Sunday, September 26, 2010

Ada yang Mati...............

HARI INI ADA YANG MATI LAGI
Cerpen Labibah Zain

Sepulang dari menunaikan shalat subuh di mushalla, Pipin memasuki rumahnya yang hanya bertiang bambu dan beralaskan tanah. Dulu ruangan itu disebut kandang sapi. Sekarang dua ekor sapi warisan kakeknya itu telah tiada. Ayahnya telah menjualnya untuk menebus segala keperluan hidup dari mulai untuk keperluan sekolah anak-anaknya, biaya perawatan ketika emak sakit tulang hingga keperluan sehari-hari.
Lambat laun karena merasa terpepet ekonomi, orang tuanya memutuskan untuk menjual rumah dan memilih bekas kandang sapi sebagai tempat tinggal. Tak nyaman memang. Tetapi hidup ini tak pernah menyodorkan pilihan lain. Dan hidup tetap tak banyak berubah. Toh nyawa emaknyapun tak bisa tertolong juga.
Sebagai anak tertua dari dua bersaudara, Pipin ingin sekali meringankan beban orang tuanya dengan bekerja apa saja. Tetapi sebagai anak lulusan SMP, dia tak bisa berbuat banyak. Sedangkan untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMU saja dia tak tega untuk membujuk ayahnya yang kini bekerja sebagai penggali kubur itu untuk membiayainya.
Pipin menghempaskan tubuhnya ditikar disudut rumah. Kemudian Tiwi, adiknya nampak bersiap-siap pergi sekolah dengan seragam putih merahnya. Tak ada secangkir teh apalagi sarapan. Semua anggota keluarga tampak sudah terbiasa dan maklum. Ayahnya tampak sedang bersiap-siap untuk menjalankan tugasnya. Tadi malam Pipin memang mendengar bunyi cangkul yang bergerak-gerak. Pertanda cangkul itu akan segera menggalikan kubur untuk seseorang. Pertanda ayahnya akan mendapat sedikit uang untuk membeli beras dan yang pasti akan ada nasi kardus tahlilan yang akan dapat dinikmati malam nanti.
"Siapa yang meninggal, Pak?" tanya Pipin pelan. "Sumirah, isteri Pak Harno tadi malam meninggal karena terkena flu burung. Syukurlah kita tak punya uang untuk membeli daging ayam sehingga kita terbebas dari flu burung itu," jawab ayahnya lugu.
Sang ayah pun berangkat untuk menggali kuburan. Tiwi berangkat ke sekolah dan Pipin bersiap-siap ke tempat Bu Hardoyo untuk membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Semejak lulus SMP, Pipin memang merelakan diri untuk menjadi pembantu rumah tangga di keluarga Hardoyo yang tinggal di perumahan seberang kampungnya. Dulu uang tersebut bisa membantu ayahnya untuk membeli beras dan keperluan sehari-hari serta cukup. Tetapi, sejak BBM naik, semua harga barang menjadi naik. Pipin dan ayahnya harus rajin-rajin berhemat agar bisa makan sampai akhir bulan.
Klothek. Klothek. Kletehek. Bulu kuduk Pipin berdiri. Dia sudah sering mendengar bunyi cangkul ayahnya di tengah malam, tapi tetap saja bulu kuduknya berdiri. "Berarti besok akan ada yang meninggal lagi," pikir Pipin sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh Tiwi yang tidur nyenyak.
Benar! Keesokan paginya, seorang lelaki berpeci menjemput ayahnya untuk menggali kuburan. "Mbah Minem meninggal ketika antri mengambil uang kompensasi BBM di kantor Pos, Pak," kata lelaki itu. Kenaikan BBM memang banyak menyisakan masalah. Tunjangan salah sasaran, perangkat kelurahan dikeroyok rame-rame karena tak becus mendaftar warga miskin, sampai kematian mbah Minem pagi ini, semuanya membuat Pipin semakin sesak nafas.
Sebenarnya Pipin heran dan bertanya-tanya kenapa ayahnya tak terdaftar sebagai penerima subsidi. Tetapi ayahnya yang memang tak pernah neko-neko itu bilang bahwa ia malu kalau harus protes ke kelurahan. "Mungkin kita masih dianggap sedikit lebih mampu dari orang lain, Pin. Buktinya kau masih bisa bekerja," begitu ayahnya menasehatinya.
Dengan segera, kedua lelaki itu berjalan beiringan menuju kuburan. Ayahnya akan menggali kubur lagi. Tetapi kali ini nampaknya harus benar-benar ihlas karena Mbah Minem hidup sebatang kara dan penduduk sekitar harus rela bahu membahu mengurus kematiannya. Malam harinya tak sama dengan malam kemarin yang bisa menyantap nasi hasil tahlilan. Kali ini Pipin, Tiwi dan ayahnya hanya bisa makan bubur dan garam. Kali ini tak seorangpun mengirimkan makanan ke rumah ayahnya. Tahlilan memang tetap diadakan, tapi di musholla dan tanpa makanan.
Merekapun terlelap. Dan, 'klethek klethek' bunyi cangkul terdengar lagi. Pipin tersentak dari tidurnya. Segera dia menutup kupingnya rapat-rapat, dan kembali memeluk Tiwi erat-erat. Pagi-pagi, kembali ayahnya sudah dijemput oleh beberapa orang pemuda. Apalagi kalau bukan urusan penggalian kubur. "Pak Haryo meninggal terserempet mikrolet!" kata seorang pemuda dengan wajah muram.
"Kasihan Pak Haryo. Dia yang biasanya naik mikrolet untuk menuju pabriknya terpaksa jalan kaki untuk menghemat uang transportasi, eh malah terserempet mikrolet," timpal pemuda yang lain. Ayahnyapun pergi bersama pemuda-pemuda itu untuk melaksanakan tugasnya. Pak Haryo juga salah seorang penduduk yang tak mampu. Tak ada harapan ayahnya untuk membawa upah hasil penggalian kuburnya.
"Kita harus ikhlas, Pin. Orang-orang kecil seperti kita ini harus saling membantu. Bapak juga berharap kalau meninggal nanti akan ada orang yang mau menggalikan kubur bagi bapak walau kamu tak mampu membayarnya," kata ayahnya sambil menelan bubur garam buatan Pipin.
"Kapan ada orang kaya yang meninggal ya, Pak?" Tiwi nyeletuk.
"Hus! Ndak baik mengharapkan kematian orang hanya karena kita ingin upah atas penggalian kuburnya," tukas ayah tampak tak senang.
Tiwi terdiam. Matanya menerawang. Pipin tahu sudah seminggu ini adiknya merengek, ingin sekali ikut piknik bersama teman-teman sekelasnya ke Borobudur. Tetapi, tentunya Tiwi tahu dalam keadaan ekonomi yang serba susah seperti ini, impiannya tak bakalan terwujud. Jangankan ikut piknik, sedang uang seragam sekolahpun belum terbayar. Ingin sekali Pipin mewujudkan semua impian adiknya. Tetapi Pipin tak tahu caranya. Dipandanginya wajah adiknya yang pelan-pelan mulai menuju alam mimpi,
Klethek. Klethek, Klethek. Klethek. Cangkul dan keranda berbunyi lagi. Serta merta Pipin dan ayahnya berpandangan.
"Tidurlah!" Ayahnya mencoba mengalihkan perhatian Pipin. Pipin mencoba tertidur sambil mengira-ira giliran siapa gerangan yang akan dijemput malaikat Izrail.
Pagi ini tak ada seorangpun yang menyusul ayahnya untuk menggali kuburan. Berarti belum ada kematian. Siapakah yang akan meninggal hari ini? Pikir Pipin. Tetapi Pipin segera melupakan bunyi cangkul ayahnya tadi malam. Tiwi berangkat ke sekolah. Ayahnya memulai aktivitas bersih-bersih rumah dan Pipin berangkat ke rumah Bu Hardoyo untuk bekerja.
Seperti biasa, Pipin langsung menuju tumpukan baju kotor untuk dicucinya. Bu dan Pak Hardoyo segera menuju ke tempat kerjanya dengan vespa merah meninggalkan Pipin dengan segala urusan cuci mencuci, bersih-bersih rumah dan menanak nasi. Pipin mulai menata baju-baju kotor ke dalam bak cucian. Ada jaket, celana dalam, BH, rok, hingga celana panjang. Tiba-tiba Pipin merasa ada sesuatu yang mengganjal di saku celana panjang milik Pak Hardoyo. Pipin memasukkan tangannya ke ke saku celana itu. Uang! Dua lembar ''lima puluhan ribu" dan empat lembar "sepuluhan ribu". Diambilnya uang itu dan di letakkannya di meja makan.
Pipin kembali sibuk dengan aktivitas mencucinya. Tiba-tiba wajah Tiwi terlintas di benaknya. Wajah rembulan yang dikurung awan lantaran kesedihannya tak bisa ikut piknik bersama teman-temannya. Seketika juga Pipin ingat uang temuannya itu. Cepat-cepat dia menuju meja makan dan dimasukkannya uang itu ke saku bajunya. Tetapi kemudian dia juga ingat ayahnya. Ayahnya pasti akan marah besar kalau tau dia mengambil uang orang. Pasti ayahnya akan kecewa. Pipin tak sanggup membayangkan kekecewaan ayahnya.
Pipin buru-buru meletakkan uang tersebut di meja makan lagi. Begitulah hati Pipin diliputi keraguan sehingga ia bolak-balik dari sumur ke meja makan untuk mengambil dan mengembalikan uang tersebut. Tak akan ada orang tau tentang ini. Pak Hardoyo itu orang yang sangat ceroboh. Tak mungkin dia ingat kalau sudah menyimpan uang di saku celananya. Pak Hardoyo saja tak tahu apalagi ayahmu.
Tetapi, bagaimana kalau tiba-tiba Pak Hardoyo ingat uang itu dan tau kalau kau yang mengambilnya? Keluarga Hardoyo akan memecatmu! Mau makan apa nanti keluargamu? Ah kalau nanti keluarga Hardoyo bertanya masalah uang itu, aku kan bisa pura-pura tak tahu, pasti tak tak akan ketahuan. Dan lihatlah, betapa mata Tiwi akan berbinar-binar melihat kau membawa uang untuk pikniknya. Bukankah sudah lama kau tak melihat keceriaan Tiwi?
Cepat-cepat dimasukkannya uang itu ke kantong bajunya. Pipin tak mau menimbang-nimbang lagi. Dia takut pikirannya akan berubah.
Sore hari Pipin kembali ke rumahnya setelah menyelesaikan seluruh pekerjaan rumah tangga keluarga Hardoyo dan pamit dengan Bu Hardoyo dengan agak sedikit gugup. Dengan langkah riang dia mencari-cari Tiwi. Tiwi belum ada di rumah. Pipin menanti kedatangan Tiwi dengan tak sabar. Malampun datang menyelimuti kampungnya. Tiwi belum pulang juga. Pipin dan ayahnya mulai panik. Mereka segera mencari ke rumah teman-temannya. Tak seorangpun mengetahui keberadaan Tiwi.
Tepat jam sepuluh malam. Penjaga sekolah Tiwi datang mengabarkan Tiwi ditemukan tewas dalam gantungan di kamar mandi sekolah! Pipin teringat bunyi cangkul ayahnya tadi malam. Rupanya yang meninggal hari ini adalah Tiwi! Pipin menjerit ketika tubuh Tiwi yang sudah tak bernyawa itu dibawa ke rumahnya. Dirabanya uang haram yang ada di sakunya yang ternyata tak bisa membahagiakan adiknya.
Bunyi 'klethek klethek' cangkul ayahnya didengarnya semakin keras saja. Hari ini giliran kuburan Tiwi yang dicangkul oleh ayahnya. Pipin berharap, besok siang ayahnya akan menggali kubur untuknya.
(Cerpen dari Harian Republika )

0 comments:

Post a Comment