Sunday, September 26, 2010

Impian

IMPIAN YANG TERBADAI
Cerpen Lidya Kartika Dewi

Hari masih pagi. Masih sangat pagi. Matahari pun belum menampakkan sinarnya. Usai menunaikan sholat subuh di masjid, Yazid segera menukar sarung dan baju kokonya dengan baju olah raga. Ia memang biasa melakukan senam sebelum berangkat kerja.
Dengan langkah-langkah penuh semangat, Yazid keluar dari kamar tidurya. Tapi sampai di ruang tamu, langkahnya terhenti. Sesaat Yazid menatap kalender yang terpajang di dinding dan batinnya menghitung: tujuh hari lagi. Ah, akhirnya akan sampai juga bahtera cintaku berlabuh pada mahligai rumah tangga, pikirnya kemudian. Tidak sia-sia perjuanganku selama ini. Tidak sia-sia. Segala pengorbanan, baik perasaan, waktu, moril juga materiil, semuanya impas sudah. Karena tujuh hari lagi, Mirsa akan resmi menjadi istriku!
HP di saku celana training Yazid berdering dua kali. Yazid pun mengambilnya. Sebuah SMS masuk. Dari Mirsa, calon istrinya: Bang Yazid, mendekati hari H, hatiku makin berbunga. Aku sangat bahagia, bakal menjadi istri Abang.Yazid tersenyum. Ia merasa pun merasa bahagia. Lalu, ia melangkah ke halaman depan rumahnya, untuk senam pagi
Jalinan awal cinta keduanya tidak mudah. Faktor keluarga yang dominan dan karakter Mirsa yang masih labil, itulah penyebabnya. Dulu, semasa SMA, Yazid adalah playboy. Gonta-ganti pacar adalah hobinya."Hobimu itu nggak baik, Yazid," nasehat temannya, Rajali.
Tapi Yazid tak ambil peduli. Petualangan cinta itu terus ia lakukan dan baru berhenti kala ia lulus dari SMA dan melanjutkan ke perguruan tinggi di Yagyakarta. Di awal-awal kuliah Yazid memang enggan untuk pacaran. Ia ingin secepatnya menuntaskan kuliahnya. Ia telah begitu berpengalaman berpacaran; ya manisnya, ya pahitnya. Karena itu ia punya keyakinan, bila kuliah disambi pacaran ala masa SMA dulu, target untuk bisa cepat selesai kuliah itu tak akan terpenuhi. Maka, belajar dan belajarlah kegiatan Yazid setiap hari.
Hatinya tak pernah bergetar, meski kini kembang-kembang di kampusnya lebih beragam keindahannya. Semua ia anggap sebagai teman, walau ada beberapa cewek yang mencoba mendekatinya. Hatinya seakan beku. Ia pun mendapat julukan baru: BINTANG YANG BEKU. Karena ia tampan, pandai, tapi begitu dingin terhadap wanita. Tapi hal itu rupanya tidak berlangsung terlalu lama. Memasuki semester empat, tekadnya untuk tidak pacaran itu luntur. Masih jelas dalam ingatan Yazid, kali pertama ia berjumpa dengan Mirsa. Kala itu ada pameran buku-buku islami yang diselenggarakan oleh IKAPI. Sebagai mahasiswa yang haus akan ilmu pengetahuan, Yazid tak melewatkan pameran buku itu. Stand penerbit demi stand penerbit ia kunjungi dan dua buah buku telah ia beli.
Dan, ketika sampai pada stand penerbit yang terakhir, yang paling sepi pengunjungnya, Yazid terkesima! Di sana ada seorang gadis berjilbab tengah asyik membaca sebuah majalah. Wajahnya begitu anggun, tegas dan aristokrat, seperti gambaran wajah Tjut Njak Dhien di kala muda! Untuk pertama kali sejak kuliah, hati Yazid bergetar. Dan setelah dapat menenangkan debar jantungnya, dengan keberanian seorang mantan playboy, ia hampiri gadis itu.
"Hem, asyik sekali mbacanya," tegur Yazid ramah.
Sang gadis sedikit tersentak, lalu segera mengarahkan tatapannya ke arah asal suara. Dan, tatkala ia melihat seorang perjaka yang tak dikenalnya berdiri di sana, ia hanya sekilas tersenyum, lalu kembali asyik membaca. Merasa mendapat angin, Yazid makin berani.
"Dari Aceh ya, Mbak?" tanyanya.
Sang gadis terusik. Ditutupnya majalah itu dan dikembalikan ke rak tempat asalnya.
"Lho, kok tahu?" sang gadis tersenyum lebar.
Duh senyum itu..., bikin jantung Yazid kelabakan.
"Ya, wajah Mbak mirip Tjut Njak Dhien sewaktu muda."
"Ah, Mas bisa aja."
Lalu, pembicaraan keduanya berjalan lancar. Yazid pun akhirnya tahu, sang gadis bernama Mirsa, Cut Mirsa. Saat ini ia sedang kuliah di Akademi Perawat. Dan yang paling menyenangkan Yazid, Mirza ternyata berasal dari daerah yang sama dengannya; Banda Aceh!
Maka, untuk hari-hari berikutnya Yazid sering bertandang ke tempat pemondokan Mirsa. Kemudian, cinta pun bersemi di hati sejoli anak muda itu.
Ketika masa libur kuliah tiba, Yazid pulang kampung bersama Mirsa. Dan, sudah barang tentu, Yazid berkunjung ke rumah Mirsa untuk mengenal keluarganya lebih dekat. Dan, alangkah terkejutnya Yazid, tatkala tahu Mirsa itu ternyata adik Rajali!
"Kenapa selama ini aku tak pernah tahu?" tanya Yazid terheran-heran.
"Sejak SD, saya sudah di pesantren, Bang," Mirsa menjelaskan.
"O, pantas," Yazid mengangguk-angguk. Mahfum.
"Kau adik Rajali yang ke berapa?" tanya Yazid pula.
"Keempat. Yang terakhir."
"Jadi kau anak bungsu?"
Kali ini Mirsa yang mengangguk.
Beberapa saat kemudian Rajali keluar, menemui Yazid. Lalu keduanya pun terlibat pembicaraan masalah kuliah masing-masing. Dan Rajali yang paling banyak bertanya. Maklum, Rajali tidak keluar dari Banda Aceh. Ia kuliah di Perguruan Tinggi yang ada di Banda Aceh.
Ketika dua kawan lama itu asyik terlibat dalam pembicaraan, Mirsa pamit, masuk ke dalam. Dan, beberapa saat kemudian, Rajali terang-terangan mengatakan, bahwa ia tidak suka bila Yazid memacari adiknya. Alasan Rajali, karena ia tidak mau adiknya jadi korban sifat playboy Yazid. "Kau jangan samakan aku seperti masa SMA, Ali," kata Yazid sungguh-sungguh. "Sifat playboy itu telah aku buang jauh-jauh."
"Ah, aku belum yakin," sela Rajali -- yang biasa dipanggil Ali itu. "Aku mohon, jauhi Mirsa. Biar dia dapat merampungkan kuliahnya dengan baik." Yazid diam, tak berkomentar. Badai tengah menghantam jalinan cintanya. Tapi, apakah Mirsa sejalan dengan pikiran kakaknya? Hal itu tentu harus ditanyakan langsung pada Mirsa, usai liburan kuliah, di Yogya nanti.
Dan, ternyata, Yazid harus menelan pahitnya empedu. Karena cinta Mirsa goyah, seusai masa libur kuliah itu.
"Bang, aku harap ini kunjunganmu yang terakhir ke pondokanku," ucap Mirsa malam itu.
"Kenapa Mirsa?" kening Yazid berkerut.
"Karena aku ingin sepenuhnya konsentrasi kuliah, agar dapat selesai tepat waktu."
"Mirsa, aku ingin kau bicara jujur. Apakah kau telah dilarang oleh kakakmu berpacaran dengan aku?" desak Yazid.
Mirsa diam. Yazid pun yakin, pikiran Mirsa telah diracuni oleh kakaknya. "Di masa SMA dulu, aku memang playboy, Mirsa," ucap Yazid serius. "Tapi percayalah, kini aku sudah berubah!"
Mirsa tetap diam.
"Oke, aku permisi pulang. Tapi aku harap, kau dapat mencerna dengan jernih ucapanku yang terakhir itu," tukas Yazid penuh permohonan. Tapi ternyata Mirsa tidak berubah. Ia tetap menolak berpacaran dengan Yazid. Maka Yazid pun kembali sendiri, kembali enggan untuk pacaran, sampai rampung kuliahnya.
Tahun-tahun telah berlalu silih berganti. Yazid sudah cukup lama balik ke Banda Aceh dan bekerja di sebuah bank swasta, dengan posisi yang cukup mapan. Sore itu ia datang ke rumah sakit, membezuk kakak pertamanya yang baru melahirkan. Tak diduga, Yazid berjumpa dengan Mirsa.
Mengenakan seragam putih sebagai suster, Mirsa tampak semakin ayu dan anggun! Hati Yazid pun kembali bergetar.
"Bezuk siapa, Bang?" tanya Mirsa ramah.
"Kakak pertamaku, melahirkan anaknya yang ke-2. Kau kerja di sini, Mir?" tanya Yazid.
Mirsa mengangguk. "Begitu selesai kuliah, aku langsung diterima bekerja di rumah sakit ini. Dan Abang kerja di mana?"
"Sesuai dengan disiplin ilmu yang aku miliki, aku dapat kerja di bank." "Wah, hebat tuh, Bang," puji Mirsa.
"Ah, biasa aja."
"Oya Bang, main-main dong ke rumah," cetus Mirsa tiba-tiba.
Yazid tersenyum. "Nggak, ah. Aku takut pada kakakmu, Rajali," ucap Yazid.
"Nggak uasah takut, Bang. Karena sekarang Bang Rajali sudah menikah dan sudah menempati rumah sendiri bersama istrinya."
"Oya? Kapan?" kening Yazid berkerut.
"Setahun yang lalu..."
"Mm...," Yazid mengangguk-angguk. "Baiklah. Malam Minggu nanti aku main ke rumahmu, ya?"
"Oke. Saya tunggu." senyum Mirsa.
Itulah awal keduanya kembali menjalin cinta; hingga akhirnya keduanya sepakat untuk menyempurnakan jalinan cinta itu dengan melangkah ke jenjang pernikahan.
Ketika hari beranjak siang, Yazid sudah siap untuk berangkat kerja. Satu kartu undangan ia selipkan di tas kerjanya. Itu kartu undangan yang terakhir, yang akan ia sampaikan pada Haji Muslih, pada siapa ia belajar mengaji ketika kecil dulu. Dan, kini ia berharap Haji Muslih bersedia memberi tausiah di hari pernikahannya nanti.
Sebelum ke kantor, Yazid mampir dulu ke rumah Haji Muslih untuk menyampaikan undangan itu. Saat berbincang-bincang itulah, tiba-tiba ada gempa bumi yang cukup dahsyat.
"Yazid, kau jangan berangkat kerja dulu," cegah Haji Muslih. "Mari kita berdoa bersama di masjid. Firasat saya mengatakan, akan ada gempa susulan yang lebih dahsyat."
Yazid menuruti saran itu. Rumah Haji Muslih memang dekat dengan masjid.
Firasat Haji Muslih ternyata terbukti benar. Saat Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang lagi tengah berdoa di dalam masjid, tiba-tiba gelombang Tsunami setinggi empat meter datang menerjang, memporak-porandakan segalanya. Segalanya!!!
Wilayah-wilayah yang diterjang gelombang Tsunami, rata dengan tanah, semuanya kembali ke titik nol! Kecuali masjid-masjid yang tetap berdiri kokoh. Karena itu Haji Muslih, Yazid dan beberapa orang yang ikut berdoa di dalam masjid itu, selamat. Di luar itu, semuanya hancur berantakkan! Begitu pula dengan rencana pernikhan Yazid! Karena Mirsa ikut tewas diterjang gelombang Tsunami.Yazid bersedih. Yazid menangis. Tanpa air mata. Karena air matanya telah kering. Tapi sebagai orang beriman, ia masih ingat akan Kemahaperkasaan Allah SWT. Maka, dengan suara bergetar ia berucap, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
(Dengan segenap cinta dan simpati untuk warga Aceh dan Sumatra Utara).
(Cerpen dari Harian Republika )

0 comments:

Post a Comment