Sunday, September 26, 2010

Agam dan Inong

SIAPA MEMBAWA AGAM DAN INONG
Cerpen YS Rat

Bingung Agam dan Inong begitu tersentak dan menyadari tubuh mereka terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Masing-masing bangkit, duduk dan selintas saling pandang tanpa berujar sepatah kata pun. Anak lelaki dan perempuan berusia sekitar lima tahun itu sama-sama tak mengerti mengapa di tanah bergelimang lumpur di hadapan mereka juga banyak orang berbaring.
Agam dan Inong mengira, seperti juga mereka, orang-orang yang berbaring itu tak lama lagi pasti akan bangkit. Tapi, setelah ditunggu hingga lewat tengah hari, ternyata tak satu pun di antara mereka yang bangkit. ''Mungkin mereka kelelahan. Kasihan kalau sampai malam tertidur di sini. Aku harus membangunkan mereka.''
Pikiran kanak-kanak Agam menerka sambil melangkah menghampiri tubuh-tubuh yang terbaring itu. Nyata di penglihatannya, lumpur menyelimuti tubuh-tubuh tersebut sehingga tak bisa dia mengenalinya. Inong pun, yang tanpa bicara mengikuti apa yang dilakukan Agam mendapati kenyataan sama.
Perlahan-lahan Agam dan Inong berjongkok serta mengamati sosok tubuh yang terbaring di dekat mereka secara seksama. Dengan sangat berhati-hati keduanya menggoyang-goyang sosok tubuh tersebut. Tak ada reaksi. Sekali lagi mereka coba, tetap saja tanpa reaksi. Ke sosok tubuh lainnya mereka beralih, hasilnya sama saja. Ke yang lainnya lagi, tetap tak ada beda. Terus, bergantian dari satu sosok tubuh ke sosok tubuh lainnya. Hanya lelah yang didapat.
Agam memutuskan mencari tempat untuk beristirahat. Sambil memejamkan mata, dia duduk bersandar pada batang sebuah pohon besar di dataran yang agak tinggi. Tak sedikit pun dia hirau terhadap Inong yang tetap mengikutinya dan melakukan seperti yang dia lakukan.
Dalam diam dan memejamkan mata, ingatan Agam berpulang kepada peristiwa yang tadi dirasakannya bagaikan mimpi, hingga akhirnya dia tersentak dan mendapatkan dirinya terbaring di atas tanah bergelimang lumpur. Tak tau dia kenapa tiba-tiba tubuhnya terbujur dan terapung-apung di tengah laut yang maha luas, tanpa sedikit pun membersit rasa takut meskipun di kemahaluasan laut hanya ada dirinya. Malah, air laut yang mengombang-ambingkan tubuhnya dia nikmati layaknya sedang bermain ayunan.
Bersamaan dengan usainya perulangan kenangan itu di benaknya, Agam kembali membuka matanya. Begitu pula Inong yang berada di sebelahnya, tanpa sepengetahuan Agam ternyata juga mengalami hal serupa. Seketika, secara bersamaan kedua kanak-kanak itu saling pandang dan heran.
"Wajahmu penuh lumpur," ujar Inong kepada Agam.
"Wajahmu juga berlumpur," balas Agam sembari bangkit dan bergegas menuju genangan air di dataran yang rendah, diikuti Inong di belakangnya. Begitu sampai, keduanya membersihkan wajah masing-masing dengan air yang sungguh sangat tak bersih itu.
"Inong?!"
"Agam?!"
Terperanjat. Agam dan Inong sama menyapa setelah bisa saling mengenali. Kemudian, di dalam diri masing-masing membuncah pertanyaan demi pertanyaan, berbaur dengan kebingungan yang menggumpal. Apa yang telah terjadi? Dimana ayah, ibu dan adikku? Kemana aku harus berjalan untuk kembali ke rumah dan bertemu dengan mereka? Apa ini yang dibilang kiamat, seperti yang sering diceritakan ayah? Kalau memang kiamat, kenapa kami masih hidup?
Selain berjibun sosok tubuh orang-orang yang terbaring bergelimang lumpur, sisa-sisa bangunan menghadang tatap mata kedua bocah yang selama ini tinggal bersebelahan rumah itu. Di antaranya tinggal puing dan tak sedikit yang telah rata dengan tanah. Pada arah terbenamnya matahari, hanya tampak hamparan tanah membentang maha luas berbatas kaki langit. Seolah ada tenaga gaib yang menggerakkan tangannya, Agam segera meraih tangan Inong dan menggandengnya berjalan ke arah tersebut. Inong pun tak menolak.
Telah entah berapa jauh jarak ditempuh. Sama sekali tak terbersit keinginan untuk berhenti. Terus dan terus berjalan, tanpa secuil pun hinggap rasa lelah, juga tak sebutir pun peluh menempel di tubuh. Bahkan, gumpalan pertanyaan berbaur kebingungan yang sempat mendera tak bersisa sepenggal pun. Berganti dengan kedamaian yang datang dan menyeruak memenuhi relung hati Agam dan Inong.
Namun, tiba-tiba tatap mata Agam menangkap sesuatu yang dirasanya aneh. Segera dia menghentikan langkah sambil tetap menggandeng tangan Inong. Di hadapannya, jauh di batas kaki langit, tampak sebuah titik hitam muncul. Inong pun menyaksikan hal yang sama. Di samping titik hitam itu, muncul lagi satu titik hitam yang lain. Satu lagi bertambah di sebelah titik hitam kedua. Satu lagi di samping yang ketiga dan satu lagi di sebelahnya. Masih juga bertambah di samping yang keempat, di sebelah yang kelima, keenam, ketujuh, kedelapan, kesembilan, kesepuluh dan seterusnya dan seterusnya. Terus pula Agam dan Inong mengarahkan tatapannya mengamati pertambahan titik-titik hitam itu, hingga akhirnya menyatu di batas kaki langit.
Perlahan-lahan seluruh titik hitam bergerak naik, mewujud garis tegak lurus, membentuk sebuah lingkaran dan mendesak ke depan. Nyatalah, pemandangan yang semula tampak aneh itu merupakan sosok orang saling berpegangan tangan satu sama lainnya. Semakin nyata pula, lingkaran sosok orang yang tak terhitung jumlahnya, yang sekarang telah teramat dekat dengan Agam dan Inong, semuanya berusia dewasa.
Menghadapi kenyataan itu, Agam dan Inong tak bergeming. ''Jelas sekali, kedua bocah inilah yang dimaksudkan petunjuk yang kita dapatkan itu. Karena, menurut petunjuk itu tinggal ada dua bocah di dunia ini. Laki-laki dan perempuan. Sekarang kita sudah mendapatkannya.''
Agam dan Inong tak hirau dengan apa yang dikatakan salah seorang di antara orang-orang berusia dewasa itu.
''Kalau begitu kita harus segera menyelamatkan kedua bocah ini sebelum terlambat,'' usul yang lainnya.
''Ya, sebelum malam tiba semuanya sudah harus selesai,'' timpal yang lainnya lagi mengingatkan.
Seorang yang tampak lebih tua dari yang lain melanjutkan.
''Terlebih dahulu kami mohon maaf. Berdasarkan petunjuk yang kami terima, kami harus menemukan sekaligus menyelamatkan dua orang bocah yang masih tersisa. Menurut petunjuk tersebut, kalau kalian tidak kami selamatkan, bahaya maha dahsyat akan memporak-porandakan perjalanan umat manusia menuju alam keabadian.''
Orang itu menarik nafas sejenak.
''Petunjuk itu juga menyebutkan, jika kalian dibebaskan melangkah sesuka kalian, pada akhirnya rasa rindu untuk memiliki teman, sahabat atau bahkan pendamping akan mendera hati kalian. Rasa rindu itu awalnya sekadar membujuk, tapi lama kelemaan akan memaksa diri kalian masing-masing untuk memenuhinya. Lantas, begitu kalian sama-sama berhasil memenuhi rasa rindu itu, saat itulah bahaya maha dahsyat akan memulai aksinya. Romantisme yang ada di lubuk hati kalian akan membuat kalian tak mampu membebaskan diri dari penjara kehendak sosok yang awalnya kalian butuhkan sebagai teman, sahabat atau pendamping tersebut.''
Kali ini lebih panjang, kembali orang itu menarik nafas.
''Pada akhirnya kalian pun berkomplot dan membelokkan perjalanan umat manusia dari menuju alam keabadian kepada perjalanan tak berbatas serta tanpa kepastian. Kalian akan membelokkan perjalanan umat manusia ke arah yang dilumuri pertumpahan darah tanpa ada yang berani mencegah. Karena, setiap yang berusaha mencegah pasti akan dibenamkan ke dalam kolam darah. Jadi, sekali lagi maafkan kami. Kami harus menyelamatkan kalian, demi keselamatan umat manusia hingga sampai ke alam keabadian.''
Agam dan Inong tetap saja diam. Lingkaran orang-orang berusia dewasa itu perlahan-lahan menyebar dan mengelilingi kedua bocah itu. Serentak mereka merapat, dengan cepat memberangus Agam dan Inong.
Mendadak, bumi yang hanya hamparan tanah maha luas berbatas kaki langit bergoyang. Perlahan-lahan. Sedikit kencang. Bertambah kencang! Semakin kencang! Teramat kencang! Maha kencang! Hingga, langit maha tinggi serasa sejengkal di atas kepala.
''Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!''
Rubuh! Lenyap! Apa yang ada menyatu dengan tanah. Ini yang kesekian kalianya. Semua berawal dari entah siapa membawa Agam dan Inong entah kemana.
[Medan, 17 Februari 2005]]
(Cerpen dari Harian Republika )

0 comments:

Post a Comment