Sunday, September 26, 2010

Tahi lalat

Tahi Lalat Tipis di Atas Bibir Rini
Cerpen Sunaryono Basuki Ks

Apakah yang membedakan Ayu dan Rini? Sulit dikatakan. Ami mengatakan bahwa Ayu berwajah lebih bulat dari Rini, sedangkan wajah Rini lebih lonjong. Cahyani mengatakan bahwa Ayu sedikit lebih tinggi dari Rini. Kata Dian, Ayu lebih gemuk dari Rini. Sagita bilang suara Ayu lebih jernh dari suara Rini.
Tetapi, dengan perbandingan tetap sulit bagiku untuk membedakan bersaudara kembar itu. Bagaimana bisa dengan mudah mengatakan bahwa wajah Ayu lebih bulat kalau yang hadir di depanku hanya Ayu atau Rini saja, saat mereka tak hadir berdua. Yang jelas, bila mereka menyanyi bersama untuk kegiatan kesenian di jurusan atau fakultas, suara mereka jernih dan membuatku jatuh cinta.
Ayu dan Rini dua bersaudara luar biasa. Keduanya punya suara yang bagus. Keduanya menulis resep untuk majalah dan tabloid wanita, kemudian menerbitkannya menjadi buku. Berdua mereka menulis buku English Games yang diterbitkan oleh penerbit buku terkemuka dan sampai kemarin sudah menghasilkan royalti yang langsung dibelikan satu set komputer sehingga mereka tak perlu lagi pergi ke tempat penyewaan komputer untuk menulis. Sudah ada tujuh naskah buku yang disetujui untuk terbit dan sudah ada tiga judul yang sudah benar-benar menjadi buku dan memberi mereka royalti.
Ayu menulis novel sudah sampai lebih dari dua ratus halaman diketik satu spasi. Ternyata Rini juga menulis novel, bukan novel lain tapi novel itu juga. Kalau Ayu sedang sibuk menulis skripsi, Rini melanjutkan menulis novel itu.
''Kok bisa?'' tanyaku terheran-heran.
''Mindahkan pikiran, Pak.'' Dengan ringan Rini menjawab. Tapi keahlian Rini sebenarnya melukis komik yang Ayu tidak mendalaminya. Mereka mengarang lagu juga dikerjakan berdua. Sementara ini mereka sedang membuat rekaman lagu-lagu yang mereka gubah sendiri.
''Sudah tanda tangan kontrak?''
''Belum.''
''Minta dua kontrak. Satu untuk penggubah lagu, satu untuk penyanyi.''
''Kok gitu, Pak?''
''Kan kerjamu dua. Dan, jangan mau dibeli putus.''
''Apa itu?''
''Kamu dibayar dengan honor besar, tetapi tak punya lagi hak kalau rekaman laku atau kalau ada penyanyi lain yang mau membawakan lagumu. Rugi, kan?''
''Saya tidak ngerti.''
''Makanya jangan sampai tergiur uang banyak. Contohnya Koes Plus, sampai sekarang lagu-lagunya laku tetapi mereka tak bisa menikmati hasilnya.''
Orang bilang, dua bersaudara kembar bisa saling merasakan, tetapi Ayu dengan tegas mengatakan tidak.
''Kalau kamu senang apa Rini bisa merasakan debar senangmu?''
''Tidak.''
''Soalnya dulu ada mahasiswi kembar, yang seorang di sini, yang seorang di Denpasar. Yang di sini konon merasa kesepian dan bunuh diri dengan minum obat serangga.''
Ayu diam.
''Bukan maksudku menakutimu. Kalau aku menamparmu, bisa?''
''Ya. Kalau saya jatuh dia ikut merasa sakit.''
''Kalau pacar menciummu, rasa?''
Ayu tersenyum dengan mulut terbuka.
''Tidak.''
Yang mengejutkan, selain masing-masing punya rahasia, ternyata Ayu dan Rini punya pacar bersama. Gede yang tinggal di Seririt menjadi pacar bersama mereka.
''Bersama-sama bagaimana? Kamu keroyok?''
''Tidak. Ya gantian.''
''Tak cemburu?''
''Kami saling ngerti.'
''Dan Gede tahu?''
''Ya.''
''Kalau pacaran kalian bergantian?''
Ayu mengangguk.
''Gila!'' pikirku. Tak pernah terpikir olehku sampai bisa terjadi begitu.
''Jadi Gede enak dong. Punya dua pacar sekaligus. Bisa gantian.''
''Tapi kami punya rahasia masing-masing. Saya punya pacar dan dia juga punya.''
''Lalu, dimana dia?''
''Yogya. Kena gempa. Dia mahasiswa UGM.''
''Oh, dari Bantul.''
''Betul. Dan Rini punya pacar dari Sumbawa. Dia Kristen.''
''Dan Yogya?''
''Mukhlas.''
''Oh. Jadi kamu siap jadi mualaf?''
''Ya.''
''Tak menyesal?''
Ayu tersenyum.
Aku tahu itu Ayu sebab dia datang untuk mengkonsultasikan skripsinya, jadi bukan Rini. Aku bukan pembimbing Rini. Pagi itu karena Rini juga datang, kuminta dia ikut masuk ke kantorku dan mereka berdua duduk di depanku. Suara mereka persis sama. Wajahnya sama. Tingginya sama. Jadi, sebenarnya apa yang membedakan mereka? Memang, waktu itu Ayu mengenakan kaos berwarna merah bergaris-garis sedang Rini mengenakan kaos hitam tanpa kembangan. Tapi, perhiasan mereka sama, bibirnya sama, rambutnya sama. Jadi bagaimana?
Ternyata Puspitayani yang memberitahuku. Dia tetangga Ayu dan Rini dalam lima tahun terakhir. Mula-mula merasa bingung juga sampai dia menemukan perbedaannya. Rini punya tahi lalat tipis di atas bibir di bawah lubang hidung kirinya. Sangat tipis seperti sebuah titik yang dibikin. Andaikata Ayu usil dan membubuhkan titik hitam dengan pensil alis di lubang hidungnya, pasti aku tak mampu membedakannya dari Rini.
Pada suatu siang sebuah sms masuk ke dalam HPku.
''Pak, besok saya boleh konsultasi?''
''Oke, jam sebelas,'' jawabku.
Dan jam sebelas seusai aku mengajar, Ayu memang muncul.
''Sudah selesai semua?''
''Maaf, Pak. Kakak tak bisa datang. Agak pusing. Tapi dia sudah janji, kan?
Saya mewakili. Boleh, Pak?''
Yang duduk di depanku seorang gadis yang kukira Ayu juga. Tapi, kemudian kuminta dia mendekatkan wajahnya dan aku dapat melihat sebuah titik hitam tipis di bawah lubang hidung kirinya, di atas bibirnya.
''Oh, jadi kamu. Saya gak tahu, gak bisa bedakan.''
Dia hanya tersenyum.
Seperti biasa aku selesaikan membaca skripsi pada saat itu juga. Aku tak mau menunda pekerjaan. Begitu selesai kuperiksa tak ada lagi beban hutang jadi aku bisa mengerjakan yang lain: menulis atau membaca dengan tenang. Aku bertukar sms dengan Mas Budi Darma atau Agus Noor.
''Sakit apa dia? Batuk?''
''Katanya pusing.''
''Pasti mikir Mukhlas.''
Hanya senyum.
''Tolong sampaikan salamku. Cepat sembuh biar bisa ujian. Kamu sendiri bagaimana?''
''Masih di tangan Pak Pande. Belum sempat baca katanya. Sibuk.''
''Ya nasib. Sabar aja.''
Lalu dia ulurkan tangannya dan dia cium tanganku. Lalu, kutarik tangannya dan kucium pipi kanan dan kirinya. Lalu kutanyakan, kalau kucium apa Ayu bisa ikut merasakan?
Tak kutunggu jawabannya. Kucium bibirnya walaupun disambut dengan dingin. Tak ada balasan. Persis seperti reaksi Ayu yang nol. Jadi, keduanya bereaksi sama?
Lalu kulepaskan. Dia duduk kembali tapi masih tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Persis seperti reaksi Ayu kalau kucium. Mungkin karena kembar, pikirku.
Tiga hari kemudian mereka datang lagi berdua.
''Sudah sembuh?'' tanyaku pada keduanya karena belum tahu mana Ayu mana Rini.
Keduanya duduk di depanku.
''Jadi boleh ujian, Pak?''
''Kalau sudah siap, kenapa tidak?''
Mereka saling pandang seolah menertawakanku. Aku ragu. Mana yang Ayu, mana yang Rini. Lalu, kupandangi mereka dengan jarak dekat. Yang duduk di sebelah kananku punya tahi lalat hitam tipis di bawah lubang hidung kirinya di atas bibir. Yang kiri pasti Ayu. Tapi aku tak mempercayai mataku. Yang duduk di sebelah kiriku juga punya tahi lalat hitam tipis di lubang hidung di atas bibir. Jadi yang mana Ayu, yang mana Rini?
Mana Ayu?''
Keduanya tersenyum.
''Siapa yang mau konsultasi?''
''Keduanya tersenyum?''
Aku terhenyak bersandar di sandaran kursiku.
''Jadi, siapa yang kucium dua hari yang lalu?''
Keduanya tersenyum dan aku tak paham. Benar-benar terpukul, terbaring di matras ring tinju. Mungkin harus ada yang menyiramku dengan air dingin agar aku terbangun.
Singaraja, 15 Oktober 2006

0 comments:

Post a Comment