cermin tanpa noda sehingga bisa menerima banyak sekali bayangan, atau pantulan. Yang bersih telah meninggalkan keharuman dan warna; setiap saat mereka dapat melihat keindahan tanpa halangan*. Maka hiduplah dengan hati, nurani dan tanpa kebencian.''<br />Begitulah kalau ayah sudah mulai berbicara soal hidup. Ia acapkali menghadirkan kata-kata orang bijak, tidak terkecuali Rumi atau yang lain. Ketika berbicara soal semesta, ia akan mengutip ayat-ayat Alquran, bahkan juga paranormal.<br />Angan-angannya pun selalu membumbung tinggi. Semua keinginannya harus dituruti, termasuk mempekerjakan ibu untuk menghidupi seluruh anak-anaknya, sementara ia begitu sibuk dengan pikiran dan angan-angannya, sampai-sampai ia kehilangan kesadaran bahwa dalam hidup ini ada kehidupan yang wajib ditanggungnya, yaitu isteri dan anak-anaknya.<br />Ia juga lupa akan hakekat cinta sejati dari seorang lelaki, terhadap ibu, anak-anaknya dan Sang Khalik. Ia pun tidak menyadari, gairah hidupnya yang keras dan meledak-ledak sesungguhnya telah melukai hatinya dan meluluhlantakakan harapan-harapannya. Terlebih lagi ketika ibu telah tiada. Ia tampak begitu kesepian.<br />Setiapkali berhadapan dengan ayah, saya selalu teringat kepada ibu yang kini berada di pelukan Sang Khalik. ''Jangan ada dendam atau kebencian. Jangan sekali-kali meninggalkan ayahmu sendirian. Lihat saja hatinya. Ia memang keras, tapi sesungguhnya memiliki kecintaan kepada kalian. Jika ada rasa dendam, seharusnya ibulah yang paling mendendam. Tapi tidak. Jangan. Cintailah ayahmu seperti ibu mencintai kalian.''<br />Tubuh renta lelaki yang biasa kami pangil Ayah itu kini lebih banyak tergolek di pembaringan. Usia tuanya telah merenggut seluruh wataknya. Ia seperti kepompong, bukan untuk lahir kembali menjadi kupu-kupu yang indah, tetapi untuk pulang kepada yang memilikinya.<br />Kadang-kadang aku mendengar ia menyebut nama Allah dan istighfar. Cahaya matanya seperti mengucapkan kata, ''Mari sayang, dekat-dekatlah dengan aku, maafkan ayahmu yang telah melukai hatimu.''<br />Tatapan itu acapkali membuat hati saya gemetaran, luka-luka hati saya seperti mengucurkan darah dan sakit. Tetapi, ketika di depan mata berkelebat wajah ibu, saya menangis dan merasa bersalah, lalu luka menjelma jadi luka-luka yang lain. Tidak. Tidak boleh ada rasa dendam sedikit pun di hati saya. Seperti ibu, walau lukanya lebih dalam, tidak secuil pun memiliki rasa dendam atau kebencian kepada ayah.<br />Ketika masih muda dan kuat, ayah mengajarkan kepada kami tentang hidup dengan kekerasan, keterasingan dan keterpisahan serta penuh angan-angan. Sementara ibu mengajarkan cinta dan kasih sayang kepada kami. Ketika mata ayah memancarkan api kemarahan, mata ibu memancarkan air dan menyiramnya hingga padam. Sehingga, ketika ibu pergi meninggalkan kami selama-lamanya, kami merasa kehilangan dan bertahun-tahun merindukan kehadirannya kembali.<br />Setiapkali aku mengunjungi ayah, selalu menyempatkan melongok kamar ibu dan menatap wajahnya pada foto keluarga. Di wajahnya yang cantik dan lembut itu saya belajar betapa cinta itu mengalahkan segala kebencian, kedengkian, amarah dan dendam. Cinta yang memancar dari wajah ibu bagai samodra keindahan. Kalau sudah begitu kerinduan pun sirna. Wajah itu pun mampu mengajarkan kearifan. Hidup harus dijalani dengan kesungguhan dan kesadaran untuk ikhlas meninggalkan segala-galanya dan mengabdi pada cinta.<br />Barangkali perasaan ayah sama dengan perasaan saya terhadap kepergian ibu sepuluh tahun yang lalu. Bahkan, mungkin luka yang dideritanya jauh lebih dalam. Apalagi, selama hidup bersama ibu, ayah memiliki ketergantungan besar kepada ibu yang senantiasa dilukai hatinya. Barangkali luka-luka hatinya itu kini menjadi beban paling berat bagi ayah.<br />Kalau ibu yang paling tertindas saja selalu memaafkan, kenapa saya tidak? <br />Kenapa saudara-saudara saya yang lain juga tidak?<br />Saya merasakan, kadang ia merindukan kehadiran seseorang, juga anak-anaknya, yang terasa telah hilang dari kehidupannya. Ia begitu kesepian. Kalau saya menatapnya, tampak ada butir-butir kecil di antara cahaya matanya yang redup, Ia selalu bertanya bagaimana kabar Fuad, Zaim, Nur atau saudara saya yang lainnya. Kalau sudah begitu, akhirnya ia akan terdiam.<br />Berhadapan dengan ayah sekarang, seharusnya bukan dendam atau kebencian yang kita tancapkan di dadanya. Tapi, sebuah cahaya cinta, atau belaian dengan ucapan dan hati yang bersih. Tidak lama, ya mungkin tidak lama lagi ia akan pulang kepada Sang Khalik menyusul ibu, dan itu pasti terjadi.<br />Ia kini tidak mampu lagi mengepakkan sayap kegagahannya, atau menghunjamkan cahaya kemarahan kepada siapapun. Yang ia bisa hanya bergumam dalam pergulatan menuju akhir perjalanannya. Ia sudah sangat redup, ia seperti Lelaki Ngungun.<br />* Kata-kata Jallaludin Rumi dalam sebuah karyanya.<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-4711951040140471682010-09-26T20:58:00.000-07:002010-09-26T20:59:44.357-07:00Perempuan yang berenang.................PEREMPUAN YANG BERENANG SAAT BAH <br />Cerpen Isbedy Stiawan ZS <br /><br />Entah dari mana ia tahu kalau aku berada di kota ini. Pagi-pagi sekali, ia menelepon dan mengharap aku menemuinya. Aku sempat kaget ketika penelepon itu menyebut namanya: Shinta Larasati. Kemudian kudengar ucapan syukur bahwa ia selamat saat gempa dan tsunami beberapa hari lalu. "Nta selamat. Juga anak kembarku," lanjutnya dengan tetap menyebut dirinya Nta sebagai sapaan dari namanya. "Meski si kembar masih harus dirawat. Ia banyak meminum air."<br />"Suamimu?" segera kutanya nasib suaminya, Teuku Nurgani, orang Aceh. Dan karena Nurgani, dia dibawa ke kota ini setelah menikah tiga tahun lalu. Shinta tak langsung menjawab. Beberapa kejap terdiam. Aku yakin, gagang teleponnya masih menempel di telinganya. Aku menanti cemas apa yang akan dikatakannya. "Abang tak bisa diselematkan. Ia digulung gelombang besar, dan sampai kini Nta belum menemukannya. Tapi Nta yakin, abang sudah meninggal," jelasnya beberapa kejap kemudian. Terdengar isaknya. <br />"Lalu, kau di mana sekarang?" secepatnya kutanyakan posisinya. Aku tak lagi berpikir apalagi bertanya dari mana ia dapat informasi kalau aku ada di Banda Aceh. Bahkan aku juga tak menceritakan mengapa dan untuk urusan apa aku datang ke kota yang nyaris punah dari peta bumi ini. Kukira, dan ini selalu kukatakan kepada teman-temanku, ini tidaklah begitu penting. Aku datang bukan mengataskan namakan relawan yang acap ditulis secara resmi, juga tak menggunakan suatu lembaga apa pun.<br />Ia menyebut suatu tempat di sekitaran Bandara Blang Bintang. Tak kutanya apakah ia di penampungan para pengungsi ataukah di suatu rumah. Sebab kemudian ia menceritakan detik-detik ia melawan maut. Katanya, ketika semburan gelombang berkekuatan dahsyat, ia berlari kencang menghindar kejaran air. Si kembar didekapnya erat-erat. "Nta tak mau melepaskan salah satu si kembar. Dalam pikiran Nta lebih baik mati bersama, atau kami selamat bertiga," katanya.<br />Shinta bercerita bahwa saat itu yang terpikir hanyalah tempat berlindung. Tetapi, sampai lebih 50 meter ia berlari tak satu pun tempat yang dianggapnya dapat menyelematkannya. Ia terus lari. Sekencangnya. Kedua anaknya-Ranti dan Santi-terguncang-guncang dalam dekapan tangannya. Ia kalah dengan kekuatan lari air. Shinta, demikian ceritanya, sempat tergulung dan berenang dalam air bah sampai ia tertolong tembok yang ternyata adalah dinding sebuah Masjid.<br />Shinta berkata, "Nta naiki tembok masjid itu. Tak berpikir apa-apa, selain ingin selamat. Ingin selamat. Nta memohon diselamatkan Tuhan. Ketika air mulai surut, Nta langsung sujud syukur..."<br />"Suamimu di mana saat itu?"<br />"Abang sedang jalan pagi...," lalu suaranya tersekat. Isaknya kembali <br />kudengar. "Nta tak punya siapa-siapa lagi di sini. Nta takut," ujarnya lagi.<br />Ah! Shinta Larasati. Nama itu kembali akrab di benakku. Padahal sejak Teuku Nurgani menikahinya tiga tahun silam, aku sudah melupakannya. Namanya sudah kuhapus dari memoriku, bahkan seluruh nomor telepon dan alamatnya sudah kubuang dari notesku. Aku tak ingin mengganggu kebahagiaannya. Tak hendak mengusik kehangatan rumah tangganya. Betapa pun ia pernah singgah-bahkan sulit terpisahkan, dari hatiku. Tuhan telah menentukan lain. Cuma tiga bulan perkenalannya dengan Teuku Nurgani, ia pun dilamar. Setelah menikah dibawa ke kampung kelahiran sang suami: menetap hingga bencana itu datang pada Ahad, 26 Desember 2004.<br />Aku sempat putus asa ketika ia mengutarakan hendak menikah. Tetapi, aku tak dapat berbuat apa-apa. Tersebab waktu itu aku memang belum mau berumah tangga. Padahal ia sangat menunggu aku melamarnya. "Nta tak mau persahabatan kita dinodai. Segeralah melamarku, Sat!" "Dengan apa aku melamarmu, Shinta? Modalku belum ada untuk membawamu..." kataku. Meski aku berjanji tetap akan menikahinya. "Aku juga ingin kau menjadi ibu dari anak-anakku." 1) <br />Aku serbasalah. Ia memang terbawa emosi. Gamang ketika banyak temannya sudah berkeluarga. Selain itu, sebagai anak sulung kedua orang tuanya seakan menumpukan harapan padanya. Itu sebabnya, aku relakan ketika Nurgani melamarnya. Aku juga tak datang sewaktu resepsi pernikahannya. Tak sedap membiarkan hatiku yang luka semakin koyak. Undangan dari Shinta kubiarkan tergantung di dinding kamarku, bahkan hingga kini masih ada di sana. Foto Shinta Larasati dan Teuku Nurgani terpajang di halaman muka undangannya. <br />Dan, kalau sampai hari ini aku belum berkeluarga bukan lantaran frustrasi. Hanya aku tak punya semangat berteman khusus dengan lain perempuan. Meski di kantorku banyak yang menggoda. Aku tetap dingin dan hatiku sekeras batu sehingga tak seorang pun dapat memecahkannya. Daniel kerap mencoba untuk mencairkan kebekuan hatiku dengan menewarkan beberapa nama perempuan, namun selalu gagal.<br />"Kau harus realistis, Sat! Usiamu terus bertambah. Apa kau menginginkan perempuan seperti Shinta, mana mungkin kaudapatkan dua orang yang sama persis!" tandas Daniel. "Kalau aku mau, Shinta sudah jadi istriku. Hanya waktu itu aku belum mau berumah tangga," jelasku. Aku tersinggung ketika ia mengira kalau aku memilih hidup seperti ini karena Shinta tidak menikah denganku. Padahal Shinta menikah dengan Teuku Nurgani lantaran aku belum siap melamarnya. "Sekarang modalmu sudah cukup, bukan? Kenapa tidak mencari perempuan lain? Di kantor ini saja kukira banyak yang bisa kaujadikan istrimu, kalau saja kau benar-benar tidak frustrasi pada perempuan," timpal Daniel. <br />Aku tak tergoda oleh ocehannya. Teman-teman perempuan di kantorku hanya kujadikan mitra kerjaku. Pada waktu yang lain kutempatkan mereka sebagai kawan diskusi, ataupun lawan saing demi menyemangati pekerjaan. Awalnya Daniel mengira hatiku mulai mencair, dan suatu saat nanti akan memilih salah satu dari mereka. Perkiraannya meleset. Sampai aku dipromosikan jabatan yang bagus dan pindah ke kota Jk, aku tak juga jatuh hati dengan salah satu dari teman sekantorku. <br />Aku mengemasi barang-barang yang ada di ruang kerjaku, lalu memasukkan ke dalam kotak-kotak kardus yang telah disiapkan. Setelah itu kunaiki ke mobil. Tak banyak cakap. Aku juga jarang menyambut godaan Daniel, terutama soal perempuan. Bahkan ketika ia memberiku setangkup roti yang katanya dari Endah, tanpa kusahut langsung kumasukkan ke dalam mulut. "Ternyata kau hanya lapar makanan, bukan perempuan," Daniel berbisik. Setelah itu aku pamit. Pada Daniel, sahabatku yang sangat dekat di kantorku, juga seluruh karyawan lainnya. Tak ada tangis. Tak perlu mengumbar kesedihan.<br />Aku pikir tak perlu bersedih dalam hidup ini. Meski aku tetap punya rasa haru, begitu menyaksikan orang bersedih. Maka itu, ketika kusaksikan berita gempa dan stunami menewaskan puluhan ribu orang dan menghancurkan Aceh, segera kuputuskan ke kota ini. Aku harus menolong sebisa apa yang ada pada diriku. Setidaknya, dengan keahlian sebagai dokter, aku akan menolong banyak korban yang cedera.<br />Itulah mengapa sore tadi aku sudah tiba di kota ini. Kota yang telah penuh oleh sampah puing dan lumpur hitam, sebuah kota yang nyaris lenyap dari peta. Kota yang kini berserakan mayat di setiap sudut tanahnya. Mayat yang mulai meruap amis. Dan, sejak sore tadi begitu kakiku menjejak Tanah Rencong ini, berkali-kali aku bersitatap dengan orang-orang yang pandangannya kosong. Atau seorang inong2) yang duduk bengong di tengah runtuhan bekas rumahnya. Mungkin ia juga kehilangan keluarganya atau suaminya?<br />Pagi ini seharusnya aku bergabung dengan para relawan yang lain, kalau saja Shinta Larasati tidak meneleponku subuh tadi. Ia berharap sekali aku menemuinya di sekitaran Blang Bintang. Tetapi, aku lupa menanyakan di mana ia menetap. Di penampungan pengungsi ataukah menetap di rumah warga?<br />Aku berjanji menemuinya agak siang. Sebab pagi ini aku harus ke tenda pengungsian dekatku menginap untuk menolong anak-anak yang terserang diare. Shinta merajuk. Ia berharap menemuinya lebih dulu. Akhirnya aku ke Blang Bintang menumpang mobil Palang Merah Indonesia. Kudapati Shinta yang sedang menunggui anak kembarnya. Katanya, "Terima kasih Sat, terima kasih mau melihat Nta."<br />Aku tersenyum. Menatap wajah masai itu. Kedua matanya sembab. Barangkali karena kebanyakan menangis. Aku berkata kemudian, "Sudahlah, sedihnya jangan berlarut-larut. Ikhlaskan yang telah pergi. Suamimu mati syahid, pasti dia telah menantimu di surga."<br />Shinta kembali terisak. Lalu ucapku lagi, "Aku sudah datang kan? Jadi, kau jangan bersedih lagi. Aku segera menolong anakmu." <br />Lalu kubuka tasku. Kuambil obat dan kuserahkan padanya. Kuperiksa tubuh Ranti dan Santi. "Kau tak apa-apa kan? Tak perlu kuperiksa kan?"<br />Ia menggeleng. "Nta sehat. Hanya...."<br />"Jangan berpikir macam-macam, malah nanti kesehatanmu terganggu. Tenanglah. Yang perlu kauperhatikan kesehatan kedua anakmu," aku menasihatinya. Ketika ingin pamit, Shinta seperti keberatan kutinggalkan.<br />"Aku harus menolong yang lain. Kedatanganku ke sini untuk memberi pertolongan, bukan."<br />"Ya Nta maklum. Nta memang tak perlu ditolong. Terima kasih, Sat."<br />"Bukan itu maksudku, Shinta. Sebagai dokter aku harus menolong orang lain juga. Masih banyak korban yang menderita, yang membutuhkan perawatanku. Maafkan aku. Dan sore nanti, setelah tugasku selesai, aku pasti ke sini lagi. Menemuimu. Menemani Ranti dan Santi," janjiku. Segera kutinggalkan Shinta yang memandangku tak berkedip.<br />"Nta mengerti. Kalau banyak tugas, kau tak kemari pun tak apa-apa. Nta bisa mengurus sendiri."<br />"Aduh Shinta... kau marah ya?" kataku. Dan, aku tak mengharapkan reaksinya.<br />Sore ini kutepati janji. Mengunjungi Shinta. Memeriksa keadaan si kembar dan memberinya obat. Ia menerimaku riang. Wajahnya benderang. Seperti ada bintang di paras yang manis itu. Keadaan Ranti dan Santi mulai membaik. Sejak itu aku sering menemuinya setiap sore atau malam.<br />"Nta mau pergi dari sini. Di sini Nta sudah tak punya famili lagi," katanya setelah tiga hari pertemuan kami. "Nta tidak sanggup menetap lama di sini, traumatik. Setiap mendengar suara, seperti suara gemuruh air."<br />"Ke mana?"<br />"Ke rumah Tante Alin di Jakarta. Semalam Nta nelepon, dan tante akan menjemput Nta."<br />"Bagaimana kalau ke rumahku?"<br />Entah kekuatan apa yang membuat kata-kata itu meluncur dari bibirku.<br />Entah mengapa aku begitu lancang (atau malah itu wajar?) mengajaknya ke rumahku, padahal ia belumlah menjadi istriku? Mungkin itu sebagai tanda, cinta kami yang tertunda akan berpaut kembali? Entahlah.<br />Aku cemas. Tertunduk. Aku seperti tengah menanti ia mendampratku karena ucapanku barusan. Menyesal. Aku sudah berbuat kurang ajar pada Shinta, perempuan yang sejak dulu sangat kuhormati. Segera ingin kuralat, meminta maaf kalau aku lancang dan bukan karena sengaja. Namun belum lagi ucapanku keluar, Shinta mendahului dengan ujaran: "Kalau Abang menikahi Nta, bolehlah."<br />Lampung, 17 Januari-4 Februari 2004 <br />1) ucapan Rendra dalam satu puisinya.<br />2) perempuan (bahasa Aceh). <br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-13414496490267977842010-09-26T20:57:00.001-07:002010-09-26T20:57:54.615-07:00Rumah MalamRUMAH MALAM <br />Cerpen Aris Kurniawan <br /><br />Lelucon acara lawak di televisi tak pernah mampu menata perasaannya menjadi sedikit rileks. Dengan gerak malas komputer ia nyalakan. Dan mulai mengetik. Beberapa kalimat. Kegelisahan kembali menyerangnya. Ngiang suara tawa perempuan beberapa malam lalu membuat bulu kuduknya meremang. Sunyi terasa tajam menggores perasaannya yang selengang gudang di belakang rumahnya. Ia segera bangkit. Menyambar kunci, sapu tangan, dompet, ponsel dan buku kecil. Membanting pintu kamar, dan menguncinya.<br />Mendadak tenggorokannya terasa kering. Ia bergerak ke dapur mencari air minum, tapi urung. Dua hari ini galon air kosong. Toko langganannya lupa mengantar pesanannya. Tertegun. Lantas bergegas meneruskan langkahnya ke dapur, memeriksa kompor. Siapa tahu lupa mematikannya setelah tadi ia memasak mie instan. Sifat lupanya sering kambuh jika suasana hatinya dipenuhi ketakutan seperti ini. Konsentrasinya buyar. Tergesa ia ke rak sepatu dan merenggut sandal jepit dari sana, mengenakannya secara serampangan.<br />Dikuncinya pintu. Tertegun beberapa jenak di teras rumah yang berbentuk joglo. Di situ ada satu set kursi. Ia menghenyakkan bokongnya perlahan di kursi. Menyalakan rokok, mengunyah permen, dan membuka-buka majalah untuk meredakan ketakutannya. Ia merasa lebih aman. Jika suara tawa perempuan itu terdengar, ia bisa langsung lari ke jalan. Mungkin secara refleks ia akan berteriak. Di seberang jalan tampak penjual rokok duduk ngobrol dengan orang yang tengah menunggu giliran dicukur. Di sebelah gerobak rokok itu memang terdapat barbershop yang buka sampai jam sepuluh malam.<br />Memandang mereka membuat perasaannya sedikit lega. Tapi jika wajahnya berpaling sedikit, pandangannya segera menumbuk jajaran pohon-pohon besar yang menyembunyikan rumahnya, membuat perasaannya kembali diliputi cemas. Batang-batangnya yang besar dengan daun-daunnya yang rimbun menyerupai gumpalan hitam wajah raksasa yang menyeringai mengerikan. Pada siang hari pohon-pohon itu menyejukkan udara panas. Para pejalan menjadikannya tempat berteduh, atau untuk orang-orang yang mengadang angkot.<br />Di halaman samping rumahnya gerumbul bunga anak nakal terdengar berkeresek. Perlahan-lahan digerakkan lehernya ke sana. Ia terlonjak, dan hampir saja memekik. Seekor kucing tiba-tiba meloncat dari sana. Lantas merangkak dengan sorot mata yang menyeramkan ke arahnya. Ia menahan napas saat kucing itu terus mendekat dan menyentuh-nyentuhkan tubuh ke kakinya. Napasnya sedikit lega, kucing itu tidak berubah membesar dan menerkam dirinya. Ia teringat ucapan seorang kawannya waktu di sekolah dulu, bahwa orang beriman tak merasa takut pada hantu. Waktu itu ia menyahut, beriman pada Tuhan adalah satu hal. Takut pada hantu hal yang lain lagi. Perasaan takut pada hantu bukan berarti tidak beriman pada Tuhan.<br />Hhh, ia mendesah. Jalan di depan rumahnya sudah mulai sepi. Tak ada tukang bakso atau nasi goreng yang lewat. Heran, pada menghilang ke mana mereka. Seandainya mereka lewat ia akan memanggil dan memborong semua dagangannya asal mau menemaninya sampai subuh. Ia yakin mereka pasti bersedia dengan senang hati. Sebab di jaman susah ini belum tentu berkeliling semalaman dagangan mereka habis. Kenapa saat dibutuhkan malah tak ada. Ia mendengus kesal. Kenapa mereka justru lewat dan membikin berisik saat tak diperlukan.<br />Ia ingin beranjak, menyeberang jalan, dan duduk bergabung dengan mereka. Mula-mula ia mungkin berpura-pura beli rokok, bertanya ini itu sebelum kemudian duduk di antara mereka. Tapi ia ragu. Ia tak mengenal penjual rokok itu. Ia memang belum lama tinggal di kompleks perumahan ini. Baru beberapa minggu. Mestinya ia sudah bisa mengenal penjual rokok itu. Mestinya ia tidak perlu terlalu membenci kebiasaan para tetangga yang sangat suka bicara, banyak bertanya. Ia menyesal kenapa begitu tak peduli dengan tetangga sebelah, tak pernah sekadar menyempatkan diri mampir di warung rokok itu. Membeli korek api misalnya.<br />Keinginan seperti itu memang sering muncul, tapi ia merasa kurang punya alasan untuk mampir ke sana. Suaminya bukanlah perokok. Hanya sesekali saja laki-laki itu merokok. Paling banyak sehari tiga batang. Setiap selesai makan. Ia sendiri memang perokok, meski bukan pecandu berat, tapi rokok itu selalu ia beli bersama kebutuhan dapur lain di supermarket. Tapi kalau pun mau, rasanya rumah para tetangga di sini jarang sekali pintunya tampak terbuka. Kecuali pagi menjelang berangkat kerja dan malam sepulang dari kerja. <br />Kemudian ia merutuki kantor suaminya yang mengadakan acara di luar kota selama beberapa hari sehingga ia ditinggal seorang diri. Meski sebelum berangkat laki-laki itu sudah menawarinya untuk ikut. Tapi ia menolak dengan alasan hendak menyelesaikan tulisannya yang seminggu ini belum juga rampung. Suaminya tahu, itu hanya alasan dibuat-buat. Alasan sebenarnya, ia enggan bertemu dengan kawan-kawan suaminya yang datang bersama istri dan anak-anak mereka. Ia enggan bertemu mereka, karena pasti selalu mengobrolkan dan membanggakan anak-anak mereka.<br />"Cuek saja, kenapa sih?" ujar suaminya tahu pikirannya.<br />"Kamu laki-laki, bisa cuek."<br />Suara tawa perempuan itu mengiang lagi di telinganya. Suara tawa yang terdengar sayup-sayup, namun terasa begitu dekat dan membuatnya merinding. Beberapa malam lalu ia mendengar tawa itu. Suara tawa namun terdengar menyakitkan. Kalau tidak salah dua minggu setelah ia dan suaminya menempati rumah ini. Bukan hanya ia, malam itu suaminya pun mendengarnya. Konon rumah ini dulunya rumah orang China yang dijarah dan diperkosa. Ia memang seorang pengarang yang biasa berpikir rasional sekaligus imajinatif. Justru karena itulah pengalaman itu tak urung membuatnya merinding.<br />"Suara tawa yang menyayat," ujarnya.<br />"Seperti tangis," timpal suaminya. <br />"Mungkin hantu perempuan yang diperkosa itu." Lantas mereka berpelukan lebih erat lagi.<br />Detik demi detik bergerak begitu cepat. Jam digital di layar ponselnya sudah menunjukkan angka 21.00. Penjual rokok di seberang jalan sana masih asyik ngobrol, sesekali diselingi tawa. Penjual rokok itu ngobrol dengan orang yang baru datang, yang tadi sudah masuk dan sedang dicukur. Satu jam lagi barbershop itu tutup, disusul warung rokok itu. Jalan akan semakin sepi. Apalagi jika hujan. Dadanya makin bergemuruh melihat langit tak menyisakan sebiji pun bintang.<br />Mestinya ia mengikuti saran suaminya: cuek saja mendengar obrolan istri kawan-kawannya. Sekarang tidak mungkin dia meminta suaminya pulang. Karena, acara puncaknya justru baru dimulai besok. Suaminya paling cepat bisa meninggalkan acara itu pada tengah hari besok. Lebih tidak mungkin lagi jika ia menyusul laki-laki itu.<br />"Salah siapa? Aku kan sudah ngajak," ujar suaminya lewat telpon.<br />"Gimana dong, aku takut sekali."<br />"Takut, apa sih?" <br />"Suara tawa itu." <br />"Ah, pengarang masa takut. Ajak ngobrol aja," goda suaminya.<br />"Aku benar-benar takut, Fred."<br />"Kamu sih nggak mau denger saranku."<br />"Aduh, jadi gimana?"<br />Telepon terputus. Pulsa habis. Ia makin gelisah dan begitu cemas. Otaknya seperti disusupi kawanan semut rangrang. Ia merasa tak punya jalan keluar dari masalah yang dihadapinya kini. Suara tawa itu, sungguh ia tak mau mendengarnya seorang diri. Ia bangkit, dan mondar-mandir berupaya meredam perasaan takut yang makin merasuki benaknya.<br />Ia berharap penjual rokok di seberang jalan itu melihat dan menghampirinya. Ia tahu hal itu tak mungkin terjadi. Penjual rokok itu tak mungkin dapat memperhatikan dirinya. Jajaran pohon yang memagari rumahnya itu pastilah menghalangi pandangan orang dari luar. Angin bertiup menggoyang-goyang daunan terdengar. Kemudian suara air sungai di belakang rumah.<br />Ia tak habis pikir kenapa dulu suaminya setuju saja dengan pendapatnya memilih rumah di dekat sungai. Bukankah sungai memudahkan perampok menghapus jejak kejahatan yang dilakukannya? Ia teringat pembunuhan yang dilakukan perampok dengan mengikat korbannya, kemudian tali tadi dibanduli batu besar dan dicemplungkan ke dasar sungai.<br />Aku harus pergi, gumamnya. Tapi kemudian ia bingung, hendak pergi ke mana. Ia tidak punya kenalan apalagi saudara di kota ini. Suaminya baru satu bulan dimutasikan dari kantor pusat ke kota kecil ini. Kenapa pula suaminya mau saja dimutasikan. Ah, ia tak peduli, pokoknya harus pergi.<br />Ia harus keluar dari kompleks perumahan itu menuju jalan besar, mencari taksi. Ia akan minta sopir taksi berputar-putar mengelilingi kota sampai subuh. Toh ia bisa mengambil tabungannya di ATM. Bukankah itu bermanfaat untuk sekalian mengenal lorong-lorong kota kecil ini. Tapi, kemudian terbayang jika di tengah jalan ia justru diperkosa, dibunuh dan lantas mayatnya dibuang ke sungai. <br />Di seberang jalan penjual rokok tampak duduk sendirian, mengisap rokoknya dengan nikmat. Asap putih tebal menutupi mukanya. Masih ada satu orang yang sedang dicukur di barbershop itu. Muncul ide untuk memotong rambutnya di barbershop itu, supaya mendapat alasan ngobrol dengan mereka. Ia berharap mereka menolak dengan alasan salon khusus pria. Tapi jika mereka tak mau menolak rejeki?<br />Ia meraba rambutnya yang panjang sepunggung. Rambut yang sering menerbitkan pujian suaminya. Biarlah kukorbankan rambut ini, pikirnya. Suaminya pasti bisa menerima penjelasannya, kalau laki-laki itu nanti bertanya. Toh laki-laki itu sangat bijak dan dewasa.<br />Tapi, keraguan lagi-lagi menyerang benaknya. Ia khawatir tindakannya memotong rambut dapat membuat suaminya berpaling. Di depannya laki-laki itu bisa saja memahami alasan ia memangkas rambutnya. Tapi siapa yang bisa menjamin kekecewaan suaminya tak dilampiaskan dengan cara mencari perempuan lain yang berambut panjang? Ia tahu laki-laki itu menyukai perempuan berambut panjang. Tak tahu kenapa, barangkali perempuan rambut panjang lebih memunculkan kesan keibuan. Atau bisa jadi enak buat bergayutan saat bercinta.<br />Ia menghela napas berat. Cahaya bolham memantulkan bayangannya yang kaku di tembok. Menit demi menit terus bergerak begitu cepat. Barbershop itu telah bersiap-siap tutup. Bahkan seorang pekerjanya telah lebih dulu pulang dijemut motor. Akhirnya tekadnya mantap untuk mendatangi saja penjual rokok itu. Ia sudah menyiapkan apa-apa saja yang akan dilakukannya. Mula-mula ia akan membeli rokok, lalu ngobrol.<br />Setelah agak akrab ia akan meminta tolong laki-laki itu supaya tak usah menutup warungnya sampai pagi untuk menemaninya. Ia bahkan bersedia membayar mahal. Kalau perlu ia akan mengajak penjual rokok itu ke rumahnya. Sekadar menemani ngobrol barangkali tak apa-apa. Ia adalah perempuan setia, tak akan mungkin mengkhianati suaminya. Jika tiba-tiba laki-laki itu memaksanya, di dapur ia punya pisau yang cukup tajam.<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-61040850623218815822010-09-26T20:53:00.000-07:002010-09-26T20:55:42.618-07:00Sunyi MatiSUNYI MATI <br />Cerpen Yudhistira ANM Massardi <br /><br />Tak lama setelah bumi bergetar, aku bergegas ke luar dari sebuah bangunan pertokoan. Beberapa saat kemudian, bersama sejumlah toko lain, gedung tempat aku berada tadi, ambruk menimbulkan suara debum. Abu beterbangan ke udara. Orang-orang berlarian sambil menjerit-jerit dan menangis. Sekumpulan orang kemudian memanjatkan doa di tengah jalan.<br />Aku terengah-engah dan bergidik. Aku menghela nafas. Keringat dingin keluar dari seluruh pori-pori kulitku. Aku pun segera mengucapkan rasa syukur karena bisa mendapatkan waktu beberapa detik untuk menyelamatkan diri dari bencana tertimpa reruntuk bangunan.<br />Dengan nafas terasa sesak, aku nanar memandang suasana sekitar. Di tengah abu dan isak-tangis, aku mendadak merasa seperti orang asing di kota itu. Segalanya seperti menggumpal, lalu meletup, melontarkan segala sesuatu ke udara, dan melayang-layang, mengambang.<br />Aku tak ingat apa-apa lagi. Aku tak tahu harus pergi ke mana. Beberapa saat lamanya aku bengong, sampai kemudian pandanganku terarah ke langit kosong.<br />"Air! Air!" Ratusan orang tiba-tiba berteriak-teriak sambil berlari ketakutan. <br />Mendengar itu, aku terhenyak. Tetapi, aku justru merasa semakin tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya, air laut datang bergemuruh, dari segala arah, mengempaskan semua penghalang. Ketika itulah, aku merasa tubuhku terlempar, dan terisap ke dalam suatu pusaran yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku terisap ke dalam suatu medan hampa yang sangat sunyi. Sunyi mati. Tak terdengar suara apa pun. Lengang. Senyap.<br />Seluruh pemandangan di sekitarku, mendadak hilang warna. Gelombang air yang dengan derasnya menghanyutkan lumpur, puing-puing rumah, hewan, manusia, kendaraan, dan pepohonan, juga orang-orang yang mencoba berlari menyelamatkan diri ke ketinggian, semuanya tampak kehilangan dimensi. Kehilangan ruang dan waktu. Semuanya berubah, menjadi seperti gambar di layar gedung bioskop. Menjadi hitam-putih. Menjadi tanpa suara, bagaikan film bisu tahun 30-an. Semua citra yang tampak di layar besar itu pun bergerak dengan sangat lambat, bagai adegan slow motion.<br />Aku pun kehilangan kontrol terhadap seluruh anggota tubuhku. Aku tak mampu menggerakkan tangan dan kaki. Aku seperti terpaku dan gagu. Juga seperti patung kapas yang mengambang tak jelas. Pikiran dan perasaanku juga berhenti bereaksi. Aku hanya merasa begitu sunyi. Sangat sunyi. Nafasku pun seperti tak ada. Dan aku tidak mencium bau apa pun. Kehidupan seperti berhenti berdenyut. Terisap ke dalam senyap.<br />Tetapi, aku masih bisa melihat. Aku sekonyong-konyong melihat sosok-sosok seperti gumpalan-gumpalan awan tipis, turun dengan cepat ke bumi. Ribuan gumpalan awan tipis itu, di seluruh bagian tepinya, berpendar cahaya lembut. Seperti cahaya lampu para nelayan di tengah laut. Semuanya melayang dengan ringan, beriring-iringan bagai barisan putih tanpa akhir, mengikuti irama tanpa nada. Mereka berarak bersama, dari segala arah, menuju semua penjuru.<br />Aku tak tahu, apa gerangan yang kusaksikan. Aku tidak memiliki sedikit pun kenangan mengenai hal yang menyerupai itu. Semuanya begitu asing. Tetapi, pemandangan itu, luar biasa indahnya. Keindahan yang tak pernah kusaksikan seumur hidupku. Pemandangan dari jendela pesawat terbang tatkala mengarungi lautan awan di angkasa, masih jauh dari kesetaraan.<br />Bahkan, itu sama sekali tak bisa dibandingkan dengan yang kini terbentang di hadapanku. Itu bagaikan gumpalan beribu gema, nada, dan mungkin juga doa. Semuanya mewujud berupa awan tipis yang melayang ringan, membiaskan sinar putih bagai lampu neon yang pipih, sepipih pedang lentur.<br />Aku tak tahu, berapa lama semua itu berlangsung. Sebab, waktu juga tak ada jejaknya. Arloji di tanganku bukan hanya kehilangan dimensi, melainkan..., ya, seperti juga seluruh tubuhku, telah terurai menjadi butir-butir, ribuan, bahkan jutaan elektron, proton, oksigen, hidrogen. Menjadi satu gugusan massa tanpa isi, tanpa bobot, hilang bentuk!<br />Tetapi, aku tetap masih bisa melihat. Aku melihat gelombang sosok-sosok awan tipis bercahaya itu terus melayang, ke semua arah, dari semua arah. Ah, apakah masih ada arah? Aku tak tahu! Yang pasti..., ah, apatah pula yang pasti, bila segala sesuatu sudah hilang bentuk, hilang waktu, selain menjadi nisbi, menjadi butir-butir cahaya tak terperi?<br />Ya, aku melihat, pemandangan berikutnya yang jauh lebih spektakuler! Aku melihat, orkestra awan tipis bercahaya itu kemudian berbalik arah, dari segala arah, ke segala arah..., aduh, alangkah sulitnya melepaskan pikiran dari ukuran-ukuran dan mata angin yang tanpa guna itu! Aku melihat sebuah arus balik, sebuah perputaran..., astagafirullah, itu bagaikan lingkaran berjuta massa yang sedang bertawaf di sekeliling Kabah! Beribu-ribu gumpalan awan tipis berpendar cahaya, bertawaf! Semakin lama semakin banyak, semakin banyak, semakin banyak...! Semakin terang-benderang, semakin berkilauan. Bagaikan teater cahaya di pentas amat luas!<br />Sementara itu, nun jauh di belakang sana, pada latar belakang -- pada layar monitor raksasa bagai di venu pertunjukan musik rock -- yang menayangkan film bisu dalam gerak lambat tadi, kulihat ribuan orang menggapai-gapai, menggerakkan kedua tangan mereka ke angkasa, dengan mulut terbuka seperti menyerukan sesuatu... Menyerukan sesuatu seperti.<br />"Allahu Akbar! Allahu Akbar!"<br />"Bersujudlah kamu! Bersujuuud!"<br />Mereka kemudian bersujud. Beribu-ribu manusia tanpa dimensi di layar bioskop, semua tersuruk, semua menyurukkan wajahnya ke bumi, mencium bumi yang terbenam lumpur.<br />"La ilaha ilallah!"<br />"Bersujudlah kamu! Bersujuuud!"<br />Aku pun, tanpa terasa, segera menyurukkan wajahku. Tetapi aku sudah kehilangan wujudku, sudah kehilangan bumiku. Aku tak tahu telah menjadi apa dan berada di mana. Aku tersuruk dan terbenam ke dalam gugusan awan tipis yang berpendar cahaya.<br />Di layar itu, sekilas aku juga melihat Najwa menangis. Aku juga melihat..., ah, apakah masih ada artinya semua yang aku lihat itu dibandingkan dengan keindahan teater cahaya yang menakjubkan ini? <br />Ah, tetapi aku juga melihat dia, ya, dia! Aku juga melihat mereka! Ayahku, ibuku, kakak-kakakku, adik-adikku! Ya, aku juga melihat anak-anakku! Mereka melambai-lambaikan tangan ke arahku, menyebut-nyebut namaku, dalam tangis, dengan wajah penuh luka dan airmata.<br />"Ayah! Ayaaah!"<br />"Anakkuuu!"<br />Aku tak kuasa menahan perasaanku. Dadaku penuh. Menggelegak. Aku pun menangis dengan keras. Butiran-butiran hidrogen mengucur membasahi wajahku yang transparan.<br />"Ya, Allah, di mana aku sekarang.?!"<br />Belum lagi aku memperoleh jawaban, seluruh pemandangan itu tiba-tiba lenyap. Suasana gelap gulita. Tubuhku tersentak dengan hebat. Kemudian, aku merasa seperti terlempar kembali, dengan rasa sakit luar biasa. Aku terlempar dari sebuah kehampaan menuju sebuah tempat lain yang keras. Terlempar ke tempat yang sangat bising. Kedua telingaku sakit sekali. Udara di sekelilingku mendadak seperti tumpah berdesak-desakkan. Semua memasuki hidungku dengan paksa, lalu menembus ke dalam dadaku, lalu menerobos ke dalam batok kepalaku. Lalu, hidungku mencium bau obat-obatan, bau amis, bau busuk.<br />"Ya, Allah, di mana mereka sekarang?!<br />Jakarta, Januari 2005<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-69864800014590934192010-09-26T20:49:00.001-07:002010-09-26T20:53:41.607-07:00Tarian......<meta equiv="Content-Type" content="text/html; charset=utf-8"><meta name="ProgId" content="Word.Document"><meta name="Generator" content="Microsoft Word 12"><meta name="Originator" content="Microsoft Word 12"><link rel="File-List" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_filelist.xml"><link rel="themeData" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_themedata.thmx"><link rel="colorSchemeMapping" href="file:///C:%5CDOCUME%7E1%5Cuser%5CLOCALS%7E1%5CTemp%5Cmsohtmlclip1%5C01%5Cclip_colorschememapping.xml"><!--[if gte mso 9]><xml> <w:worddocument> <w:view>Normal</w:View> <w:zoom>0</w:Zoom> <w:trackmoves/> <w:trackformatting/> <w:punctuationkerning/> <w:validateagainstschemas/> <w:saveifxmlinvalid>false</w:SaveIfXMLInvalid> <w:ignoremixedcontent>false</w:IgnoreMixedContent> <w:alwaysshowplaceholdertext>false</w:AlwaysShowPlaceholderText> <w:donotpromoteqf/> <w:lidthemeother>EN-US</w:LidThemeOther> <w:lidthemeasian>X-NONE</w:LidThemeAsian> <w:lidthemecomplexscript>X-NONE</w:LidThemeComplexScript> <w:compatibility> <w:breakwrappedtables/> <w:snaptogridincell/> <w:wraptextwithpunct/> <w:useasianbreakrules/> <w:dontgrowautofit/> <w:splitpgbreakandparamark/> <w:dontvertaligncellwithsp/> <w:dontbreakconstrainedforcedtables/> <w:dontvertalignintxbx/> <w:word11kerningpairs/> <w:cachedcolbalance/> </w:Compatibility> <w:browserlevel>MicrosoftInternetExplorer4</w:BrowserLevel> <m:mathpr> <m:mathfont val="Cambria Math"> <m:brkbin val="before"> <m:brkbinsub val="--"> <m:smallfrac val="off"> <m:dispdef/> <m:lmargin val="0"> <m:rmargin val="0"> <m:defjc val="centerGroup"> <m:wrapindent val="1440"> <m:intlim val="subSup"> <m:narylim val="undOvr"> </m:mathPr></w:WordDocument> </xml><![endif]--><!--[if gte mso 9]><xml> <w:latentstyles deflockedstate="false" defunhidewhenused="true" defsemihidden="true" defqformat="false" defpriority="99" latentstylecount="267"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Normal"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="heading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="9" qformat="true" name="heading 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 7"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 8"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" name="toc 9"> <w:lsdexception locked="false" priority="35" qformat="true" name="caption"> <w:lsdexception locked="false" priority="10" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" name="Default Paragraph Font"> <w:lsdexception locked="false" priority="11" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtitle"> <w:lsdexception locked="false" priority="22" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Strong"> <w:lsdexception locked="false" priority="20" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="0" name="Normal (Web)"> <w:lsdexception locked="false" priority="59" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Table Grid"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Placeholder Text"> <w:lsdexception locked="false" priority="1" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="No Spacing"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" unhidewhenused="false" name="Revision"> <w:lsdexception locked="false" priority="34" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="List Paragraph"> <w:lsdexception locked="false" priority="29" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="30" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Quote"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 1"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 2"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 3"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 4"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 5"> <w:lsdexception locked="false" priority="60" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="61" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="62" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Light Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="63" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="64" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Shading 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="65" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="66" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium List 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="67" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 1 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="68" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 2 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="69" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Medium Grid 3 Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="70" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Dark List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="71" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Shading Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="72" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful List Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="73" semihidden="false" unhidewhenused="false" name="Colorful Grid Accent 6"> <w:lsdexception locked="false" priority="19" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="21" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Emphasis"> <w:lsdexception locked="false" priority="31" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Subtle Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="32" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Intense Reference"> <w:lsdexception locked="false" priority="33" semihidden="false" unhidewhenused="false" qformat="true" name="Book Title"> <w:lsdexception locked="false" priority="37" name="Bibliography"> <w:lsdexception locked="false" priority="39" qformat="true" name="TOC Heading"> </w:LatentStyles> </xml><![endif]--><style> <!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:-1610611985 1107304683 0 0 159 0;} @font-face {font-family:"Bookman Old Style"; panose-1:2 5 6 4 5 5 5 2 2 4; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin:0in; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:IN;} p {mso-style-unhide:no; mso-margin-top-alt:auto; margin-right:0in; mso-margin-bottom-alt:auto; margin-left:0in; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman";} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt;} @page Section1 {size:8.5in 11.0in; margin:1.0in 1.25in 1.0in 1.25in; mso-header-margin:.5in; mso-footer-margin:.5in; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> </style><!--[if gte mso 10]> <style> /* Style Definitions */ table.MsoNormalTable {mso-style-name:"Table Normal"; mso-tstyle-rowband-size:0; mso-tstyle-colband-size:0; mso-style-noshow:yes; mso-style-priority:99; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; mso-padding-alt:0in 5.4pt 0in 5.4pt; mso-para-margin:0in; mso-para-margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif";} </style> <![endif]--> <p class="MsoNormal" style="margin-bottom: 12pt;"><b><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;" lang="IN">Tarian dari Langit </span></b><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif";" lang="IN">
<br /></span><b><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;" lang="IN">Cerpen Khairul Jasmi </span></b><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif";" lang="IN">
<br /> <!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<br /> <!--[endif]--></span><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Budiman duduk termenung.
<br />Kalau saja ia sempat memegang tangan adiknya itu, mungkin Cut Rani, masih hidup. Tapi tidak, air laut telah merenggutkan semua anggota keluarganya. Pagi itu, 26 Desember 2004. Sejarah amat buruk menerjang Aceh.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Pagi cerah, sedikit berawan di langit Aceh. Seperti biasa, jarum jam bergerak teratur. Burung berkicau, ombak di pantai menghempas jinak. Anak-anak telah bangun. Tanpa jam. Yang lain, terlelap di ayunan. Masa depan yang buruk segera dimulai, tanpa orang Aceh dapat menolaknya. Di sejumlah desa dilangsungkan pesta perkawinan. Di tempat lain, orang bergegas ke sawah atau ke ladang. Di kota-kota penduduk bermalas-malasan di pagi itu.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Lantas, bumi pun rengkah. Gempa dangkal dan kuat telah terjadi tidak jauh dari Meulabuh. Lalu air laut mengamuk, membawa magma dari dasar laut. Melanyau seisi negeri. Ratusan ribu orang tewas seketika.
<br />Kepiluan lalu terbentang panjang.
<br />Budiman masih hidup.
<br />Ia ingat adiknya, Cut Rani. Mayatnya tidak ditemukan. Juga tidak mayat ayah bundanya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Budiman memegang foto adiknya yang disisakan oleh bencana. Cut adalah adik semata wayang. Cinta pada adiknya tak terbeli oleh apa pun jua. Budiman masih ingat, ketika sepekan menjelang musibah, Cut Rani merenggek minta ditemani untuk tampil menari di Banda Aceh.
<br />Dan saat Cut Rani tampil, Budiman serasa memiliki seorang adik, seorang bidadari.
<br />Malam itu:<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Ruangan menjadi gelap. Lalu biang cahaya menusuk lembut ke kain putih yang jadi latar belakang pentas. Kain putih itu 'beriak' kecil.
<br />"Assalamualaikum". Beberapa detik kemudian tari Poh Kipah dimulai. Cut Rani meliuk, ia seperti memegang keempat sudut pentas. Ia berlari, ia memainkan bola matanya.
<br />Ketika Cut Rani mulai melentikan jemarinya, ketika hentak kaki menghantam lantai pentas, sepertinya saat itu, gerakannya sedang membawa ruh dari <i>meunasah</i> tua ke sisi tempat duduk para penonton. Ada 27 orang penari yang masuk silih berganti. Tapi, Cut Rani malam itu bagai penari tunggal.
<br />Gadis siswi SMA kelas satu itu benar-benar menguasai gerakan tari yang ia bawakan. Memang sebelum tampil ia berbisik pada kakaknya. "Tari ini untuk kakak," katanya.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Poh Kipah yang berarti tarian kipas, sesungguhnya hanyalah tarian biasa, paut-memaut keseharian anak muda. Tapi, karena ini Aceh, maka tari itu berangkat dari <i>meunasah</i> (surau), sebuah institusi paling kokoh dalam menyemai pengetahuan agama (Islam) kepada anak negeri di Aceh. Nuansa Islam memang kental dalam tarian Pok Kipah ini. Suara pekikan, hentakan kaki yang kuat, keriangan dan kelincahan, benar-benar menjadi kunci suksesnya tari ini.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Begitulah empat orang penari wanita memasuki pentas. Di belakangnya telah duduk para pemain musik tradisi berupa <i>serune kale, rapai</i> dan gendang. Seorang wanita duduk bersimpuh di antara pemusik. Ia mendendangkan syair-syair tradisional. Tentunya bernafaskan Islam. Suasana mulai terasa makin riang, ketika 10 orang penari wanita kembali masuk. Ada kipas di tangannya. Kipas itu, membawa bebunyian yang indah, ditingkah dentum kaki pada lantai pentas dan tepuk tangan yang cepat, ligat dan seirama.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Pada akhirnya, penari tersisih menjadi tiga kelompok. Pada kiri kanan masing-masingnya delapan orang dan di tengah 11 orang penari. Sebenarnya di sanalah pesan itu mulai sempurna. Pesan tarian dari Aceh: mari bergotong-royong dalam keriangan. Mari bersatu dan kesatuan merupakan keindahan yang sungguh memukau. Kesatuan gerak, kesatuan sikap, kesatuan penampilan dan kesatuan hati, menghasilkan sebuah tari yang indah.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Tari Poh Kipah pada awalnya tari ini hanya dimainkan lelaki dan hanya di maunasah saat peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW. Namun kini, tarian itu, bergerak dari <i>maunasah</i> lantas (hendak) memberi kabar ke seluruh penjuru bahwa Aceh sesungguhhnya adalah keringan, bukan permusuhan apalagi kematian. Jika dulu geraknya hanya sederhana, kini diperkaya. Tapi tetap berpagut pada akar tradisi.
<br />Memang malam itu, penari tampil paripurna. Apalagi Cut Rani.
<br />Tapi, murai kecil itu telah pergi. Atau Cut Rani adalah burung kelana yang belum sempat berkenala. Saat sayap akan dikepak, nestapa merenggutkan segalanya<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Budiman duduk termenung. Ia terkenang keluarganya. Ia teringat semuanya. Cut Rani, kini serasa berada di depan Budiman. Ia sedang menari. Tapi bukan tari Poh Kipah lagi. Melainkan tarian aneh. Mungkin tarian dari sorga. Cut Rani menari di atas awam yang merendah. Ia melekatkan cindai di pinggangnya. Di sisi Cut Rani, seorang penari lelaki <i>nan jombang</i> terlihat mengiringi ketukan kaki Rani pada lantai berpermadi merah.
<br />Tak lama kemudian Rani seperti terbang ke langit yang berlapis. Mata Budiman melihat dengan jelas, Rani sedang berada di langit lapis keempat. Ia disambut seorang Nabi. Lantas Sang Nabi menepuk-nepuk pundaknya. Rani kemudian melesat kencang kembali ke bumi. Ke Tanah Aceh, ke dekat Budiman sedang duduk.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">"Kakak." Ia menyapa.
<br />Budiman gelagapan. Adiknya, menyapanya dengan suara lain. Suara itu seperti dipesan dari sorga.
<br />Budiman telah mengenal sorga. Paling tidak dari cerita nabi-nabi yang dituturkan ibunya. Di sorga mengalir sungai yang airnya dari susu dan madu. Buah tumbuh lebat di mana-mana. Dipetik seketika, tumbuh lagi seketika. Di sorga bidadari ada di mana-mana.
<br />Dan kini, adiknya jadi bidadari. Menari di hadapannya. Cut Rani terlihat lebih cantik, lebih putih dan jernih. Pakaiannya alangkah indahnya, tak tertandingi oleh pakaian siapa pun di dunia.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Tak lama kemudian muncul pula ibu dan ayahnya. Orang tuanya itu, memakai pakaian yang indah pula. Memanggil namanya. Keduanya kemudian mendekat dan mencium kening Budiman.
<br />Budiman menangis. Air matanya jatuh ke tanah.
<br />Ia ingin berbicara dengan orang tua dan adiknya. Tapi, lidahnya kelu. Ia ingin menggerakkan tangannya. Tapi tangan itu terasa amatlah beratnya. Ayahnya kemudian berbicara. Suara ayahnya menggema ke seluruh pelosok negeri.
<br />Kata sang ayah:<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">"Nak, Naggroe Aceh Darussalam adalah sebuah daerah yang unik. Penduduknya dikenal paling gigih menentang penjajahan Belanda. Sepanjang sejarah kolonialisme Belanda di Hindia Belanda, hanya untuk Acehlah, diperlukan seorang penasehat ahli khusus bernama Snouck Hurgronje. Orang ini dibebani tugas khusus untuk mempelajari seluk-beluk Aceh, tentang kebiasaannya, adat dan terutama tentang Islam dan pemahaman orang Aceh atas agama tersebut. Pemikir kapir itu kemudian ternyata berhasil menemukan 'kunci sukses' untuk menaklukan Aceh.
<br />Aceh baru benar-benar bisa ditaklukkan Belanda setelah 1900-an. Bahkan sampai 1942, rakyat Aceh terus mengganyang Belanda. Karena itu, kalau disebut-sebut Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun, tidaklah benar, sebab ada bagian dari negeri ini, yang sulit disentuh Belanda.
<br />Itu pun setelah perang hebat yang dikenal dengan Perang Aceh 1983-1904. Perang yang amat melelahkan itu benar-benar membuat Belanda hampir putus asa. Entah berapa banyak serdadu Belanda tewas di tangan pejuang Aceh. Perang hebat itu kemudian melahirkan sejumlah pahlawan Tanah Rencong: Teuku Umar, Cut Nya Dien, Panglima Polim dan sederatan nama lainnya. <o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Setelah kemerdekaan, Aceh menyumbang sebuah pesawat terbang bagi Indonesia. Pesawat pertama milik negara itu dibeli orang Aceh dengan uangnya sendiri. Berbagai upaya telah dilakukan untuk 'membujuk' Aceh. Pada tahun 1959, pemerintah memberikan status 'Daerah Istimewa' bagi provinsi itu. Rakyat Indonesia menyapa Aceh dengan sebutan, 'Serambi Mekah', atau 'Tanah Rencong'.
<br />Sebutan Serambi Mekah sesungguhnya melekat pada Aceh karena Aceh merupakan pintu gerbang bagi rakyat Indonesia tempo doeloe untuk pergi ke Mekah guna menunaikan ibadah haji. Jemaah haji di Indonesia menjadikan Aceh sebagai tempat persinggahan mereka sebelum dan setelah kembali dari Mekah. Bahkan tidak jarang dari mereka menetap dulu di Aceh guna memperdalam ilmu agama, untuk kemudian baru kembali ke kampung masing-masing. Orang dulu naik haji selain menunaikan rukun Islam kelima, juga untuk menuntut ilmu agama.<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Musibah Aceh adalah hukuman bagi Indonesia, bukan untuk Aceh, meski orang lain menyebutnya peringatan.Tapi ayah sudah bicara dengan Tuhan, ini adalah hukuman untuk Indonesia, negerimu!
<br />Ketahuilah Nak, sejak 1511 sejak Melaka jatuh, sejak Islam meluas bermula dari Aceh hingga 2004, terpaut masa selama 493 tahun. Selama ini pula Aceh hanya memberi pada Indonesia, tapi tidak pernah menerima. Yang mereka terima terakhir hanyalah sebuah basa-basi belaka. Juga pembantaian demi pembantaian."<o:p></o:p></span></p> <p><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Suara itu berhenti. Hilang. Yang terlihat hanyalah Cut Rani. Gadis itu kembali menari Poh Kipah. Menari dan menari. Lalu dalam liukan terakhir, Cut Rani hilang entah kemana. Mungkin ia kembali ke sorga.
<br />Budiman tersentak dari lamunannya.
<br />Matanya terbelalak, yang terlihat hanyalah negeri yang rusak binasa, Sesayup-sayup mata memandang yang terlihat hanyalah kebinasaan yang tak terpermanai.
<br />Budiman menangis. Sebuah tangis tanpa air mata.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="line-height: 115%;"><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;" lang="IN">(</span><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;">Cerpen dari Harian Republika</span><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif"; color: black;" lang="IN"> )</span><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif";" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Bookman Old Style","serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-7122503496077755431.post-91167188494958048682010-09-26T20:45:00.000-07:002010-09-26T20:49:39.342-07:00Ulat - ulatULAT-ULAT PADA KEMATIANKU<br />Cerpen M Irfan Hidayatullah<br /><br />Lalu pagi itu terlewati. Lalu siang itu terlewati. Lalu malam itu terlewati. Lalu pagi lagi. Aku hanya bisa termanggu menunggui tubuhku. Dan aku tak seperti biasanya lagi. Aku tak dirundung lapar dan haus. Aku telah bebas. Aku bahkan tidak merasakan lagi nuansa mewah kamarku. Karpet tebal penutup lantai. Ranjang kayu jati. Spring bed keluaran terbaru. Bed cover bermotif bendera Juventus. AC pintar plus mutakhir. Poster-poster pemusik hip-hop metal. Komputer dengan segudang game. TV platron 25 inc. Lampu tidur yang bercaping. Dan kamar mandi yang harum terawat.<br />Perasaanku telah lain. Aku seperti hampa. Aku mungkin telah berpindah wujud dari segumpal darah, sejumput daging dan sebongkah tulang menjadi udara. Dan, aku tak merasakan sejuknya udara karena aku udara, tepatnya mewujud udara. AC di kamarku telah hanya sekadar benda yang tak punya arti apa-apa. Kehampaan ini bagai sebuah wilayah yang tanpa batas, seperti tanpa sekat, seperti suasana tengah laut, atau seperti di tengah gurun, atau bahkan seperti di langit yang setelah kusampai di sana ditinggalkan biru, lazuardi.<br />Namun, aku tak bisa bergerak. Aku hanya termangu melihat tubuhku tak bergerak. Namun, aku juga tidak tahu pada apa kini berada. Aku seolah menyatu dengan ruang, tak bertubuh. Dan, aku tak membayangkan ini sebelumnya. Bahkan, sepertinya memoriku hilang. Aku tak punya sejarah lagi. Satu yang kutahu adalah bahwa yang tergolek itu adalah tubuhku. Dan, tubuh di sampingnya adalah tubuh entah.<br />Kadang aku merasa ada pada tubuh asalku, kadang pada ranjang itu, kadang pada lampu tidur itu, kadang pada AC itu, atau kadang aku tak di mana-mana. Ini rumit, pikirku.<br />Telah ruhkah aku? Telah mayatkah tubuhku? Lalu kenapa aku masih di sini? Kenapa aku tak beranjak perpindah alam, ke dunia lain? Atau inikah dunia lain itu? Tak mungkin. Aku masih merasakan wujud dunia walau aku tak bisa menyetubuhinya. Aku tertegun, tepatnya merasa tertegun. Aku tak mempunyai gestur lagi saat ini. Yang kupunya hanyalah entah apa. Mungkin hakikat segala sesuatu.<br />Tiba-tiba tubuhku bergerak. Namun, gerakannya aneh sekali seperti gerakan mundur. Memutar ulang. Begitu cepat. Sepertinya ada wujud lain yang menekan tombol replay. Sampai pada satu titik peristiwa. Saat tubuhku baru masuk ke kamar itu.<br />"Naah. Inilah kamarku, Sayang."<br />"Oh, ya? Bagus juga."<br />"Kita santai saja. Semuaku sedang ngak ada."<br />"Semuamu?"<br />"Ya, ibuku, ayahku, adikku, bahkan pembantuku."<br />"Oh, lalu yang tadi?"<br />"Ya, itu memang pembantuku, tapi kuanggap tak ada. Dia takkan bicara apa-apa. Dia saksi bisu."<br />"Tapi kamu harus hati-hati, Sayang."<br />"Tenang saja. Ia telah kubungkam dengan uang. Dia manusia juga. Butuh segalanya."<br />"Seperti kita?"<br />"Ya, seperti kita yang butuh kamar ini. Butuh kebebasan. Tempat saat hanya kita yang ada. Tak ada keluarga, teman, dan masyarakat yang selalu menghakimi dengan alasan dogma-dogma."<br />"Kalau begitu, ayo...."<br />"Nanti dulu, Sayang. Kita akan lakukan semuanya dengan sempurna. Jangan tergesa-gesa. Kita nikmati semuanya dengan sebuah rasa yang terjaga. Detik-detik kita jangan sampai terbuang karena nafsu yang menggelora. Kita harus menikmatinya seperti aliran air di sebuah muara, tenang, tapi menuju sungai yang deras menuju lembah-lembah, bahkan jurang. Kita bukan sungai yang airnya tergesa."<br />Aku tercekat melihat tubuhku yang segar-bugar itu tengah berbincang dengan seorang perempuan atau wanita atau, ah.... Aku betul-betul tak mampu mengingatnya. Atau putar ulang ini adalah proses ingatanku? Aku sepertinya disetting untuk objektif. Menjadi saksi atas diriku sendiri yang dengan penglihatanku yang tanpa mata ini menyaksikan tubuhku berbuat sesuatu. Aku subjek yang melihat aku objek.<br />Pemutaran ulang itu kemudian seperti dipercepat. Perbincanganpun berubah menjadi menggelikan. Nada menjadi lebih tinggi dan sambung menyambung. Aku tak mampu melihat setiap adegan dengan jelas. Tapi aku bisa simpulkan bahwa aku tubuh dan perempuan itu tengah melakukan sesuatu. Sesuatu yang menurut aku tubuh tadi ingin teralami dengan sangat lambat dengan detik-detiknya tak terlewat.<br />Namun, aku melihat justru pada sebuah proses yang sangat cepat. Pemercepatan itu telah membuatnya sangat cepat. Sesuatu pun terlakukan sudah. Sangat cepat dan cepat. Bahkan, seperti hanya sekejap. Aku bengong, betapa cepat peristiwa itu terjadi.<br />"Terima kasih, Sayang. Kau telah memberikan sesuatu yang berharga buatku. Aku takkan menyia-nyiakan itu. Aku janji."<br />"Betulkah, kau berjanji?"<br />"Kau sepertinya diliputi ragu, Sayang?"<br />"Karena banyak kejadian--"<br />"A...a, kau terpengaruh senetron-sinetron itu rupanya, atau novel-novel itu?"<br />"Aku hanya takut kehilanganmu setelah aku menghilangkan diriku sendiri." "Kita memang telah menyatu. Karena itu, kita tak bisa lagi saling berpisah."<br />"Kamu romantis sekali, Sayang."<br />"Itulah aku. Semua yang kumiliki hanya untukmu. Termasuk sifatku yang satu itu. Hanya untukmu. Apa, sih di dunia ini yang takkan kuberikan padamu setelah semuanya terjadi. Kita bahkan harus saling memberikan nyawa kita."<br />"Ah, sudah, Sayang. Kau mulai berlebihan."<br />"Sudah, kalau begitu. Kau nampak lelah. Kita tidur saja."<br />"Aku pulang saja."<br />"Tidak. Kau tidur saja di sini. Malam ini milik kita sepenuhnya."<br />"Kadang sesuatu yang tak terduga bisa terjadi."<br />"Aku sudah antisipasi. Aku sudah perhitungkan matang-matang."<br />"Lalu bila tiba-tiba mereka datang?"<br />"Percayalah padaku semua telah kuatur."<br />"Tapi Dia pun mengatur."<br />"Kau...."<br />"Ada apa, Sayang?"<br />"Kau menakut-nakutiku."<br />"Aku hanya menyebut Dia. Kau takut pada-Nya?"<br />"Ya, aku takut. Karena itu, kau jangan pergi. Temani aku agar aku tidak takut lagi pada-Nya. Kita berdua bisa menghadapi-Nya bersama, hmm.... Bagaimana?"<br />Tiba-tiba kejadian di kamar itu dipercepat lagi. Gerakan gerakan aku tubuh dan wanita itu jadi semacam bayangan yang berkelebat, cepat. Peristiwa-peristiwanya pun tidak hanya terjadi di atas ranjang itu, bahkan di bawah shower. Sekejap. Di bath tub. Sekejap. Di tolilet. Sekejap. Lalu terakhir kembali di (ke) ranjang. Sekejap. Setelah itu tak bergerak lagi tubuh-tubuh itu. Diselimuti atau bahkan ditutupi oleh bad cover dan selimut bermotif bendera Juventus itu. Tubuh mereka seperti dibenamkan pada ranjang itu atau disemayamkan.<br />Memoriku telah penuh. Aku jadi tahu masa laluku. Sehari semalam yang lalu. Namun, hanya itu yang kutahu. Sisanya hitam. Mungkin harus ada yang memutar ulangnya lagi. Dan, aku hanya saksi bagi diriku. Aku ternyata hanya mengenal nama, tidak peristiwa.<br />Entah ketukan yang keberapa kali, sejak malam tadi. Terdengar. Tergesa. Panggilan-panggilan berbisik, setengah teriak, lalu penuh teriak. Ketukan menjadi gedoran. Gedoran menjadi dorongan. Dorongan menjadi pembongkaran. Lalu jeritan. Histeris.<br />Mereka berempat. Ibuku, ayahku, adikku, dan pembantu kami itu. Mereka masuk sambil menutupi hidung mereka dengan baju-baju mereka. Bahkan adikku muntah di kamar mandi. Sedangkan aku heran. Ada bau apa gerangan? Mereka menghampiri aku tubuh, tubuhku yang terbenam sempurna di ranjang itu. Mereka membangunkanku. Tak berhasil. Mereka menggoyang-goyang tubuhku. Namun, keheranan terpancar pada mereka. Bukan tubuh yang mereka goyang, tapi benda lunak yang seperti terkelupas karena gesekan. Mereka saling pandang lalu seperti sepakat membuka selimut itu.<br />"Aaaaaaaa, Bagus anakku!"<br />"Ooooooh, Bagus anakku!"<br />"Haa? Kak Bagus? Ya, Allah!"<br />"Iiiiiii, Den Bagus?"<br />Histeris, heran, tak percaya, dan mual bercampur baur. Dan, aku hanya hening. Udara yang mungkin dingin. Tercekat oleh apa yang kulihat. Tiba-tiba aku berubah. Mulai bisa merasakan. Aku seperti membeku. Aku tak bertiup lagi. Raga gaibku yang entah apa wujudnya terpaku dan entah menancap di mana. Tubuhku tinggal wajahku, juga tubuhnya tinggal wajahnya. Wajah tercekat, tercekik, tersiksa, tak kuat, menjerit. Wajah tragedi. Sementara badanku dan badannya hampir tinggal tulang. Ulat-ulat yang gemuk dan penuh lendir kemerah-merahan tercampur darah memagut-magut setiap inci badan itu. Menuju wajah. Aku tak mampu mengekspresikan perasaanku, sementara mereka pingsan kecuali pembantuku. Ia terduduk sambil meraba saku celananya.<br />Depok, Oktober '03<br /><br />Cerpen Aceh dan Pengiriman Naskah<br />(Cerpen dari Harian Republika )www.mitrabelajar@blogspot.comhttp://www.blogger.com/profile/03713057923033362735noreply@blogger.com0