Sunday, September 26, 2010

Wah merah jambu lo..............

Bulan Merah Jambu


Pagi terasa sepi. Diam tak ada suara. Aku merasa nyaman dipeluk ketenangan. Sunyi. Senyap. Tetapi itu tak lama.
"Zuha muncul di koran! Zuha muncul di koran!" sebuah suara membuat ketenangan melepaskan pelukannya. Suara Idha. Dan bukan hanya mulutnya yang bersuara. Dari kakinya pun keluar suara gedebag-gedebug yang keras. Pula, dalam hitungan detik terdengar pintu berderit. Bahkan berdebam. Mungkin empunya kamar membuka dengan sangat bersemangat. Keheningan pagi terburai menjadi serpih. Lalu ada riuh. Aku tergoda. Bukan karena riuhnya, tapi karena satu nama yang diteriakkan Idha.
Zuha! Zuha muncul di koran!
Akulah yang terakhir membuka pintu. Di dekat meja, kulihat lima gadis mengerumuni Idha yang tengah membentangkan koran. Wajah mereka sangat antusias. Nainy yang pertama kali mendongak ke arahku. "Tabita, Zuha! Ia mengajar anak-anak di sana...," gadis itu berkata kemudian memberikan tempatnya untukku. Juga jarinya menunjuk kolom yang tengah menjadi pusat perhatian.
Oh, Tuhan. Tak apalah hening pagi terburai menjadi serpih. Sebab wajah di lembaran koran itu memang Zuha. Ia berdiri anggun dengan baju merah dan kerudung biru tua. Di belakangnya ada papan tulis dan di depannya anak-anak yang tak berbaju seragam. Mereka bersama dalam sebuah tenda. Sebuah judul mengantar tulisan tentangnya. Zuha pun Turut Mengajar.
Aku melihatnya beberapa saat dan tenyata mataku memanas. Meski bukan foto close up, rasanya dapat kulihat wajahnya dengan jelas. Wajah tirus sejalan dengan tubuhnya yang kurus. Namun, mata yang terletak di bawah lengkung kerudung itu sangat teduh. Sangat teduh. Anak-anak yang duduk di depannya itu pasti dapat merasakan keteduhan matanya meski mata itu sempat bengkak ketika televisi menyuguhkan gambar-gambar memilukan tentang tanah kelahirannya yang luluh lantak tertimpa gelombang dahsyat. Rasanya wajah teduh itu belum lama meninggalkan tempat ini. Pondokan putri yang kamarnya tujuh buah dan salah satu penghuninya adalah dia. Tak lama mata panasku melahirkan bulir bening di kedua sudutnya. Aku terisak. Lalu menyusul isak yang lain. Satu satu hingga semua terisak. Semua mata melahirkan bulir bening yang kemudian pecah menjadi sungai. Pagi ini kami kembali menangis untuk Zuha.
Hari sudah malam. Koran pagi masih kupegang. Aku berdua dengan Nainy duduk di beranda. Bulan bundar menggantung di langit yang berawan. Sudah beberapa hari ini hujan tak datang menyapa. Mungkin hujan sedang berpuas-puas menjatuhkan diri di beberapa tempat -- yang bukan tempat ini. Lalu datanglah banjir di sana. Agh, betapa kita sedang sangat akrab dengan bencana.
"Dia tampak tegar, Nain," aku berkata. Aduh Zuha, malam ini obrolan kami belum juga beranjak dari kamu.
"Aku bersyukur, Ta. Andai aku jadi dia, pasti aku sudah gila dibuatnya. Bagaimana mungkin bapak yang malamnya masih berbicara di telepon paginya hilang dimakan gelombang," Nainy berkata dengan wajah sayu. Anganku melompat. Dulu, begitu sering aku, Zuha, dan Nainy menikmati malam di beranda. Mungkin karena kami terhitung penghuni paling lama di pondokan ini, maka kami bertiga sudah demikian menyatu sebagai sahabat.
Kami suka memandang rembulan. Terlebih jika ia purnama. Kami ngobrol apa saja. Bahkan suka melantur kemana-mana. Termasuk membicarakan rembulan yang sedang menggantung di langit malam.
"Apakah warna rembulan?" Zuha pernah bertanya.
"Kuning emas!" jawabku yakin dan mantap.
"Kuning agak jingga," sangkal Nainy kalem.
"Menurutku, bulan berwarna merah jambu," ujar Zuha disambut penolakan dari aku dan Nainy.
Bagaimana mungin bulan berwarna merah jambu. Aku menunjuk pohon jambu di seberang jalan yang kebetulan sedang berbuah. Warnanya merah. Dan bulan tak sewarna dengan warna merah buah itu. Namun Zuha justru bersenandung: bulan merah jambu, luruh di kotamu, kuayun sendiri langkah-langkah sepi, menikmati angin, menabuh daun-daun, mencari gambaranmu di waktu lalu, sisi ruang batinku hampa rindukan pagi, tercipta nelangsa, merengkuh sukma.*)
Selanjutnya, berkali-kali kita kita di beranda. Dan tetap saja kau katakan bahwa bulan berwarna merah jambu meski aku dan Nainy selalu menolaknya. Agh, Zuha. Sedang apa kau malam ini? Apakah di sana juga sedang terlihat rembulan? Dan apakah akan kau katakan pada orang-orang bahwa warnanya merah jambu? Bukan kuning emas atau kuning agak jingga?
Wajah teduhmu di koran ini membuat segala kenangan tentangmu bertaburan di udara pondokan. Terutama kenangan hari Minggu pagi itu. Kakiku sakit. Mungkin keseleo waktu bergegas-gegas di tangga pondokan. Maka, pukul lima empat lima kau kendarai motor mengantarku ke gereja untuk ibadah pukul enam. Gereja ramai oleh jemaat sebab aroma natal masih kental. Waktu itu aku tak dapat pulang untuk merayakan natal bersama keluarga. Rumahku juga jauh di pulau seberang sementara kita dalam musim ujian. Kau turunkan aku hingga halaman. Jemaat yang hendak masuk memperhatikan kita seolah melihat alien yang barusan turun dari langit. Ada dua hal yang sangat mungkin membuat kita menjadi pusat perhatian. Pertama, kakiku yang berjalan terpincang-pincang. Kedua, kerudung birumu sebagai sebuah bagian pakaian yang tak lazim dipakai orang di lingkungan gereja (di Indonesia).
Namun, daripada merasa salah tingkah dengan perhatian orang, kau memilih untuk tetap berwajah teduh. Juga tak segera beranjak untuk memastikan aku bisa masuk ke ruang ibadah dengan selamat. Dalam gereja, kupanjatkan syukur untuk bantuan yang terasa tulus kau lakukan. Usai kebaktian, begitu keluar pintu sudah kudapatkan kau siap membawaku pulang kembali ke pondokan. Kita kembali menjadi tumpuan perhatian banyak orang. Tapi kita sambut keheranan itu dengan senyuman yang ringan. Kau starter motor, dan begitu melaju, kerudung birumu melambai melawan angin yang menghembus.
Ah, ya. Pagi itu kau memakai kerudung baru. Kemarin kerudung itu masih terbungkus rapi dalam kertas kado bergambar bunga lili. Aku dan Nainy memberikan padamu untuk ulang tahunmu yang keduapuluh satu. Kami memang memilih untuk memberimu kado kerudung berwarna biru. Sebab kami tahu kau menginginkan benda itu. Dua minggu sebelumnya, kita menjelajah Pasar Klewer mengantar Nainy yang diminta untuk belanja pakaian bayi. Menurut hitungan dokter, kakaknya sebentar lagi akan melahirkan.
Kita usai belanja lantas berusaha keluar melalui lorong-lorong ramai dan sumpek. Lorong-lorong itu kunamai labirin. Sebab ia ruwet sehingga aku tak pernah dapat masuk dan keluar pada celah keluar yang sama. Di depan kios kerudung kita tertahan kuli yang sedang membongkar barang. Kita pun berhenti. Matamu tertuju pada sebuah kerudung yang tersampir sebagai barang dagangan. Kau bertanya pada penjualnya, berapa harganya? Ia menjawab, tujupuluh lima ribu. Ouw, harga yang mahal untuk sebuah kerudung. Namun kerudung biru itu memang halus sebab terjalin dari benang sutera. Matamu berpijar menginginkannya. Hanya, kau tak membelinya sebab dompetmu hanya dompet mahasiswa yang lebih sering tebal karena berjenis-jenis kartu dan bukannya uang. Sama persis, dompetku dan Nainy.
Dua puluh lima Desember kau berulang tahun. Tiga hari sebelum tanggal itu, aku dan Nainy kembali menjelajah Pasar Klewer. Mencari kios yang menjajakan kerudung yang dulu kau suka. Itu bukan perkara mudah. Pasar Klewer bukan mall yang serba teratur dan rapi. Entah kami telah berputar berapa kali sebelum akhirnya dapat menarik nafas lega. Kami menemukannya. Dan nafas kami bertambah lega saat kami bisa menawarnya. Dari harga tujupuluh lima ribu yang ditawarkan, kami bisa membuat pedagang itu melepaskan dengan harga lima puluh ribu saja. Kami berbagi. Aku duapuluh lima ribu, Nainy juga duapuluh lima ribu. Kau senang menerimanya. Bahkan, begitu kau buka bungkusnya, dengan antusias kau langsung memakainya. Hari selanjutnya kerudung itu masih kau pakai, juga untuk mengantarku ke gereja. Minggu pagi itu kau masih tersenyum-senyum senang. Terlebih Sabtu malam, abimu di Meulaboh menelepon mengucapkan selamat ulang tahun. Kau bilang, umimu juga turut bicara dan kau juga dapat mendengar suara adik-adikmu walau sayup-sayup saja. Namun siapa sangka bila itu menjadi suara terakhir yang kau dengar?
Minggu siang menjelang sore. Teve dinyalakan untuk melepas penat habis membaca bahan-bahan ujian. Seketika tawa kita berganti duka. Air laut yang didorong gempa telah meluluh-lantakkan segalanya. Kau menangis namun tetap ada ketabahan pada sedu sedannya. Meski demikian matamu bengkak juga. Dua minggu berikutnya kau memaksa untuk pulang. Katamu, kau akan mencari keluargamu. Kami tak dapat menahan meski kami khawatir sebab di sana pasti penuh ketidakpastian. Sore itu kami antar kau hingga pemberangkatan.
Sebulan lalu datang kabarmu lewat pesan pendek di layar ponselku. Abi dan umimu meninggal. Juga dua adikmu yang kau sayangi. Namun, syukur pada Tuhan masih ada satu adik yang selamat. Kau juga bilang, kau tak mungkin lagi kembali ke kota ini meski jelas kuliahmu belum usai. Sebab, di kota ini kau pasti tak dapat melakukan apa-apa sementara di sana banyak kesedihan yang menanti untuk ditangani. Karena itu, kau bilang, meski sedikit aku akan bertindak.
Dan kau memang melakukannya. Pagi tadi, di koran ini dapat kami lihat wajah teduhmu, dibalut kerudungmu yang berwarna biru. Kau berdiri di depan anak-anak yang juga merasakan kehilangan. Apa yang kau katakan pada mereka, Zuha? Berita di koran tak menuliskannya. Namun pasti kata-kata yang menguatkan sebab kau telah membuktikan jika kau kuat menanggung kesedihan seperti yang mereka punya.
"Tabita, sudah malam... masuk yuk," suara Nainy memutus ingatan yang mengembara ke mana-mana. Kulihat di sudut matanya ada bulir bening seperti tadi pagi. Pasti ia juga larut mengingat Zuha. Kami pun berurut masuk pintu pondokan. Di luar bulan masih menggantung disaput awan. Dulu, kami suka berdebat tentang warnanya.
Bandung, 2005
Untuk Yanti di Nias.
*) Potongan lirik lagu Tak Bisa ke Lain Hati Kla Project.
(Cerpen Tinar Sidha )
(Cerpen dari Harian Republika )

0 comments:

Post a Comment