Sunday, September 26, 2010

Kalung Tasbih

KALUNG TASBIH DARI MAKKAH
Cerpen Anita Retno Lestari

Aku hanya bisa menangis menyesali kutukanku yang ternyata dikabulkan Tuhan.... Suamiku mengalami gegar otak berat, kakinya patah, dan tulang belakangnya remuk.
Sepulang naik haji, ayah memberiku kalung tasbih yang katanya dibelinya di Makkah dan pernah dibawanya memasuki Masjid Nabawi dan di depan Makam Rasulullah SAW ayah berdoa semoga aku menjadi perempuan salehah yang bahagia di dunia dan akherat.
''Setiap habis shalat, gunakan kalung tasbih ini untuk berdzikir,'' pesan ayah ketika menyerahkan kalung tasbih yang kini selalu menemaniku ke mana pun aku berada. Aku pun selalu menggunakan kalung tasbih itu untuk menghitung kalimat-kalimat thoyibah yang kubaca sehabis shalat.
Dan, setelah aku menikah, kalung tasbih itu tiba-tiba hilang. Seingatku, sebelum hilang, kalung tasbih itu kuletakkan di dekat bantal ketika aku hendak tidur dengan suamiku. Tapi, suamiku mengaku tak tahu menahu ketika aku mencari-cari kalung tasbih yang raib itu.
''Mungkin kamu lupa menyimpannya. Suatu ketika pasti ketemu lagi,'' ujar suamiku ketika aku menunjukkan perasaan resah atas raibnya kalung tasbih itu.
''Sebaiknya kamu membeli lagi kalung tasbih yang lebih besar, biar tidak mudah hilang,'' lanjut suamiku.
Aku tetap saja merasa resah atas hilangnya kalung tasbih dari Makkah itu. Setelah aku membeli kalung tasbih dan menggunakannya untuk berdzikir, rasanya aku selalu teringat kalung tasbih yang telah hilang itu, sehingga dzikirku tidak pernah bisa khusyuk. Aku merasa bersalah kepada ayah yang kini telah almarhum. Aku merasa telah gagal mempertahankan kalung tasbih dari Makkah itu sebagai milikku.
''Apa sih istimewanya kalung tasbih yang hilang itu, sehingga kamu tampak selalu murung dan gelisah?'' tanya suamiku setelah satu pekan aku selalu murung dan resah sejak kehilangan kalung tasbih dari Makkah itu.
''Kalung tasbih itu bukan tasbih sembarangan, Mas. Almarhum ayah yang dulu membelinya di Makkah, dan pernah dibawanya masuk ke Masjid Nabawi dan digunakan untuk berdzikir di depan makam Rasulullah SAW,'' tuturku.
Suamiku tersenyum. ''Kalau begitu justru kamu harus bersyukur atas hilangnya kalung tasbih itu.''
Aku terpana menatap tajam-tajam wajah suamiku. Tiba-tiba aku curiga, suamiku mungkin sengaja membuang atau menyembunyikan kalung tasbih itu.
''Mungkin jika kalung tasbih itu tidak hilang, suatu ketika bisa menjadi berhala yang kamu puja-puja. Maka bersyukurlah karena kalung tasbih itu hilang.'' Suamiku bicara dengan tersenyum-senyum.
''Maaf, Mas. Benarkah Mas mencuri kalung tasbih itu agar aku tidak bisa menggunakannya lagi untuk berdzikir?'' tanyaku.
Rasanya aku pantas mencurigai suamiku karena justru tampak senang dengan hilangnya kalung tasbih itu.
''Memangnya aku berbakat menjadi pencuri?'' Suamiku balik bertanya dengan wajah tetap berhias senyuman.
''Kalau Mas tidak mencurinya, semoga yang mencurinya celaka!'' Aku mengutuk dengan kesal.
Suamiku terperanjat. ''Kamu telah mengutuk seseorang yang telah mengambil kalung tasbihmu. Waduh, kamu telah berbuat kejam. Bagaimana jika kutukanmu dikabulkan Tuhan?''
''Ah, sudahlah, aku sudah terlanjur mengutuk, Mas. Yang penting bukan kamu yang mencurinya.''
''Bagaimana jika seumpama aku yang mencurinya?''
''Jadi, benar bukan Mas yang mencuri kalung tasbih itu?''
Suamiku mengangguk dengan tersenyum.
Aku mendengus panjang, karena dadaku mendadak terasa sesak. Aku khawatir jika kutukanku dikabulkan Tuhan. Dan, sejauh yang kuketahui, kutukan tidak bisa dicabut jika sudah terlanjur diucapkan.
Lalu, aku berdoa semoga kutukanku tidak dikabulkan Tuhan. Aku tidak ingin melihat suamiku celaka, meskipun telah mencuri kalung tasbih dari Makkah yang kuanggap sangat istimewa itu.
Sepekan kemudian, sepulang kantor, suamiku mengalami tabrakan hebat. Suamiku dirawat di ruang ICU. Mobilnya rusak berat. Dan aku hanya bisa menangis menyesali kutukanku yang ternyata dikabulkan Tuhan meskipun aku sudah berusaha untuk mencabutnya dengan doa-doa.
Ketika aku membesuk suamiku di rumah sakit, aku minta maaf. Tapi suamiku diam saja.
Kini, suamiku mengalami gegar otak berat, kedua kakinya patah, dan tulang belakangnya remuk. Menurut dokter, kecil kemungkinan suamiku bisa pulih seperti sebelum mengalami kecelakaan.
Setelah tiga bulan dirawat di rumah sakit tapi suamiku belum juga pulih, aku kemudian membawanya pulang. Aku ingin merawatnya di rumah.
Sungguh berat merawat suami yang lumpuh dan tidak bisa bicara lagi. Sepanjang waktu suamiku terbaring lemas di tempat tidur. Semua hajat hidupnya aku yang mengurus. Untungnya, suamiku segera dipensiun dan mendapat uang pensiunan sebesar 60 gaji terakhirnya. Dengan uang pensiunan itu kami berdua bisa hidup.
Suatu siang, aku membersihkan gudang. Semua barang rongsokan yang menumpuk di gudang kukeluarkan untuk kubuang ke tempat sampah.
Ketika aku sedang menyapu lantai gudang, mataku menatap seuntai kalung tasbih dari Makkah itu. Segera aku membersihkan kalung tasbih itu. Lalu kuperlihatkan kepada suamiku.
Mata suamiku langsung berkaca-kaca ketika menatap kalung tasbih itu. Bibirnya bergerak-gerak tapi tidak mengeluarkan suara apa pun. Sepertinya suamiku menangis di dalam hati.
Iba aku melihat suamiku menangis. Pasti suamiku sangat menyesal telah menyembunyikan kalung tasbih itu di gudang dan kemudian aku mengutuknya dan ternyata kutukanku dikabulkan Tuhan.
Dan, meskipun kalung tasbih itu sudah kutemukan lagi, aku tidak mau menggunakannya untuk berdzikir. Aku teringat ucapan suamiku. Betapa kalung tasbih itu bisa menjadi berhala, dan karena itu sebaiknya dibuang saja.
Lalu aku membuang kalung tasbih dari Makkah itu ke tong sampah, bukan karena aku khawatir menjadikannya sebagai berhala, melainkan karena aku memang sudah tidak membutuhkannya lagi. Aku telah terbiasa berdzikir tanpa kalung tasbih.
Sekarang, bagiku, berdzikir tidak perlu dihitung lagi, karena aku tidak menjualnya kepada Tuhan!
Sastradipati, 2006
Dari Redaksi
Berhubung menyempitnya halaman untuk rubrik cerpen dan esei, maka naskah cerpen dan esei yang dapat dimuat di halaman Sastra ini adalah sepanjang 7000-8000 karakter. Naskah harus dikirim melalui email ke sekretariat@republika.co.id. Naskah cerpen/esei harus diketik dalam format MS Words dan dikirim dengan sistem attachments. Tiap satu file hendaknya hanya berisi satu judul cerpen. Begitu juga untuk naskah esei. Sedangkan untuk naskah puisi, sekali kirim minimal enam judul puisi dalam satu file. Dilampiri foto diri close up dalam gaya santai, biografi singkat dan nomor rekening bank untuk pengiriman honor jika dimuat. Naskah yang tidak memenuhi persyaratan teknis tersebut tidak akan diperhatikan. Terima kasih. red
(Cerpen dari Harian Republika )

0 comments:

Post a Comment